Rabu, 27 Desember 2017

Silsilah Mengenal Allâh Ta'ala Halaqoh 2 | Mengenal Allāh Sebagai Pencipta

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 08 Rabi’ul Akhir 1439 H / 26 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. 'Abdullāh Roy, MA
📗 Silsilah Mengenal Allâh Ta'ala
🔊 Halaqoh 2 | Mengenal Allāh Sebagai Pencipta
-----------------------------------

MENGENAL ALLAH  SEBAGAI PENCIPTA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Halaqah yang ke-2 dari Silsilah kita yang berjudul Mengenal Allâh adalah "Mengenal Allâh Sebagai Pencipta".

Allāh 'Azza wa Jalla adalah Dzat Yang Maha Pencipta, menciptakan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada.

Dialah Allāh yang telah menciptakan langit, bumi, manusia & seluruh alam semesta.

Allâh Subhānahu wa Ta'āla berfirman :

ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ

"Itu adalah Allāh Rabb kalian yang telah menciptakan segala sesuatu." (QS. Ghāfir : 62)

Dialah Allāh Al-Khāliq Yang Maha Pencipta, sedangkan selain Allah adalah makhluq yang diciptakan. Mereka tidak bisa mencipta meskipun diagung-agungkan dan disembah oleh manusia.

Allâh Subhānahu wa Ta'āla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ الله لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ ۖ.

"Wahai manusia, telah dibuat perumpamaan bagi kalian maka hendaklah kalian mendengarnya, sesungguhnya segala sesembahan yang kalian sembah selain Allāh, tidak akan bisa menciptakan seekor lalat, meskipun mereka bersatu padu untuk membuat seekor lalat tersebut." (QS. Al-Hajj : 73)

Berkumpul saja mereka tidak mampu untuk mencipta, bagaimana dengan sendirian?

Menciptakan seekor lalat yang sedemikian sederhananya susunan tubuhnya, mereka tidak mampu maka bagaimana mereka bisa menciptakan makhluq yang lebih rumit.

Seorang muslim wajib hanya meyakini bahwasanya Allāh adalah satu-satunya Pencipta & tidak ada yang mencipta selain Allāh .

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah yang ke-2 ini & sampai bertemu pada halaqah selanjutnya.

وصلى الله على نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين

Saudaramu, 'Abdullāh Roy
Di kota Al-Madīnah

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_________________________

Selasa, 26 Desember 2017

Silsilah Mengenal Allāh Ta'āla Halaqoh 1 | Mengenal Allāh Ta'āla

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 07 Rabi’ul Akhir 1439 H / 25 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. 'Abdullāh Roy, MA
📗 Silsilah Mengenal Allāh Ta'āla
🔊 Halaqoh 1 | Mengenal Allāh Ta'āla
-----------------------------------

MENGENAL ALLĀH TA'ĀLA

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين

Halaqah yang pertama dari Silsilah yang berjudul "Mengenal Allāh"

Al-Imām Ahmad rahimahullāh telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya sebuah hadits yang asalnya ada di dalam Shahīh Muslim, yang isinya bahwa "Setiap manusia apabila dikuburkan maka akan ditanya oleh 2 orang malaikat tentang 3 perkara :

⑴ Siapa Tuhanmu ?
⑵ Siapa Nabimu ? dan
⑶ Apa Agamamu ?

Oleh karena itu kewajiban seorang muslim dan juga muslimah untuk mempersiapkan diri.

Dan perlu diketahui bahwasanya untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak cukup dengan menghafal. Sebab seandainya menghafal itu cukup niscaya orang munafik bisa menjawab pertanyaan.

Tapi perkaranya di sini, kaum muslimin perlu pemahaman dan juga pengamalan.

Barangsiapa yang di dunia dia :

√ Mengenal Allāh dan memenuhi hakNya,
√ Mengenal Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam dan memenuhi haknya,
√ Mengenal agama Islam dan mengamalkan isinya,

Maka diharapkan dia bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan mendapatkan kenikmatan di dalam kuburnya.

Namun apabila dia :

✘ Tidak mengenal siapa Allāh dan tidak memenuhi hakNya,
✘ Tidak mengenal Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam dan juga tidak memenuhi haknya,
✘ Tidak atau kurang mengenal ajaran Islam dan tidak mengamalkannya,

Maka ditakutkan dia tidak bisa menjawab pertanyaan, akibatnya siksa kubur yang akan dia dapatkan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan kita, keluarga kita dan orang-orang yang kita cintai untuk bisa:

• Mengenal Allāh
• Mengenal Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, dan juga
• Mengenal agamanya.

Itulah halaqah yang pertama dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

بِاللَّهِ التَّوْفِيْقِ وَ الْهِدَايَةِ.
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ ووَبَرَكَاتُهُ

Saudaramu, 'Abdullāh Roy

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_________________________

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) 🔊 Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 2)

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 05 Rabi’ul Akhir 1439 H / 23 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 2)
~~~~~~~~~~~~~~~~~

عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ. (مُتَّفَقٌ عليهِ)

Dari Abū Ayyūb radhiyallāhu Ta'āla 'anhu: Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

"Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam."

(Muttafaqun 'alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)
➖➖➖➖➖➖➖

LARANGAN MENDIAMKAN SAUDARANYA LEBIH DARI TIGA HARI (BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan akhwāt yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Kita melanjutkan pembahasan tentang masalah "Hajr".

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seseorang untuk meng-hajr saudaranya lebih daripada 3 hari.

Namun para ulama menjelaskan maksudnya adalah bahwa hajr ini (yaitu: memboikot saudaranya, tidak menyalami saudaranya, menjauh dari saudaranya, berpaling tatkala bertemu), berkaitan dengan perkara dunia.

Adapun seorang meng-hajr orang lain karena perkara agama maka ini boleh lebih dari 3 hari.

⇒ Seperti meng-hajr/memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat, maka boleh lebih dari 3 hari.

Dan masalah memboikot pelaku maksiat/pelaku bid'ah, maka ini berkaitan dengan 2 kemaslahatan;

⑴ Kemashlahatan yang berkaitan dengan pelaku bid'ah itu sendiri.
⑵ Kemashlahatan yang berkaitan dengan pihak yang meng-hajr.

■ KEMASHLAHATAN PERTAMA

Kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bid'ah atau pelaku maksiat, maka kita meng-hajr dia sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan dalil akan hal ini adalah kisah Ka'ab bin Mālik radhiyallāhu Ta'āla 'anhu tatkala tidak ikut serta dalam perang Tābuk tanpa alasan yang syar'i.

⇒ Dia di-hajr oleh Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam dan para shāhabatnya sampai sekitar 50 hari.

Sehingga Allāh turunkan ayat yang menjelaskan bahwasanya Allāh menerima taubat Ka'ab bin Mālik radhiyallāhu Ta'āla 'anhu baru kemudian Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam menghentikan praktek hajr-nya.

Dan ini dijadikan dalil oleh seluruh ulama yang berbicara tentang masalah hajr, seluruhnya berdalil dengan kisah ini.

✓Ini menunjukkan masalah meng-hajr pelaku maksiat sama dengan masalah meng-hajr pelaku bid'ah, (yaitu) kembali melihat kepada kemashlahatan dan kemudharatan.

Ikhwān dan akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Kenapa kita mengatakan praktek hajr (memboikot) pelaku bid'ah/pelaku maksiat melihat mashlahat dan mudharat?

Karena masalah memboikot pelaku bid'ah/pelaku maksiat adalah permasalahan al amr bil ma'ruf wa nahyi 'anil munkar (amar ma'ruf nahi munkar).

Dan para ulama telah sepakat bahwa amar bil ma'ruf wa nahyi 'anil munkar dibangun di atas mashlahat;

◆ Kalau penerapan amar mungkar ma'ruf nahi mungkar menimbulkan mashlahat maka dikerjakan.

◆ Akan tetapi jika penerapan amar ma'ruf nahi  menimbulkan kemudharatan yang lebih parah daripada kemungkaran yang ada, maka hendaknya ditinggalkan.

Oleh karenanya masalah meng-hajr pelaku bid'ah/pelaku maksiat zaman sekarang tidak mudah untuk dikerjakan.

Karenanya Syaikh Al Albāni rahimahullāh pernah berkata :

◆ الهجر لا يحسن أن يطبق في هذا العصر لأن البدع هم الغالبون

◆ Meng-hajr pelaku bid'ah tidak layak untuk diterapkan pada zaman sekarang ini karena mereka (ahlul bid'ah) yang paling banyak.

Berbeda dengan zaman Imām Ahmad, di zaman para a'imatussalaf (imam salaf) zaman dahulu, dimana Ahlus Sunnah banyak dan Ahlul Bid'ah yang sedikit.

Sehingga kalau Ahlus Sunnah memboikot Ahlul Bid'ah maka dia akan terpuruk dan akhirnya melepaskan bid'ah yang dia lakukan karena dia akan merasa terjepit karena diboikot oleh kebanyakan orang.

Demikian juga para pelaku maksiat, para pelaku maksiat dahulu jika diboikot (maka) mereka berhenti dari maksiatnya.

Namun sekarang berbeda, sekarang pelaku maksiat & pelaku bid'ah banyak.

Seorang terkadang tatkala memboikot pelaku bid'ah justru dia yang terboikot, tidak ada mashlahat yang dia dapatkan.

Justru sekarang, seseorang perlu mendekati pelaku maksiat untuk mendakwahinya, mengambil tangannya, berbicara dengan dia.

Demikian juga pelaku bid'ah, seorang kalau mampu, maka datangi ahlul id'ah tersebut (terutama ahlul bid'ah yang  awam ahlul bidah yang penyeru).

Kemudian dia dakwahi, diajak ngobrol dan diberi masukan, maka inilah yang bermanfaat bagi pelaku bid'ah tersebut.

Kita ingat, kita dahulu tatkala belum mengenal manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang mungkin kita masih terpuruk dalam sebagian bid'ah, bagaimana cara kita mendapatkan hidayah?

Kita dapat hidayah bukan dengan diboikot oleh orang Ahlu Sunnah, tidak!

Tetapi kita dapat hidayah dengan izin Allāh Subhānahu wa Ta'āla yaitu dengan adanya seorang pemuda Ahlus Sunnah yang mendekati kita kemudian mengajak ngobrol kemudian memberikan masukan kepada kita.

⇒ Dengan cara mendekati inilah maka akan diperolah mashlahat bagi pelaku bid'ah/pelaku maksiat tersebut.

Sekarang, seandainya kalau pelaku yang tidak shalat diboikot, (maka) susah kita terapkan di zaman sekarang ini.

Padahal disyari'atkan bagi orang yang tidak shalat itu untuk diboikot; tidak diajak ngomong, tidak diajak dagang, dicuekin, (namun) sekarang tidak mungkin dikerjakan.

✓Perkara meng-hajr pelaku maksiat sama halnya dengan meng-hajr pelaku bid'ah, melihat mashlahat dan mudharat.

■ KEMASHLAHATAN KEDUA

Praktek hajr juga memperhatikan kemashlahatan yang berkaitan pihak yang meng-hajr.

Misal ada seorang yang tidak melakukan bid'ah berhadapan dengan orang yang melakukan bid'ah.

Maka dilihat;

• Kalau ternyata orang yang melakukan bid'ah tersebut adalah orang yang menyeru kepada bid'ah (yang) memiliki dalil atau syubhat, maka orang yang tidak melakukan bid'ah (yang meng-hajr) hendaknya dia menjauhi, selama dia khawatir syubhatnya akan dipancarkan dan akan masuk ke dalam hatinya.

⇒ Hendaknya dia menghindari orang tersebut, jangan mendengarkan ceramahnya, jangan menghadiri kajiannya.

• Akan tetapi kalau ternyata pelaku bid'ah itu hanya pelaku bid'ah yang biasa (tidak punya syubhat dan tidak mengerti) maka ini justru yang lebih utama untuk kita dekati, ajak ngobrol dan nasihati.

Jadi, masalah meng-hajr ahlul bid'ah/pelaku maksiat ini disyari'atkan meskipun lebih daripada 3 hari karena tujuannya adalah:

⑴ Memberi pelajaran kepada pelaku bid'ah tersebut, atau
⑵ Untuk menyelamatkan diri kita agar tidak terjerumus ke dalam bid'ah tersebut.

Namun terakhir yang saya ingatkan, ikhwan dan akhwat..

Banyak orang praktek meng-hajr saudaranya sebenarnya (adalah) karena tendensi duniawi.

Mereka memperpanjang praktek hajr tersebut (dengan) membumbui seakan-akan mereka meng-hajr karena syari'at, padahal hakikatnya karena perkara dunia.

Oleh karenanya, orang yang meng-hajr dengan menganggap ini adalah perkara akhirat padahal kenyataannya karena perkara dunia maka ini adalah perkara yang berbahaya.

Dan in syā Allāh akan kita sampaikan pada pertemuan berikutnya.

و صلى الله على نينا محمد و على آله وصحبه أجمعين

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 1)

🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 04 Rabi’ul Akhir 1439 H / 22 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 1)
~~~~~~~~~~~~~~~~~

LARANGAN MENDIAMKAN SAUDARANYA LEBIH DARI TIGA HARI (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat, kita masuk pada hadits yang berikutnya:

عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ. (مُتَّفَقٌ عليهِ)

Dari Abū Ayyūb radhiyallāhu Ta'āla 'anhu: Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

"Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam."

(Muttafaqun 'alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Sesungguhnya syari'at Islam adalah syari'at yang indah, syari'at yang menyuruh umatnya untuk mempererat tali persatuan.

Bukankah Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara."
(QS Al-Hujurāt: 10)

Oleh karenanya banyak sekali hadits-hadits yang menganjurkan seorang Mu'min untuk menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya, diantaranya yaitu:

⑴ Jika saudaranya memberi salam maka dia menjawab salam, kalau bertemu dengan saudaranya dia memberi salam kepada saudaranya.

⑵ Jika saudaranya mengundang dia maka dia penuhi undangannya.

⑶ Jika saudaranya sakit maka hendaknya dia mengunjungi saudaranya.

⑷ Jika saudaranya meninggal dunia maka hendaknya dia menghadiri jenazahnya, dia shalatkan kemudian dia antar ke pekuburan.

⑸ Jika saudaranya minta nashihat maka hendaknya dia menashihatinya.

⑹ Dia berusaha untuk mencintai kebaikan yang dia cintai untuk dirinya juga ingin untuk saudaranya.

Kemudian juga banyak perkara-perkara yang dilarang oleh syari'at dalam rangka untuk menjaga keutuhan tali persatuan tersebut, contohnya:

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seseorang;

وَلاَ يَبِعِ بعضكم عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يخطب الرجل على خطبة أَخِيهِ

• Janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya.
• Janganlah seseorang melamar di atas lamaran saudaranya.

(HR Muslim no. 1412 dari shāhabat Ibnu 'Umar)

وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا

• Janganlah kalian saling hasad (iri).
• Janganlah kalian saling membenci.

(HR Bukhāri dan Muslim)

Dan banyak larangan-larangan Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam, sampai-sampai dalam Al-Qurān Allāh sebutkan :

⑴ QS Al-Hujurāt ayat: 12

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ

"Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan diantara kalian dan janganlah saling mengghībah diantara kalian."

⑵ QS Al-Hujurāt: 11

لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ

"Janganlah sebuah kaum menghina kaum yang lain."

⇒ Dalil-dalil ini semua menunjukkan pentingnya untuk mempererat tali persatuan, sampai-sampai Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam bersabda;

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada suatu perkara yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam di antara kalian."
(HR Muslim no. 54)

Praktek hajr (memboikot) seorang Muslim bertentangan dengan ini seluruhnya (dengan apa yang tadi telah saya sebutkan).

Namun bisa jadi, namanya manusia yang terkadang memiliki hawa nafsu dan bermasalah dengan saudaranya, maka diapun marah kepada saudaranya terutama pada perkara-perkara dunia, entah dia yang salah atau saudaranya yang salah.

Maka syari'at membolehkan (mengizinkan) seorang Muslim untuk mendiamkan/menghajr saudaranya, tidak ingin bertemu dengan saudaranya, memboikot saudaranya.

Namun diberi izin hanya 3 hari, artinya syari'at juga memperhatikan kondisi jiwa sebagai jiwa manusiawi yang susah kalau seseorang marah dan langsung saat itu juga disuruh baik, diam dan memaafkan.

Ini bukan perkara yang mudah, ini perkara yang sangat sulit.

Mungkin tidak bisa melakukannya kecuali Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam dan orang-orang yang berjiwa besar.

Akan tetapi kebanyakan manusia jiwanya memiliki hawa nafsu yang jika disuruh untuk memaafkan saat itu juga maka susah.

Maka syari'at memberikan kesempatan bagi dia untuk melampiaskan/membiarkan jiwanya emosi tapi hanya selama 3 hari saja, lebih dari itu tidak boleh karena dia punya kewajiban menyatukan tali persaudaraan dengan saudaranya sesama Muslim.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengharamkan seorang menghajr lebih dari 3 hari.

Ingat sabda Nabi: "Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih daripada 3 hari".

⇒ Jika lebih dari 3 hari maka hukumnya haram.

Yang paling baik diantara 2 orang yang saling menghajr, yaitu kata Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Yang terbaik diantara keduanya adalah yang memulai dengan salam."

Dan kita butuh orang yang seperti ini, membutuhkan akhlaq yang sangat mulia. Dia mengalahkan emosinya kemudian dia memulai dengan salam, ini berat. Kenapa? karena ini bertentangan dengan keegoan (keangkuhan) jiwa.

Apalagi dia berkata, misalnya :

"Saya yang lebih tua, dia yang masih muda."

"Saya adalah Pamannya, dia yang seharusnya minta maaf ke saya."

Seperti ini tidak mudah. Kebanyakan orang menampakkan egonya terutama tatkala terjadi perselisihan dan yakin bahwasanya syaithan hadir tatkala dalam kondisi seperti ini.

Oleh karenanya seseorang lebih mengedepankan ego & keangkuhannya, misal mengatakan:

"Saya yang benar, dia yang salah."

Maka dia ingat sabda Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam yaitu: "Yang terbaik diantara mereka berdua adalah disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla."

Apakah seseorang mengikuti hawa nafsu & keangkuhan jiwanya ataukah dia mendahulukan untuk mendapatkan khairiyyah (ingin menjadi yang terbaik) di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla?

Jika dia ingin menjadi yang terbaik di sisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, diantara dia dengan saudaranya, maka mulailah dengan memberi salam kepada saudaranya.

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Ada khilaf dikalangan para ulama, bagaimana menyelesaikan hajr?

◆ Kebanyakan (jumhur) ulama mengatakan: "Jika mereka bertemu dan sudah saling memberi salam maka sudah selesai hajr."

Berarti sudah keluar dari yang diharamkan Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan: "Yang terbaik adalah yang memulai dengan salam."

◆ Namun sebagian ulama mengatakan: "Tidak cukup, dia hanya bisa keluar dari perkara yang haram jika kembali sebagaimana sedia kala".

⇒ Artinya percuma kalau dia memberi salam tetapi wajahnya bengis atau hatinya jengkel.

◆ Oleh karena itu sebagian ulama berkata: "Tidak bisa kembali hajr kecuali kalau dia kembali seperti sedia kala; senyum dengan hati yang bersih dan bisa menghilangkan itu semua."

Namun, Allāhu a'lam bishshawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama karena kalau harus kembali seperti sedia kala ini bukan perkara yang ringan, mungkin susah, seperti kata orang:

"Kalau hati sudah terlanjur terluka maka sulit untuk kembali lagi."

"Seperti kaca yang sudah terlanjur pecah maka sulit untuk disambung kembali."

Oleh karenanya, Allāhu a'lam bishshawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama yaitu cukup jika dia memberi salam maka selesailah hajr tersebut dan dia telah keluar dari yang diharamkan Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam.

Dan ingat firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

"Tidak sama antara kebaikan dan keburukan maka balaslah dengan cara yang terbaik. Maka orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan, tiba-tiba dia menjadi teman yang dekat. Namun akhlaq seperti ini (membalas keburukan dengan kebaikan) tidaklah dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapatkan keuntungan yang besar."

(QS Fushilat: 34-35)

Ini pujian yang luar biasa dari Allāh dan memang tidak mudah untuk bisa seperti ini; mengalahkan hawa nafsunya untuk memulai salam meskipun terkadang dia yang salah atau saudaranya yang salah dan dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar sebagaimana tadi firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyatukan hati-hati kaum muslimin.

Kita lanjutkan nanti dalam pertemuan berikutnya.

و صلى الله على نينا محمد و على آله وصحبه أجمعين

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-7 | Mencaci Maki Orang Tua

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 03 Rabi’ul Akhir 1439 H / 21 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-7 | Mencaci Maki Orang Tua
~~~~~~~~~~~~~

MENCACI MAKI ORANG TUA

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: "مِن الكَبَائِرِ: شتم الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ" قِيْلَ: وَهَلْ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: "نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ الرجل أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari shahābat ‘Abdullāh bin ‘Amr bin ‘Āsh radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā bahwasanya Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wa sallam bersabda: “Diantara dosa besar adalah seorang lelaki memaki kedua orang tuanya.”

Maka ditanyakan kepada Nabi: “Apakah ada seorang mencaci maki kedua orang tuanya?”

Rasūlullāh Shallallāhu Alayhi Wa sallam bersabda: “Ya ada, seseorang mencaci ayah orang lain, maka orang lain tersebut kembali mencaci ayahnya. Dan (demikian juga) ia mencaci maki ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencaci ibunya pula.”

(HR Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla,

Kita tahu bahwasanya seorang anak diperintahkan untuk berkata-kata yang terlembut kepada kedua orang tuanya.

Oleh karenanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً ڪَرِيمًا

"Janganlah engkau berkata kepada keduanya "uf" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia."
(QS Al-Isrā: 23)

⇒ "Uf" adalah suatu kalimat yang menunjukkan "tathajjur" (kejengkelan) dan "uf" adalah kalimat yang paling rendah yang menunjukkan kejengkelan.

Kalau kita artikan dalam bahasa kita mungkin kita katakan "ah". Tidak ada kalimat yang lebih ringan daripada "ah".

Kata sebagian ahli tafsir:

◆ Seandainya ada kalimat dalam bahasa Arab yang lebih ringan daripada kalimat "uf" maka Allāh akan sebutkan (gunakan), tetapi kalimat "uf" adalah kalimat kejengkelan yang paling ringan.

⇒ Apalagi membentak mereka berdua.

Oleh karenanya, kita harus menjaga perkataan kita terhadap orang tua.

Kalau kita bisa berkata-kata yang halus kepada teman kita, saudara kita, apalagi kepada bos kita, maka kepada orang tua kita lebih utama untuk berkata-kata yang halus.

Jangan sampai kita mengeluarkan kata yang menunjukkan kejengkelan.

Kalau mengucapkan "Ah" kepada orang tua adalah perkara yang haram, maka apalagi sampai mencaci maki atau melaknat orang tua.

Oleh karenanya, tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan,

"Diantara dosa besar, seorang laki-laki mencaci kedua orang tuanya."

⇒ Maka hal ini mengherankan para shahābat.

Para shahābat bertanya, "Ya Rasūlullāh, apakah ada seseorang mencaci maki kedua orang tuanya?."

Kita ingat bahwa hadits ini terjadi di zaman Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam, zaman para sahabat, mungkin tidak terjadi yang seperti ini, yaitu ada seorang anak memaki kedua orang tuanya, oleh karenanya para shahābat heran.

Tetapi tentunya berbeda di zaman sekarang. Zaman sekarang sering kita dengar ada anak-anak yang mencaci maki, membentak-bentak dan menghina kedua orang tuanya.

Zaman berubah, semakin jauh dari zaman Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam maka hati semakin keras dan ilmu semakin hilang, kita dapati ini dari anak-anak kaum muslimin.

Kita tidak berbicara tentang orang-orang kafir, kita berbicara tentang anak-anak kaum muslimin yang ternyata mencaci maki kedua orang tuanya secara langsung.

Di zaman shahābat ini tidak ada, sehingga para shahābat merasa heran, kok bisa seseorang mencaci maki kedua orang tuanya.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan bagaimana bisa terjadi, yaitu dia mencaci maki ayah orang lain kemudian orang lain tersebut membalas mencaci maki ayahnya.

Maka dia merupakan sebab tercaci makinya ayahnya sendiri, karena dia mencaci maki ayah oranglain.

Dari sini para ulama membuat kaidah:

◆ أن الوسائل لها أحكام المقاصد

◆ Bahwasanya washilah itu memiliki hukum tujuan.

√ Kalau washilah tersebut mengantarkan kepada keburukan maka washilah tersebut hukumnya juga buruk.

√ Kalau washilah tersebut mengantarkan kepada keharaman maka washilah tersebut juga hukumnya haram.

Meskipun hukum asal washilah tersebut BOLEH, bahkan bisa jadi washilah tersebut disyari'atkan.

Tetapi karena mengantarkan kepada perkara yang haram, maka jadilah washilah tersebut hukumnya haram.

Contohnya, Allāh berfirman:

وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٍۗ

"Janganlah kalian mencaci maki orang-orang yang menyeru berdo'a kepada selain Allāh, maka mereka akan mencaci maki Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan melampaui batas tanpa pengetahuan."
(QS An'ām: 108)

Kita tahu bahwasannya mencaci maki sesembahan-sesembahan selain Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah perkara yang dituntut.

Dalam Al-Qurān banyak sekali, bagaimana Nabi Ibrāhīm mencela sesembahan-sesembahan selain Allāh, patung-patung dan sesembahan-sesembahan kaum musyirikin.

Allāh sendiri dalam banyak ayat mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin.

Namun dalam suatu kondisi, jika tatkala kita mencela sesembahan kaum musyrikin ternyata mereka balik dengan mencela Allāh Subhānahu wa Ta'āla maka mencela sesembahan kaum musyrikin tatkala itu hukumnya haram, padahal asalnya disyari'atkan.

⇒ Menjatuhkan sesembahan selain Allāh asalnya disyari'atkan, akan tetapi apabila dalam suatu kondisi bisa mengantarkan kepada pencelaan terhadap Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka hukumnya dilarang.

Ini kita berbicara tentang washilah yang tadinya hukumnya disyari'atkan menjadi haram gara-gara mengantarkan kepada tujuan yang haram, apalagi jika ternyata washilahnya juga haram.

Seperti dalam hadits ini, seseorang mencaci maki ayah orang lain hukumnya adalah haram.

Seseorang harus berusaha menjaga lisannya agar tidak mencaci maki ayah dan ibu orang lain.

Washilah ini haram dan juga mengantarkan kepada perkara yang haram yaitu akhirnya orang tersebut mencaci maki ayah dan ibunya.

Oleh karenanya saat terjadi seperti ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan: "Sesungguhnya orang ini telah mencaci ibunya dan ayahnya sendiri."

Kenapa? Karena dia yang telah menyebabkan.

Oleh karenanya "sebab mengambil hukum musabab (sebab mengambil hukum akibat)".

والله أعلم بالصواب
و السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-6 | Syirik Dan Dosa-Dosa Besar (Bagian 2)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 02 Rabi’ul Akhir 1439 H / 20 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-6 | Syirik Dan Dosa-Dosa Besar (Bagian 2)
~~~~~~~~~~~~~

SYIRIK DAN DOSA-DOSA BESAR (BAGIAN 2)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat, kita masih melanjutkan hadits Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu Ta'āla 'anhu.

Beliau bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tentang dosa yang paling besar, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menyebutkan dosa yang paling besar adalah berbuat kesyirikan.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dosa besar yang kedua dan ketiga :

(٢) أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ

⑵ Engkau membunuh anakmu karena kau khawatir dia makan bersamamu.

(٣) أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ

⑶ Engkau berzina dengan istri tetanggamu.

■ KEDUA

Kita tahu bahwasanya membunuh merupakan dosa besar apalagi membunuh seorang mu'min. Perkara darah seorang mu'min adalah perkara yang besar disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Banyak hadits mengingatkan akan bahaya dosa membunuh orang lain. Diantaranya seperti:

• ⑴ Sabda Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam:

لا يَزَالَ الْمُؤْمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا

"Seorang mu'min senantiasa berada dalam kelapangan dalam agamanya selama dia tidak menumpahkan darah yang haram."
(HR Bukhāri no. 6862 dari Ibnu 'Umar radhiyallāhu 'anhu)

⇒ Artinya ketika dia sudah menumpahkan darah yang haram maka dia kesempitan dalam agamanya.

Dalam hadits yang lain juga,

• ⑵ Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan:

لَزَوَال الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ من قَتْلِ  مُسْلِمٍ بِغَيْر حَقٍّ

"Sesungguhnya hilangnya dunia (dan seisinya) ini lebih ringan disisi Allāh Subhānahu wa Ta'āla daripada terbunuhnya (tertumpahkan darah) seorang Muslim tanpa haq."

(Shahih At Targib wa At Tarhib no.2438. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahīh lighairihi)

Oleh karenanya membunuh seorang Muslim menyebabkan masuk neraka Jahannam.

Diantaranya,

• ⑶ Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

إذا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ في النَّارِ. فَقُلْت:ُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ ؟
قال: إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

"Jika 2 orang Muslim saling bertemu dengan masing-masing menghunuskan pedang maka yang membunuh dan terbunuh sama-sama masuk neraka."

Para shāhabat berkata: "Yā Rasūlullāh yang membunuh jelas masuk neraka, tapi kenapa yang terbunuh juga masuk neraka?"

Kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam: "Yang terbunuh tadi juga sudah berniat untuk membunuh saudaranya."

(Muttafaqun ‘alaih. HR Bukhari no. 31 dan Muslim no. 2888 dari Abu Bakrah Nufa’i bin Harits Ats Tsaqafi).

Ini menunjukkan bahwa seseorang kalau dia ingin membunuh orang mu'min lain lantas tidak berhasil, maka diapun divonis neraka Jahannam oleh Nabi Shallallāhu 'Alayhi wa Sallam.

Lihatlah tadi yang terbunuhpun juga divonis masuk neraka Jahannam. Bagaimana lagi yang terlanjur membunuh?!

Oleh karenanya membunuh merupakan salah satu dosa yang sangat besar.

Yang lebih parah lagi kalau yang terbunuh adalah kerabat. Kita tahu bahwa kerabat harus disambung silaturahmi, tidak boleh diputuskan.

Diantara bentuk pemutusan silaturrahīm yang sangat besar adalah melukai dan memukul saudaranya, apalagi membunuh saudaranya tersebut.

Ini adalah tindakan yang sangat berbahaya.

Yang lebih parah lagi, diantara kerabat itu adalah membunuh anak sendiri, sebagaimana dalam hadits ini.

Ini tingkatan pembunuhan yang sangat berbahaya.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:

أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ

"Engkau membunuh anakmu karena engkau khawatir dia ikut makan bersamamu."

Dan ini adalah :

⑴ Bentuk dosa menumpahkan darah (kepada) yang tidak ada dosanya.

Anak-anak apa dosanya?

Kita membunuh orang yang mungkin punya kesalahan namun tidak sampai pada derajat harus ditumpahkan darah tapi kita tumpahkan darah, maka kita telah berdosa dan terancam neraka Jahannam, maka bagaimana lagi dengan membunuh seorang yang tidak memiliki dosa seperti anak kita?

Yang seharusnya kita rawat, kita sayang tetapi malah dibunuh, maka ini merupakan dosa yang sangat besar.

⑵ Dan ini juga mengumpulkan bentuk sūuzhan (berburuk sangka) kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Allāh menyebutkan di dalam Al-Qurān:

وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖنَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚإِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا

"Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena khawatir kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan kepada kalian. Sesungguhnya membunuh mereka (anak-anak) adalah dosa yang besar."
(QS Al-Isrā: 31)

Maka ini adalah fithrah yang sudah hilang, jika seseorang kemudian membunuh anaknya sendiri hanya karena takut kemiskinan.

Kemudian dosa yang berikutnya:

■ KETIGA

Berzina dengan istri tertangga.

Ini juga merupakan dosa yang sangat besar karena tetangga seharusnya tugas kita adalah menjaganya; menjaga kerabatnya dan istrinya.

Terutama tatkala tetangga kita sedang pergi, seakan-akan tetangga kita adalah amanah bagi kita.

Jangan sampai kita mengganggu tetangga tersebut.
Kalau tetangga punya kebutuhan maka kita yang memenuhi.

Mungkin kalau dari jauh dia ada sesuatu maka dia akan menghubungi kita, misal berkata:

"Tolong perhatikan istri dan anak saya.",
"Tolong perhatikan kebutuhan saya.",
"Tolong dicek rumah saya.",

Ini sebaliknya, tatkala tetangga (suami) sedang pergi malah dia mulai merayu istri tetangganya.

Oleh karenanya dalam hadits disebutkan:

أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ

"Engkau menzinai istri tetanggamu."

Dalam hadits ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak mengatakan:

أَنْ تَزْنِ

"Engkau berzina."

Akan tetapi "أَنْ تُزَانِيَ" menggunakan wazan مُفَاعَلَ (berlangsung).

⇒ Rayu merayu antara kedua belah pihak. Artinya dia merayu wanita tersebut sampai akhirnya wanita tersebut pun suka kepada dia.

Dan ini perlu tahapan.

Apabila seseorang akhirnya merayu istri tetangganya, perlahan-lahan akhirnya saling mencintai dan akhirnya terjadilah zina.

Maka ini bentuk pengkhianatan yang sangat besar terhadap tetangga.

Oleh karenanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganggap ini sebagai dosa yang paling besar.

Berzina secara umum saja adalah perkara yang sangat tercela.

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

"Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya ini perbuatan yang keji dan jalan yang sangat buruk."
(QS Al-Isrā 32)

Apalagi menzinai istri tetangga yang seharusnya kita jaga dan perhatikan tetapi malah sebaliknya yaitu dilanggar kehormatannya.

والله تعالى أعلم بالصواب

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Selasa, 19 Desember 2017

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-6 | Syirik Dan Dosa-Dosa Besar (Bagian 1)

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 01 Rabi’ul Akhir 1439 H / 19 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-6 | Syirik Dan Dosa-Dosa Besar (Bagian 1)
~~~~~~~~~~~~~

SYIRIK DAN DOSA-DOSA BESAR (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الوحيم

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ؟ قَالَ: "أَنْ تَجْعَلَ لِلّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ" قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَأْكُلَ مَعَكَ" قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: "أَنْ تُزَانِيَ حَلِيْلَةَ جَارِكَ"." مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Ibnu Mas'ūd radhiyallāhu 'anhu beliau berkata:

Aku bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wasallam: “Dosa apa yang paling besar (parah)?”

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: “Yaitu engkau menjadikan sekutu (tandingan) bagi Allāh Subhānahu wa-Ta’āla padahal Dia yang menciptakanmu.” (yaitu dosa kesyirikan).

Aku berkata: “Kemudian apa?”

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: “Jika engkau membunuh anakmu karena khawatir dia makan bersamamu.”

Aku berkata: “Kemudian apa setelah itu, wahai Rasūlullāh?”

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: “Engkau berzina dengan isteri tetanggamu.”

(Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa-Ta’āla,

Hadits ini menjelaskan tentang "Tiga Dosa Yang Paling Besar Yang Paling Membinasakan".

■ DOSA PERTAMA | Engkau mengambil tandingan bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dan merupakan syirik akbar (besar), padahal Allāh yang menciptakan engkau.

Sebagaimana hanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menciptakan engkau, (juga) menciptakan alam semesta, maka Dialah Yang Maha Esa, satu-satunya yang hendaknya diibadahi.

Maka, sungguh tidak logis jika engkau diciptakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla tetapi kemudian engkau ikut menyembah selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⇒ Maka inilah syirik akbar.

Dan syirik akbar dikatakan merupakan dosa yang paling besar karena dia mendatangkan berbagai macam kebinasaan (musibah) yaitu:

● Musibah ⑴

Orang yang melakukan syirik akbar maka SELURUH AMALAN yang dia kerjakan selama ini akan GUGUR.

Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

لَٮِٕنۡ أَشۡرَكۡتَ لَيَحۡبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡخَـٰسِرِينَ

"Jika engkau (wahai Muhammad) berbuat kesyirikan, maka akan gugur seluruh amalanmu dan engkau benar-benar akan termasuk orang yang merugi."

(QS Az-Zumar: 65)

Firman Allāh ini khitab (pembicaraan)nya ditujukan kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wasallam, demikian juga kepada seluruh Nabi.

Kata Allāh Subhānahu wa-Ta’āla:

وَلَوۡ أَشۡرَكُواْ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

"Kalau mereka (yaitu para Nabi seluruhnya) berbuat kesyirikan, maka akan gugur seluruh amalan mereka."
(QS Al-An'ām: 88)

Apalagi yang selain para Nabi jika melakukan kesyirikan maka tanpa ragu seluruh amalannya akan terhapuskan.

Maka sungguh merugi jika seseorang yang telah beribadah, misalnya selama 60 tahun atau 50 tahun, beribadah dalam waktu yang lama, mungkin dia berhaji, umrah, bersedekah, berbakti kepada orang tua dan beribadah dengan berbagai macam modelnya.

Kemudian diakhir hayatnya dia terjerumus ke dalam kesyirikan, misalnya berdo'a kepada selain Allāh atau menyembelih kepada selain Allāh, kemudian meninggal di atas kesyirikan tersebut, maka seluruh amalannya akan gugur.

⇒ Digugurkan oleh Allāh Subhānahu wa-Ta’āla, (sehingga) tidak bernilai sama sekali.

● Musibah ⑵

Orang yang melakukan syirik akbar maka TIDAK akan DIAMPUNI dosa-dosanya.

Seseorang yang jika meninggal dunia dalam kondisi melakukan dosa besar, misalnya, ada orang yang meninggal dalam kondisi mencuri atau sedang berzina tiba-tiba meninggal, wal iyyādzubillāh, orang ini di akhirat masih ada kemungkinan untuk dimaafkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kenapa? Karena dia tidak terjerumus dalam syirik akbar.

Berbeda kalau dia meninggal dalam kondisi syirik akbar (syirik besar), maka mustahil akan diampuni oleh Allāh Subhānahu wa-Ta’āla, karena Allāh yang menyatakan demikian.

Allāh mengatakan:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٲلِكَ لِمَن يَشَآءُ‌ۚ

"Sesungguhnya Allāh tidak akan mengampuni dosa kesyirikan, dan Allāh mengampuni dosa-dosa selain kesyirikan, bagi siapa yang dikehendaki-Nya."
(QS An-Nisā: 48)

Kalau seandainya dosa syirik bisa diampuni, maka Abū Thālib (paman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam) yang berhak untuk diampuni.

Kenapa? Karena Abū Thālib di masa hidupnya sejak awal dakwah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah membela dakwah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Dia rela mati untuk membela keponakannya yaitu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sangat sayang kepada pamannya. Dan tatkala pamannya akan meninggal dunia, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menasehatinya dengan mengatakan:

"Wahai pamanku, ucapkanlah LĀ ILĀHA ILLALLĀH, kalimat yang aku akan bela engkau di akhirat kelak."

Akan tetapi pamannya enggan untuk mengucapkan LĀ ILĀHA ILLALLĀH, sehingga meninggal dalam kesyirikan.

Tatkala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ingin memohonkan ampunan bagi pamannya, maka ditegur oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

مَا كَانَ لِلنَّبِىِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَسۡتَغۡفِرُواْ لِلۡمُشۡرِڪِينَ وَلَوۡ ڪَانُوٓاْ أُوْلِى قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمۡ أَنَّہُمۡ أَصۡحَـٰبُ ٱلۡجَحِيمِ

"Tidak pantas bagi Nabi dan juga tidak pantas bagi kaum mu'minin untuk memohonkan ampunan (kepada Allāh) bagi orang-orang musyrik, meskipun (orang-orang musyrik itu adalah) kaum kerabat, setelah jelas bagi mereka (bahwasanya orang-orang musyrik itu) adalah penghuni neraka Jahannam."

(QS At-Taubah: 113)

Maka, jika Abū Thālib yang memiliki jasa begitu besar terhadap Islam tidak diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, maka bagaimana lagi dengan selainnya?

Oleh karenanya, seorang yang meninggal dalam keadaan musyrik tidak ada kemungkinan untuk diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla di akhirat kelak.

Kenapa? Karena dia telah melakukan dosa yang sangat besar.

Dosa-dosa lain seperti zina, merampok, membunuh, durhaka kepada orang tua, itu semua berkaitan dengan hak hamba.

Berbeda dengan syirik, syirik adalah berkaitan dengan hak Allāh Subhānahu wa-Ta’āla.

Seharusnya hanya Allāh yang diibadahi karena Allāh yang menciptakan dia. Selain beribadah kepada Allāh, dia juga beribadah kepada selain Allāh (yaitu beribadah kepada sesama makhluk).

⇒ Maka ini merupakan dosa yang paling besar dan tidak diampuni olah Allāh Subhānahu wa-Ta’āla.

Kemudian musibah yang berikutnya,

● Musibah ⑶

Orang yang meninggal dalam kondisi syirik akbar, MUSTAHIL akan masuk kedalam surga. Dia akan KEKAL dalam neraka Jahannam selama-lamanya.

Kata Allāh Subhānahu wa-Ta’āla:

إِنَّهُ ۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَٮٰهُ ٱلنَّارُ‌ۖ وَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٍ

"Sesungguhnya orang yang berbuat kesyirikan, maka pasti Allāh mengharamkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka Jahannam. Tidaklah ada bagi orang-orang zhālim itu seorang penolongpun."
(QS Al-Māidah: 72)

Oleh karenanya orang musyrik tidak akan masuk surga KECUALI kalau onta bisa dimasukkan ke dalam lubang jarum.

Kata Allāh Subhānahu wa-Ta’āla:

إِنَّ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِـَٔايَـٰتِنَا وَٱسۡتَكۡبَرُواْ عَنۡہَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمۡ أَبۡوَٲبُ ٱلسَّمَآءِ وَلَا يَدۡخُلُونَ ٱلۡجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ ٱلۡجَمَلُ فِى سَمِّ ٱلۡخِيَاطِ‌ۚ

"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan sombong terhadap ayat-ayat Kami, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan mereka tidak akan masuk ke dalam surga, sampai unta (yang begitu besar) bisa dimasukkan ke dalam lobang jarum."
(QS Al-A’rāf: 40)

Ini merupakan kemustahilan.

Maka seorang yang meninggal dalam syirik akbar tidak akan diampuni oleh Allāh, seluruh pahalanya sia-sia dan tidak akan dimasukkan ke dalam surga.

Semoga Allāh melindungi kita dari dosa-dosa kesyirikan.

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Adab Bertamu

📗 *KITAB MINHAJUL MUSLIM* 📗
✍ _Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza'iri رحمه الله تعالى_

*BAB ADAB*
_PASAL KESEPULUH_

*ADAB BERTAMU*

👤 _Ustadz Dr. Khalid Basalamah, M.a حفظه الله تعالى_

📆 01 Rabi'ul Akhir 1439 H / 18 Desember 2017
⏰ Ba'da Isya - Selesai
🕌 Masjid Al-Ikhlas, Komplek Karang Tengah Permai, Ciledug, Tangerang Banten.
====================

Bertamu ini adalah Ibadah jika berniatkan karena Allah Subhânahu Wa Ta'âlâ untuk mengunjungi teman, kerabat, saudara dll. Bertamu yang paling tinggi kedudukan pahalanya adalah bertamu kepada Kerabat, Khususnya Kedua Orang Tua kita.

Seorang Muslim meyakini kewajiban menghormati tamu. Sebagaimana dengan Sabda Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barangsiapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamu."
(H.R Al-Bukhari no. 6018; Muslim no. 47)

Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Bersabda:
"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian (Kiamat), maka hendalah memuliakan tamunya dengan memberikan ja'izahnya (hak tamu atas pemilik rumah)." Para sahabat bertanya, "Apa saja ja'izahnya?" Beliau menjawab, "Sehari semalam, dan menjamu adalah selama tiga hari. Maka selebihnya adalah sedekah."
(H.R Al-Bukhari no. 6019; Muslim no. 48)

Maka dari itulah seorang Muslim berpegang teguh pada adab-adab berikut:

*A. UNDANGAN PERTAMUAN*

1. Hendaklah mengundang orang-orang bertakwa untuk bertakwa, bukan orang-orang yang fasik dan durhaka.
Sebab Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Bersabda:

لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ

“Janganlah engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu melainkan orang yang bertakwa.”
(H.R Ahmad no. 10944; Abu Dawud no. 4832; at-Tirmidzi no. 2395; Ibnu Hibban, 2/314 dan al-Hakim, 4/143. Hadist Shahih.)

2. Jangan hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk bertamu dengan mengabaikan orang-orang miskin.
Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Bersabda:

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan orang-orang miskinnya ditinggalkan.”
(H.R Al-Bukhari no. 5177; Muslim no. 1432.)

3. Tidak bermaksud bermewah-mewahan dan berbangga diri dengan bertamu, melainkan untuk mengikuti Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim 'Alaihissalâm yang dijuluki "Abu adh-Dhifan" (Orang yang suka mengundang tamu).

4. Jangan mengundang orang yang sudah mengetahui sulit untuk hadir atau orang yang terganggu oleh saudara-saudara yang hadir lainnya.

*B. ADAB MEMENUHI UNDANGAN JAMUAN*

1. Hendaklah seseorang Muslim selalu memenuhi Undangan, tidak melalaikannya  kecuali ada Udzur. Sebab Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Bersabda:

مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ

"Barangsiapa diundang, hendaklah ia memenuhinya."
(H.R Muslim no. 1430.)

2. Hendaknya tidak membeda-bedakan antara orang fakir dan orang kaya dalam memenuhi undangan.

3. Hendaklah tidak membeda-bedakan dengan yang jauh dengan yang dekat. Jika ada dua undangan hendaknya kita dahulukan yang pertama dengan meminta maaf kepada pengundang yang belakangan.

4. Hendaknya jangan tidak memenuhi undangan karena alasan berpuasa (Sunnah), akan tetapi segera menghadirinya.
Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Bersabda:

إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ

“Jika salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa, doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!”
(HR. Muslim no. 1431.)

5. Ketika memenuhi undangan hendaknya berniat menghormati saudaranya sesama Muslim agar mendapat pahala.

*C. ADAB MENGHADIRI UNDANGAN.*

1. Hendaknya tidak terlambat datang agar tidak membuat mereka gelisah, dan juga tidak tergesa-gesa untuk datang, agar tidak membuat mereka kaget karena belum siap.

2. Apabila memasuki ruangan majelis hendaknya tidak mengedepankan diri, akan tetapi hendaknya bersi

kap tawadhu' (rendah hati). Apabila dipersilahkan duduk, maka duduklah disitu dan jangan meninggalkannya.

3. Hendaklah segera menghidangkan makanan untuk tamu, karena segera menyuguhkan hidangan itu pertanda memuliakannya.
Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam Bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barangsiapa yang beriman Kepada Allah dan hari akhir hendaklah memuliakan tamu."
(H.R Al-Bukhari no. 6018; Muslim no. 47)

4. Hendaknya tidak segera mengangkat (menarik kembali) makanan sebelum mereka benar-benar tidak mengambilnya dan semua hadirin benar-benar selesai makan.

5. Hendaknya menghidangkan untuk tamu secukupnya, karena menyedikitkan itu menodai wibawa dan kehormatan diri, sedangkan berlebih-lebihan adalah sikap memaksakan diri dan ada unsur pamernya.

6. Apabila seorang Muslim menginap, hendaknya tidak lebih dari tiga hari, kecuali jika tuan rumahnya yang memaksanya untuk tinggal lebih dari itu.

7. Hendaknya mengantarkan tamu hingga keluar rumah, karena yang demikian itu kebiasaan para as-Salaf ash-Shalih.

8. Hendaknya tamu pulang dengan lapang dada, sekalipun ia merasakan ada kekurangan dari tuan rumah, yang demikian itu termasuk ciri _Husnul Khuluq_ (budi pekerti yang luhur) yang bisa mencapai derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat malam.

9. Hendaknya setiap muslim mempunyai tiga ruang tidur. Yang satu untuk dirinya, yang satu untuk keluarganya dan satu untuk tamu.

Wallâhu A'lam.

◻◻◻◻◻◻◻◻
✍ محمد رضوان
(Maa Haadzaa)

📨 Diposting dan disebarkan kembali oleh Maa Haadzaa

🕌 Silahkan bergabung untuk mendapatkan info seputar kajian dan atau ilmu sesuai sunnah
Melalui:
Website https://www.maahaadzaa.com
Join Channel Telegram https://goo.gl/tF79wg
Like Facebook Fans Page https://goo.gl/NSB792
Subscribe YouTube https://goo.gl/mId5th
Follow Instagram https://goo.gl/w33Dje
Follow Twitter https://goo.gl/h3OTLd
Add BBM PIN: D3696C01
WhatsApp Group khusus *Ikhwan* https://chat.whatsapp.com/61ro649XzxE98l4td4JvkB
WhatsApp Group khusus *Akhwat* https://chat.whatsapp.com/9saNIveT7I5L2bIcDZBJH0

Silahkan disebarluaskan tanpa mengubah isinya. Semoga menjadi ladang amal kebaikan untuk kita.
Jazaakumullahu khairan.

Sabtu, 16 Desember 2017

Bab 06 | Halful Fudhūl Dan Pernikahan Dengan Khadijah (Bag. 5 dari 8)

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 28 Rabi’ul Awwal 1438 H / 16 Desember 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 06 | Halful Fudhūl Dan Pernikahan Dengan Khadijah (Bag. 5 dari 8)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-0605
~~~~~~~~~~~~~~~

*PERISTIWA HALFUL FUDHŪL  DAN PERNIKAHAN DENGAN KHADIJAH, BAGIAN 05 DARI 08*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Alhamdulillāh, Allāh Subhānahu wa Ta'āla masih memberikan kita kesempatan untuk bersua kembali dalam rangka untuk mempelajari perjalanan sejarah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

In syā Allāh, kita akan membahas poin tentang pernikahan antara Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan sayyidah Khadījah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā.

Umur Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika menikah dengan Khadījah adalah 25 tahun.

Sedangkan umur Khadījah saat menikah dengan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam diperselisihkan oleh para ulamā dalam 2 pendapat:

⑴ Pendapat pertama|

Yang disebutkan oleh Al Waqidiy dalam Musnadnya dan Ibnu Sa'd dalam Thabaqatnya, bahwa umur Khadījah adalah 40 tahun.

Tetapi menurut Al Waqidiy bahwa hadītsnya tidak diterima (matrūkul hadīts).

⑵ Pendapat kedua|

Adapun Ibnu Ishāq menyebutkan bahwasanya umur Khadījah tatkala menikah dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah 28 tahun.

Kedua pendapat di atas tidak didukung dengan dalīl yang kuat. 

Yang pertama di dalam sanadnya ada perawi yang ditinggalkan riwayatnya (matrūkul hadīts). Sedangkan yang kedua tidak ada sanadnya.

Oleh Karena itu, usia Khadījah menikah dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bisa jadi berusia 40 tahun atau 28 tahun.

Sebagian ulamā merājihkan bahwa umur Khadījah 28 tahun.

Dalīlnya adalah karena setelah menikah dengan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam beliau melahirkan 6 orang anak, yaitu:

⑴ 'Abdullāh
⑵ Qāsim
⑶ Ummu Kultsūm
⑷ Ruqayyah
⑸ Zainab dan
⑹ Fāthimah

Dan sulit terbayangkan seorang wanita berumur 40 tahun masih bisa produktif melahirkan 6 orang anak.

Wallāhu A'lam bishshawāb, inilah yang rājih menurut sejumlah ulamā.

Namun ada dalīl yang menguatkan bahwasanya Khadījah waktu menikah adalah 40 tahun karena Khadījah hidup bersama Nabi selama 25 tahun.

Kalau Khadījah menikah umur 28 tahun maka Khadījah akan meninggal sekitar 53 tahun. Dan umur 53 tahun, seorang wanita masih terlihat cantik.

Padahal ada sebuah hadīts 'Āisyah eadhiyallāhu 'anhā menceritakan:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ خَدِيجَةَ أَثْنَى عَلَيْهَا فَأَحْسَنَ الثَّنَاءَ قَالَتْ فَغِرْتُ يَوْمًا فَقُلْتُ مَا أَكْثَرَ مَا تَذْكُرُهَا حَمْرَاءَ الشِّدْقِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهَا خَيْرًا مِنْهَا قَالَ مَا أَبْدَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْرًا مِنْهَا قَدْ آمَنَتْ بِي إِذْ كَفَرَ بِي النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْ كَذَّبَنِي النَّاسُ وَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْ حَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَلَدَهَا إِذْ حَرَمَنِي أَوْلَادَ النِّسَاءِ

_Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam jika menyebut tentang Khadījah maka iapun memujinya, dengan pujian yang sangat indah. Maka pada suatu hari akupun cemburu, maka aku berkata:_

_"Terlalu sering engkau menyebut-nyebutnya, ia seorang wanita yang sudah tua (ompong). Allāh telah menggantikannya buatmu dengan wanita yang lebih baik darinya."_

_Maka Nabi berkata:_

_"Allāh tidak menggantikannya dengan seorang wanitapun yang lebih darinya. Ia telah berimān kepadaku tatkala orang-orang kāfir kepadaku, ia telah membenarkan aku tatkala orang-orang mendustakan aku, ia telah membantuku dengan hartanya tatkala orang-orang menahan hartanya tidak membantuku, dan Allāh telah menganugerahkan darinya anak-anak tatkala Allāh tidak menganugerahkan kepadaku anak-anak dari wanita-wanita yang lain."_ 

(HR. Ahmad no 24864 dan dishahīkan oleh para pentahqiq Musnad Ahmad)

Jadi, Khadījah ketika meninggal dalam keadaan giginya telah ompong.

Ini menguatkan bahwa saat meninggal Khadījah umurnya sudah 60 tahun lebih. Sehingga menikah dengan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam saat berumur 40 tahun.

Dan wanita 40 tahun mungkin saja masih bisa melahirkan, apalagi orang-orang Arab.

Wallāhu A'lam bishshawāb.

Setelah menikah dengan Khadijah, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjalani kehidupan yang luar biasa, yang penuh dengan kebahagiaan dan kebahagiaan takkan bisa diraih kecuali dari istri yang shālihah.

Karena kalau hanya sekedar cantik, kaya dan keindahan tubuh dari seorang wanita, maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan, tapi mungkin hanya mendatangkan kelezatan sesaat.

Kebahagiaan adalah sesuatu keindahan yang tertanam di dalam hati seseorang dan ini tidak bisa didapatkan kecuali dari istri yang shālihah.

Khadījah radhiyallāhu 'anhā adalah wanita yang sangat mencintai Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Beliau benar-benar membela suaminya dengan pembelaan yang luar biasa.

Seluruh hartanya diberikan kepada suaminya untuk berdakwah dan inilah pentingnya kerjasama antara seorang yang berilmu dan seorang yang berharta dalam berdakwah.

Dan 2 orang ini yang patut kita cemburu, kata Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hadītsnya:

Dari ‘Abdullāh bin Mas’ūd radhiyallāhu 'anhu, ia berkata bahwa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

_“Tidak boleh hasad (ghibtah) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allāh anugerahkan padanya harta lalu ia infāqkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allāh beri karunia ilmu (Al Qurān dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya."_

(HR. Bukhāri nomor 73 dan Muslim nomor 816)

Karena dakwah sangatlah sulit bisa berjalan jika hanya mengandalkan ilmu tanpa dibantu dari sisi dana.

Inilah diantara hikmah Allāh menikahkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan Khadījah, saudagar yang kaya raya dan benar-benar mendukung dakwah nabi secara totalitas.

Selain Khadijah, Abū Bakr radhiyallāhu Ta'āla 'anhu termasuk saudagar kaya raya yang juga mensupport dakwah Nabi.

Oleh karenanya tatkala Bilāl disiksa oleh tuannya, Umayyah bin Khalaf, Abū Bakr radhiyallāhu 'anhu membebaskannya dan memerdekakannya dengan hartanya.

Karena saat itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak memiliki harta sehingga tidak mampu memerdekakan Bilāl.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah seorang yang miskin, sampai-sampai beliau bekerja menggembalakan kambing orang lain untuk mendapat upah dan kemudian diberikan kepada pamannya Abū Thālib.

Namun Allāh taqdirkan Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam menikah dengan Khadījah, saudagar wanita kaya raya yang seluruh hartanya diberikan kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk berdakwah.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memiliki 6 orang anak dan semuanya diurus oleh Khadījah radhiyallāhu 'anhā karena Khadījah ingin suaminya bisa konsentrasi untuk berdakwah, sehingga seluruh urusan rumah tangga diurus oleh Khadījah radhiyallāhu Ta'āla 'anhā

Demikian yang bisa disampaikan, In syā Allāh besok kita lanjutkan pada pembahasan selanjutnya.

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-------------------------------------

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits