Rabu, 26 September 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 17

BimbinganIslam.com
Rabu, 16 Muharram 1440 H / 26 September 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 018 | Hadits 17
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H018
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 17

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-18 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Dan kita sampai pada hadīts ke-17 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abī Dzar Al Ghifārī radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا، وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ حَسَنٍ
(رواه الإمام أحمد والترمذي)
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: "Bertaqwalah kepada Allāh di manapun dan kapanpun engkau berada, dan iringilah berbuatan yang jelek itu dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapusnya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik."
(Hadīts riwayat Imām Ahmad dan Imām At Tirmidzī)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini termasuk hadīts yang mulia, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam satu konteks, hadīts ini tentang hak Allāh dan hak para hambaNya.
Adapun hak Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka yang beliau sebutkan di sini adalah dengan cara menjalankan ketaqwaan kepada Allāh.
Dan yang dimaksud taqwa adalah menjaga diri agar terhindar dari kemarahan dan Adzāb Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan cara menjauhi hal-hal yang Allāh larang dan menjalankan hal-hal yang Allāh perintahkan dan Allāh wajibkan. Itu adalah hakikat ketaqwaan.
Ketaqwaan ini adalah wasiat yang Allāh wasiatkan kepada seluruh manusia serta diwasiatkan oleh para rasūl kepada umat-umat mereka.
Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman ketika menjelaskan tentang ucapan para rasūl kepada umat mereka.
أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱتَّقُوهُ
"Sembahlah olehmu Allāh, bertaqwalah kepada-Nya."
(QS Nuh: 3)
Karena ketaqwaan itu adalah wasiat yang senantiasa diberikan kepada para rasūl kepada umat-umat mereka.
Kemudian beliau (rahimahullāh) menjelaskan juga tentang sifat ketaqwaan. Disampaikan bahwasanya sifat orang-orang yang bertaqwa adalah,
√  Dengan cara berimān terhadap pokok-pokok ajaran Islām serta aqidah-aqidah Islāmiyyah,
√ Mengamalkan amalan-amalan ibadah yang dhāhir maupun yang bathin,
√ Bersabar terhadap musibah atau kesusahan yang menimpa dirinya,
√ Memberikan maaf kepada manusia,
√ Bersabar dari gangguan yang didapatkan dari mereka, apabila mereka menyakitinya,
√ Memberikan ihsan kepada orang lain,
√ Bersegera beristighfār dan bertaubat apabila terjerumus ke dalam perbuatan maksiat dan kezhāliman.
Sebagaimana disebutkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla  di dalam surat Al Baqarah ayat 177 dan surat Āli Imrān ayat 134.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebutkan di dalam dua ayat tersebut tentang sifat orang-orang yang bertaqwa.
Kemudian di dalam hadīts tadi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan, agar seorang senantiasa menjadikan ketaqwaan itu adalah sifat yang ada pada dirinya, pada setiap waktu dan setiap tempat di manapun dia berada.
Karena manusia butuh kepada ketaqwaan, kapanpun dan bagaimanapun kondisi dirinya.
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga menyebutkan di dalam hadīts tersebut, agar mengiringkan perbuatan yang buruk dengan perbuatan yang baik.
وأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحسنةَ تَمْحُهَا
Dan iringilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan hasanah, niscaya perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan buruk, yang demikian itu dikarenakan manusia ada kalanya bahkan sering lalai di dalam menjalankan ketaqwaan dan kewajiban yang diperintahkan oleh Allāh dan rasūlNya.
Sehingga dia butuh terhadap sesuatu yang bisa menjadi penghapus kesalahan yang dia lakukan karena kelalaian tersebut.
Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan solusi, memberikan jalan untuk menghapus kesalahan tersebut yaitu dengan cara mengiringi perbuatan jelek yang dia lakukan dengan perbuatan-perbuatan baik.
Dan beliau (rahimahullāh) menjelaskan bahwanya sebaik-sebaik perbuatan hasanah (perbuatan baik) yang dilakukan yang bisa menghapuskan perbuatan buruk adalah at taubatun nasuha (taubatan nasuha). Karena seorang yang bertaubat dengan taubatan nasuha maka Allāh akan ampuni dosa-dosanya.
Dan yang termasuk perbuatan hasanah yang bisa menghapuskan kejelekan adalah dengan cara memaafkan kesalahan manusia dan berbuat baik kepada mereka dan berusaha untuk menghilangkan kesulitan yang menimpa manusia, yang demikian itu merupakan perbuatan-perbuatan baik yang bisa menghapuskan dosa-dosa yang pernah dia lalukan karena kelalaian dalam menjalankan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla .
Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:
إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ
"Sesungguhnya perbuatan baik itu akan menghilangkan perbuatan yang buruk."
(QS Hūd: 114)
Kemudian beliau juga menyebutkan bahwasanya di antara hal yang juga bisa menghapuskan dosa adalah musibah yang menimpa seorang mukmin.
Karena tidaklah ada suatu musibah apapun yang menimpa seorang mukmin berupa kesedihan hatinya, kegundah-gulanaannya atau gangguan yang menimpa dirinya bahkan duri yang menyakitinya, melainkan akan Allāh ampunkan dengan sebab musibah tersebut kesalahan-kesalahan dirinya.
Dan hal tersebut termasuk juga hal-hal yang bisa menghapuskan dosa sebagaimana yang beliau sebutkan.
Kemudian di dalam hadīts tadi, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga menyebutkan tentang hak sesama manusia.
Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
 وخَالقِ النَّاسَ بخُلُقٍ حَسَنٍ
"Pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik."
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan yang dimaksud dengan akhlaq yang baik, ini terkumpul pada beberapa hal, yaitu:
⑴ Pergauli manusia dengan cara yang baik, yaitu dengan cara menahan diri untuk tidak menyakiti manusia dengan bentuk apapun.
⑵ Dengan cara memaafkan kesalahan yang pernah mereka lakukan kepada dirinya.
⑶ Dan juga dengan memperlakukan mereka dengan ucapan dan prilaku yang baik.
Dan juga termasuk mempelakukan manusia dengan cara yang baik yaitu dengan mendudukan manusia sesuai dengan posisi dan derajat mereka, sesuai dengan keadaan mereka.
√ Memperlakukan orang yang dia lebih muda dengan sesuatu yang seharusnya.
√ Memperlakukan orang yang lebih tua dengan sesuatu yang seharusnya.
√ Juga memperlakukan orang yang alim dengan seharusnya.
√ Juga memperlakukan orang yang jāhil dengan seharusnya.
⇒ Maka ini juga termasuk perkara mempergauli manusia dengan cara yang baik.
Barangsiapa yang menjaga hak Allāh dengan cara bertaqwa dan dia menjaga haq manusia dengan cara bermuamalah kepada mereka dengan cara yang baik, maka orang tersebut telah mendapatkan seluruh kebaikan.
Karena dia telah menjaga atau menunaikan semua hak yang harus dia penuhi, baik itu hak Allāh maupun hak para hamba Nya.
Oleh karena itu kita tahu bahwasanya hadīts ini adalah hadīts yang singkat namun maknanya begitu luas dan begitu agung yang menunjukkan segala bentuk kebaikan dengan cara menjaga hak Allāh dan menjaga hak manusia.
Demikian yang bisa kita sampaikan pada halaqah kita kali ini dan in syā Allāh akan kita lanjutkan lagi pada hadīts berikutnya di halaqah mendatang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________
🏡 *Donasi Markas* Dakwah dapat disalurkan melalui :
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank : 451
| No. Rek : 710-3000-507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
Konfirmasi Transfer *Hanya Via WhatsApp* & Informasi ;  0811-280-0606
SWIFT CODE : BSMDIDJA
▪ *Format Donasi : Markas Dakwah#Nama#Nominal#Tanggal*
📝 *Cantumkan Kode 25 di nominal transfer anda.*
Contoh : 100.025
_________________

Selasa, 25 September 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 17

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 15 Muharram 1440 H / 25 September 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 017 | Hadits 17
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H017bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H017
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 17

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-17 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Dan kita sudah sampai pada hadīts ke-16, hadīts dari Abū Sirmah radhiyallāhu ta'āla 'anhu, bahwa dia mengatakan.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
"Barangsiapa menimbulkan kemudharatan kepada orang lain, maka Allāh akan menimbulkan kemudharatan bagi dirinya. Dan barangsiapa mempersulit urusan orang lain maka Allāh akan mempersulit urusan dirinya."
(Hadīts riwayat At Tirmidzī dan Ibnu Mājah)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini mencakup dua azas, di antara azas-azas yang ada di dalam syari'at Islām.
أن الجزاء من جنس العمل في الخير والشر
⑴ Bahwasanya balasan suatu perbuatan sesuai dengan jenis perbuatan tersebut, baik dalam hal yang sifatnya kebaikan maupun yang sifatnya keburukan.
Oleh karena itu sebagaimana orang yang dia melakukan suatu amalan yang dicintai oleh Allāh, maka Allāh akan mencintainya.
Dan barangsiapa yang memudahkan urusan seorang muslim maka Allāh akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat, maka begitu juga seorang yang dia menimpakan kemudharatan kepada seorang muslim yang lain, maka Allāh pun akan menimbulkan (menimpakan) kemudharatan kepada dirinya.
Begitu pula orang yang dia mempersulit urusan orang lain, maka Allāh pun akan mempersulit urusan dirinya, karena balasan atas suatu perbuatan sesuai dengan perbuatan yang dia lakukan.
منع الضرر والمضارة
⑵ Larangan untuk menimbulkan kemudharatan atau melakukan sesuatu yang memudharatkan dirinya sendiri.
Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda dalam hadīts lain.
Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam)  bersabda:
لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ
"Tidak boleh seorang berbuat kenudharatan dan tidak pula dia menimbulkan kemudharat kepada orang lain."
Kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dharar itu tidak terlepas dari salah satu dari dua bentuk.
Dua bentuk tersebut, di antaranya:
⑴ Dharar yang sifatnya menghilangkan kemaslahatan yang ada (manfaat yang ada), maka dia dikatakan dharar (berbuat dharar) ketika dia menghilangkan suatu kemaslahatan yang sudah ada.
⑵ Menimbulkan suatu kerusakan, apapun caranya dia menimbulkan kerusakan tersebut.
⇒ Kedua bentuk dharar ini sama-sama dilarang.
Kemudian Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh mencontohkan berbagai macam perbuatan yang termasuk dalam kategori menimbulkan kemudharatan.
Di antaranya beliau sebutkan,
• Pertama dalam hal muamalah, bermuamalah terhadap sesama manusia, maka kemudharatan terjadi (timbul) kepada kecurangan di dalam bermuamalah atau menyembunyikan cacat pada barang yang dibeli.
Begitu juga dia membuat penawaran yang palsu untuk menaikan harga atau juga dengan cara membeli sesuatu yang sedang ditawar oleh orang lain. Maka ini merupakan bentuk kemudharatan yang semua ini dilarang di dalam hal muamalah.
• Di antara bentuk kemudharatan juga, terjadi di dalam lingkungan bertetangga dengan bentuk ucapan atau perbuatan, maka semua yang menimbulkan kemudharatan menghilangkan maslahat atau manfaat yang dimiliki oleh tetangganya atau dia menimbulkan kerusakan pada sesuatu yang dimiliki tetangganya maka itu merupakan perkara yang haram dilakukan, karena itu termasuk dalam kategori menimbulkan kemudharatan.
• Juga dicontohkan di sini juga dalam masalah tentang hutang piutang, ketika seorang berhutang kemudian dia memiliki harta untuk membayar hutangnya tapi tidak dia gunakan untuk membayar hutang, tetapi malah dia belanjakan untuk hal yang lain, semisal dia bersedekah.
Padahal dia mempunyai kewajiban untuk membayar hutang, maka yang seperti ini termasuk orang yang menimbulkan kemudharatan kepada orang yang sudah memberikan hutang kepadanya. Dan itu dilarang.
• Kemudian di antara contoh dharar juga adalah pada kehidupan rumah tangga, seperti seorang suami yang dia sengaja untuk membiarkan istrinya berada di dalam ikatan rumah tangga bersamanya, padahal tidak bisa lagi terjadi maslahat di antara keduanya (tidak ada ketentraman) dengan tujuan supaya istrinya yang minta supaya diceraikan dengan mengembalikan mahar. Ini termasuk seorang suami yang melakukan kemudharatan kepada istrinya dan itu dilarang.
• Atau seorang yang dia punya dua istri, kemudian dia tidak berbuat adil kepada salah seorang istrinya maka ini juga termasuk kemudharatan yang dilarang, yang dampaknya Allāh akan menimpakan kepada dirinya kemudharatan pula.
• Dan diantara contoh lagi adalah seorang yang dia ditimpa penyakit yang menular, maka tidak boleh dia bergaul dengan bebasnya dikerumunan orang kalau dia memiliki penyakit yang sangat menular (mudah untuk menular) karena ini termasuk menimbulkan kemudharatan.
Sedangkan Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman dalam surat Al Ahzāb
وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَـٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَـٰنًۭا وَإِثْمًۭا مُّبِينًۭا
"Orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan orang-orang mukminat dengan sesuatu yang tidak mereka perbuat maka mereka telah melakukan kedustaan dan dosa yang jelas."
(QS. Al-Ahzāb: 58)
• Begitu juga Islām melarang orang untuk mengagetkan saudaranya yang sekira itu bisa membahayakan saudaranya tersebut meskipun dalam rangka bercanda, karena itu bisa menimbulkan kemudharatan bagi dirinya. Maka semua itu bentuk kemudharatan yang dilarang oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla .
Maka barangsiapa melakukan hal-hal tersebut maka balasan yang akan diterima adalah Allāh akan menjadikan  kemudharatan tersebut ada pada dirinya juga atau kemudharatan akan menimpa dirinya juga. Sebagaimana dia menimpakan kemudharatan kepada orang lain.
Yang terakhir yang beliau sampaikan di sini bahwa dari konteks hadīts ini bisa kita pahami bahwasanya kalau seorang menimpakan kemudharatan kepada orang lain, maka Allāh akan menimpakan kemudharatan kepada dirinya.
Maka sebaliknya apabila seorang dia berupaya untuk menghilangkan kemudharatan dari orang lain atau membantu orang lain terlepas dari suatu kemudharatan dan kesulitan maka balasannya Allāh akan bantu dia pula dari kesulitan atau kemudharatan yang sedang menimpa dirinya.
الجزاء من جنس العمل
"Balasan suatu perbuatan sesuai dengan jenis perbuatan yang dia lakukan.”
Demikian penjelasan yang beliau sampaikan berkenaan dengan hadīts ini dan in syā Allāh akan kita lanjutkan lagi pada hadīts berikutnya di halaqah mendatang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________
🏡 *Donasi Markas* Dakwah dapat disalurkan melalui :
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank : 451
| No. Rek : 710-3000-507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
Konfirmasi Transfer *Hanya Via WhatsApp* & Informasi ;  0811-280-0606
SWIFT CODE : BSMDIDJA
▪ *Format Donasi : Markas Dakwah#Nama#Nominal#Tanggal*
📝 *Cantumkan Kode 25 di nominal transfer anda.*
Contoh : 100.025
_________________

Senin, 24 September 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 16

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 14 Muharram 1440 H / 24 September 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 016 | Hadits 16
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H016
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 16

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-16 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts ke-15 yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu ta'āla 'anhā. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
"Perlakukanlah manusia sesuai dengan posisi mereka atau tempatkanlah manusia pada posisi-posisi mereka."
(Hadīts riwayat Abū Dāwūd)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh mengatakan bahwa hadīts ini merupakan hadīts yang mulia yang di dalamnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan kepada umat ini agar mereka senantiasa bersikap bijaksana, karena yang disebut dengan bijaksana adalah:
وضع الشيء مواضعها وتنزيلها منازلها
"Menempatkan segala sesuatu pada posisinya."
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla adalah Al Hakīm (Maha bijaksana) di dalam penciptaan, dan di dalam pengaturan alam semesta, di dalam syari'at yang Allāh tetapkan, perintah dan larangan semua itu berdasarkan kebijaksanaan yang Allāh miliki.
Oleh karena itu manusiapun diperintahkan untuk bersikap bijaksana di dalam mereka berbuat.
Dan beliau (rahimahullāh) di sini mencontohkan beberapa hal yang termasuk dalam penerapan hadīts ini.
Di antaranya:
⑴ Bermuamalah dengan manusia sesuai dengan kedudukan mereka, maka orang yang lebih tua, dia diperlakukan dengan hormat dan penuh dengan kehormatan serta dimuliakan.
● Dan orang yang lebih muda atau anak-anak yang lebih muda, maka mereka diperlakukan dengan cara kasih sayang dan kelemah-lembutan yang sesuai dengan kondisi mereka.
Seperti anak kecil apabila dia diperintahkan untuk melakukan suatu kebaikan atau dia dilarang dari suatu perbuatan yang buruk, maka dia diperintah atau dilarang dengan cara yang lembut.
Juga diberikan motivasi seperti diberikan hal-hal yang bisa menjadikan dia mau untuk menjalankan perintah atau menjauhi sesuatu yang buruk.
● Adapun orang yang dia lebih mulia, lebih tua atau dia memiliki kedudukan maka dia diarahkan dengan cara yang sopan dengan cara yang penuh dengan kehormatan.
Sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla memerintahkan kepada nabi Mūsā dan nabi Hārun ketika Allāh perintahkan mereka mendakwahkan Fir'aun.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ۞ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
"Pergilah kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas dan ucapkanlah kepadanya dengan ucapan yang layyin (lembut) menghormati dia, semoga saja dia bisa mengambil ibrah dan dia takut akan peringatan tersebut. "
(QS Thāhā: 43-44)
Maka ini adalah bentuk penerapan hadīts ini, memperlakukan manusia, bermuamalah dengan manusia sesuai dengan posisi dan kedudukan yang mereka miliki.
⑵ Di dalam memberikan posisi jabatan atau tugas tertentu maka harus dilakukan dengan bijaksana juga, yaitu dengan menugaskan orang yang dia memiliki keahlian dibidangnya bukan dengan memilih orang-orang yang mereka tidak mampu untuk mengerjakan hal tersebut atau bukan bidangnya.
Justru harus dipilih orang-orang yang mereka lebih ahli di dalam bidang tersebut dan ini tentunya lebih diperhatikan oleh setiap orang yang dia memegang suatu kepemimpinan dalam hal apapun.
Baik kepemimpinan yang mencakup lingkup dalam negara atau kepemimpinan di dalam skala yang lebih kecil.
Dia harus memilih orang-orang yang mampu dan memiliki keahlian di bidang tugas tersebut.
Karena ini merupakan suatu bentuk kebijaksanaan yang diperintahkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.
أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ
"Tempatkan manusia pada posisi-posisi mereka. "
⑶ Contoh ketiga yang beliau bawakan disini termasuk penerapan hadīts ini adalah dalam masalah memberikan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan kejahatan atau kemaksiatan.
Sikap kebijaksanaan dilakukan dengan cara apabila hukuman dari perbuatan tersebut telah ditentukan oleh syari'at ada hukuman hadnya maka pelakunya diberikan hukuman sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syari'at apabila memang sudah ditetapkan oleh syari'at hukuman tertentu.
Seperti penerapan hukuman had, adapun kalau perbuatan tersebut belum ditentukan secara khusus jenis hukumannnya oleh syari'at, maka disitulah penegak hukum dia menerapkan hukuman yang dia pandang sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
Dia berijtihad di situ yang dinamakan dengan hukuman ta’zir yang tentunya kembali kepada ijtihadnya seorang imām yang dia pandang lebih cocok untuk perbuatan kejahatan tersebut.
Maka ini juga merupakan bijaksana apabila hal tersebut dilakukan.
⑷ Contoh lain yang beliau bawakan di sini yang termasuk perbuatan bijaksana adalah di dalam memberikan suatu sedekah atau hadiah.
Dicontohkan haruslah bijak di dalam memberikannya jangan disamakan antara orang yang dia tidak menjaga kehormatan dirinya dan meminta-minta kepada setiap orang, dengan orang yang dia berusaha menjaga kehormatan dirinya padahal dia sangat butuh.
Seorang yang memberi harus bijak dalam masalah tersebut.
Begitu juga dia bijak dalam memberikan kepada orang yang bisa memberikan manfaat kepada kaum muslimin dibandingkan orang yang manfaatnya hanya terbatas kepada dirinya sendiri.
Dia harus berusaha bijak dan menentukan mana yang lebih dia utamakan dan mana yang lebih dia prioritaskan dalam masalah tersebut.
Orang yang manfaatnya bisa berefek kepada masyarakat umum dengan orang yang kalau dia diberikan hanya sebatas pada kepentingan pribadinya saja, maka seorangpun harus bersikap bijak dalam masalah tersebut.
Ini di antara hal-hal yang beliau bawakan, mencontohkan bagaimana hadīts ini merupakan hadīts yang agung yang lafadznya singkat namun maknanya sangatlah mendalam dan luas dalam penerapan kehidupan sehari-hari.
Semoga apa yang kita kaji pada halaqah kita kali ini bermanfaat dan bisa kita terapkan hal tersebut dalam kehidupan kita dan semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita orang-orang yang Allāh berikan taufīq untuk bersikap bijak dalam segala perbuatan yang kita lakukan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ نشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا أَنْتَ نسْتَغْفِرُكَ وَنتُوبُ إِلَيْكَ
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________
🏡 *Donasi Markas* Dakwah dapat disalurkan melalui :
| Bank Mandiri Syariah
| Kode Bank : 451
| No. Rek : 710-3000-507
| A.N : YPWA Bimbingan Islam
Konfirmasi Transfer *Hanya Via WhatsApp* & Informasi ;  0811-280-0606
SWIFT CODE : BSMDIDJA
▪ *Format Donasi : Markas Dakwah#Nama#Nominal#Tanggal*
📝 *Cantumkan Kode 25 di nominal transfer anda.*
Contoh : 100.025
_________________

Sabtu, 22 September 2018

TATA TERTIB

Demi kemaslahatan bersama dan agar terjalin tali ukhuwah Islamiyyah di antara Sahabat, berikut kami sampaikan Tata Tertib Ruang "YASIN DZU THAQSIR".
➖➖➖

⛔⛔ *Tata Tertib* ⛔⛔

➖➖➖

1⃣ Peserta Tidak diijinkan mengganti atau meng-edit icon Group dan namanya.
➖➖➖
2⃣ Ruangan ini hanya untuk *DISKUSI RINGAN* dalam rangka menjalin keakraban antar sahabat.
➖➖➖
3⃣ Hal-hal yang bersifat privasi pribadi, dan menyangkut orang laindan hal hal berbau politik dilarang diposting di ruangan ini.
➖➖➖
4⃣ *BOLEH* memposting artikel dengan menyantumkan sumber yang bisa dipertanggung jawabkan.
➖➖➖
5⃣ Bagi yang mempunyai Jadwal Kajian rutin bisa saling menginfokan tak lupa info kontak untuk sebagai pertanggung jawaban.
➖➖➖
6⃣ Untuk menjaga kondusivitas group, kami berharap antar anggota saling menghormati, memahami dan mengedepankan tali ukhuwah islamiyyah serta mengesampingkan perbedaan adat, latar belakang pendidikan dan status sosial.
➖➖➖
7⃣ Bila terjadi diskusi atau beda pendapat, *DILARANG* saling menghina, merendahkan, memvonis sesat antara sesama anggota atau ditujukan kepada orang lain.
➖➖➖
8⃣ Semua anggota wajib menjaga ukhuwah islamiyyah antar sesama.
➖➖➖
9⃣ Anggota yg *melanggar* TATA TERTIB Group, akan mendapat teguran, peringatan atau LANGSUNG *dikeluarkan* dari group demi menjaga kemaslahatan bersama.

 

TTD

 

Tim Grup YASIN

ADAB-ADAB MENGUAP

ADAB-ADAB MENGUAP
Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
1. Apabila seseorang akan menguap, maka hendaknya menahan semampunya dengan jalan menahan mulutnya serta mempertahankannya agar jangan sampai terbuka, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
التَّثَاؤُبُ فَإِنَّمَا هُوَ مِنَ الشَّيْطَانِ فَإِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرُدَّهُ مَا اسْتَطَاعَ.
“Kuapan (menguap) itu datangnya dari syaitan. Jika salah seorang di antara kalian ada yang menguap, maka hendaklah ia menahan semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 6226 dan Muslim no. 2944. Lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Apabila tidak mampu menahan, maka tutuplah mulut dengan meletakkan tangannya pada mulutnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا تَثَاءَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيُمْسِكْ بِيَدِهِ عَلَى فِيْهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ
“Apabila salah seorang di antara kalian menguap maka hendaklah menutup mulut dengan tangannya karena syaitan akan masuk (ke dalam mulut yang terbuka).” [HR. Muslim no. 2995 (57) dan Abu Dawud no. 5026]
2. Tidak disyari’atkan untuk meminta perlindungan dari syaitan kepada Allah ketika menguap, karena hal tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula dari para Sahabatnya.
ADAB-ADAB BERSIN
1. Hendaknya orang yang bersin untuk merendahkan suaranya dan tidak secara sengaja mengeraskan suara bersinnya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا عَطَسَ غَطَّى وَجْهَهُ بِيَدِهِ أَوْ بِثَوْبِهِ وَغَضَّ بِهَا صَوْتَهُ.
“Bahwasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya.” [HR. Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205]
2. Hendaknya bagi orang yang bersin menahan diri untuk tidak menolehkan leher (menekukkan leher) ke kanan atau ke kiri ketika sedang bersin karena hal tersebut dapat membahayakannya. Seandainya lehernya menoleh (menekuk ke kanan atau ke kiri) itu dimaksudkan untuk menjaga agar tidak mengenai teman duduk di sampingnya, hal itu tidak menjamin bahwa lehernya tidak cedera. Telah terjadi pada beberapa orang ketika bersin memalingkan wajahnya dengan tujuan untuk menjaga agar teman duduknya tidak terkena, namun berakibat kepalanya kaku dalam posisi menoleh.
3. Dianjurkan kepada orang yang bersin untuk mengucapkan alhamdulillaah sesudah ia selesai bersin. Dan tidak disyari’atkan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya untuk serta merta mengucapkan pujian kepada Allah (menjawabnya) ketika mendengar orang yang bersin. Telah ada ungkapan pujian yang disyari’atkan bagi orang yang bersin sebagaimana yang tertuang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu:
اَلْحَمْدُ ِللهِ.
“Segala puji bagi Allah” [HR. Al-Bukhari no. 6223, at-Tirmidzi no. 2747]
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” [HR. Al-Bukhari di dalam al-Adaabul Mufrad no. 394, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 224, Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.259. Lihat Shahihul Jami’ no. 686]
اَلْحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
“Segala puji bagi Allah atas segala hal” [HR. Ahmad I/120,122, at-Tirmidzi no. 2738, ad-Darimi II/283, al-Hakim IV/66. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/354 no. 2202]
اَلْحَمْدُ ِللهِ حَمْدًا كَثِِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَ يَرْضَى.
“Segala puji bagi Allah (aku memuji-Nya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh ke-berkahan sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami.” [HR. Abu Dawud no. 773, al-Hakim III/232. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud I/147 no. 700]
4. Wajib bagi setiap orang yang mendengar orang bersin (dan mengucapkan alhamdulillah) untuk melakukan tasymit kepadanya, yaitu dengan mengucapkan,
يَرْحَمُكَ اللهُ
“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”
Apabila tidak mendengarnya mengucapkan al-hamdulillah, maka janganlah mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, dan tidak perlu mengingatkannya untuk mengucapkan hamdallah (ucapan alhamdulillaah).[1]
5.Bila ada orang kafir bersin lalu dia memuji Allah, boleh berkata kepadanya:
يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ.
“Semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian.”
Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:
كَانَ الْيَهُوْدُ يَتَعَاطَسُوْنَ عِنْدَ رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْجُوْنَ أَنْ يَقُوْلَ لَهُمْ يَرْحَمُكُمُ اللهُ، فَيَقُوْلُ: يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ باَلَكُمْ.
“Orang-orang Yahudi berpura-pura bersin di ha-dapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berharap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudi mengatakan kepada mereka yarhamukumullah (semoga Allah memberikan rahmat bagi kalian), namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengucapkan yahdikumullaah wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” [HR. Ahmad IV/400, al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad II/392 no. 940, Abu Dawud no. 5058, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 232, at-Tirmidzi no. 2739, al-Hakim IV/268. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi II/354 no. 2201]
6. Apabila orang yang bersin itu menambah jumlah bersinnya lebih dari tiga kali, maka tidak perlu dijawab dengan ucapan yarhamukallah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيُشَمِّتْهُ جَلِيْسُهُ، وَإِنْ زَادَ عَلَى ثَلاَثٍ فَهُوَ مَزْكُوْمٌ وَلاَ تُشَمِّتْ بَعْدَ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ.
“Apabila salah seorang di antara kalian bersin, maka bagi yang duduk di dekatnya (setelah mendengarkan ucapan alhamdulillaah) menjawabnya dengan ucapan yarhamukallah, apabila dia bersin lebih dari tiga kali berarti ia sedang terkena flu dan jangan engkau beri jawaban yarhamukallah setelah tiga kali bersin.” [HR. Abu Dawud no. 5035 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 251. Lihat Shahiihul Jami’ no. 684]
Dan jangan mendo’akan orang yang bersin lebih dari tiga kali serta jangan pula mengucapkan kepadanya do’a:
شَفَاكَ اللهُ وَعَافَاكَ.
“Semoga Allah memberikan kesembuhan dan menjagamu.”
Karena seandainya hal tersebut disyari’atkan maka tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya.
7. Apabila ada orang yang bersin sedangkan imam sedang berkhutbah (Jum’at), maka ia harus mengucapkan alhamdulillah (dengan merendahkan suara) dan tidak wajib untuk dijawab yarhamu-kallah karena diam dikala khutbah Jum’at adalah wajib hukumnya.
8. Barangsiapa yang bersin sedangkan ia dalam keadaan tidak dibolehkan untuk berdzikir (memuji Allah), misalnya sedang berada di WC, apabila ia khilaf menyebutkan alhamdulillah, maka tidak wajib bagi kita yang mendengarkannya untuk menjawab yarhamukallah. Hal ini karena berdzikir di WC terlarang. [Lihat kitab Adaabut Tatsaa-ub wal ‘Uthas oleh ar-Rumaih]
[Disalin dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan, Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
_______
Footnote
[1]. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللهَ: فَشَمِّتُوْهُ فِإِنْ لَمْ يَحْمَدِ اللهَ فَلاَ تُشَمِّتُوْهُ.
“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan alhamdulillah, maka hendaklah kalian mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, namun jika tidak, maka janganlah mengucapkan tasymit baginya.” [HR. Muslim no. 2992]

Sumber: https://almanhaj.or.id/4010-adab-adab-menguap-dan-bersin.html

Senin, 17 September 2018

WAKTU-WAKTU YANG DILARANG UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT (BAG.1)

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 23 Dzulhijjah 1439 H / 04 September 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 49 | Waktu-Waktu Yang Dilarang Untuk Melaksanakan Shalat (Bagian 1)
〰〰〰〰〰〰〰
WAKTU-WAKTU YANG DILARANG UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT (BAG.1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para Shahābat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah yang ke-49, dan kita masuk pada pembahasan tentang "Waktu-waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalāt bagian pertama "
قال المصنف:
Berkata penulis rahimahullāh :
وخمسة أوقات لا يصلى فيها
"Dan ada 5 waktu yang tidak boleh shalāt didalamnya".
⇒ Larangan shalāt disini adalah larangan untuk shalāt sunnah mutlak.
⇒ Larangan di lima waktu berlaku untuk semua tempat kecuali Harām Mekkah.

Apa Hukum shalāt sunnah mutlak di Harām Mekkah?
▪ Disana ada 2 (dua) pendapat
⑴ Syāfi'iyah
Pendapat Syāfi'iyah dalam masalah ini adalah membolehkan shalāt diwaktu yang terlarang jika dilakukan di Harām Mekkah, bahkan tidak terbatas pada masjidnya namun meliputi tanah Harām seluruhnya (Boleh shalāt di waktu yang terlarang).
Berdasarkan hadīts Jabir bin Muth'im dalam sunan Tirmidzi dan lainnya.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

 يا بني عبد مناف، لا تمنعوا أحدا طاف بهذا البيت وصلى أية ساعة شاء من ليل أو نهار

"Wahai bani Abdi Manaf, janganlah kalian melarang siapapun yang hendak thawāf di rumah ini (Ka'bah) dan shalāt kapan saja di malam ataupun di siang hari."
(HR Tirmidzi)

⑵ Jumhūr ulamā
Adapun pendapat jumhūr ulamā (mayoritas ulamā) bahwasanya hadīts tersebut maksudnya adalah hanya khusus shalāt thawāf 2 (dua) rakaat saja (shalāt sunnah thawāf).
⇒ Pendapat jumhūr dalam masalah ini lebih kuat daripada pendapat yang lainnya.
Berkata penulis :
 إلا صلاة لها سبب

"Kecuali shalāt yang memiliki sebab"

⇒ Madzhab Syāfi'iyah dan juga jumhūr membolehkan seluruh shalāt yang memiliki sebab dalam waktu yang terlarang, baik shalāt sunnah ataupun shalāt wajib, ini adalah pendapat yang lebih kuat (rajih).
Disana ada yang mengatakan bahwasanya shalāt sunnah tidak boleh dilakukan pada saat waktu yang terlarang.
· Shalāt yang memiliki waktu sebab diantaranya adalah :
√ Shalāt wajib
√ Shalāt sunnah tahiyyatul masjid
√ Shalāt sunnah wudhu
√ Dan shalāt-shalāt sunnah yang lainnya yang dia memiliki sebab.
Hal ini berdasarkan hadīts Anas, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
"Barangsiapa yang lupa untuk shalāt (shalāt apa saja), maka hendaknya dia shalāt tatkala dia ingat"
(HR Imam yang lima /Al khamsah)
Disini disebutkan bahwasanya dia shalāt pada saat dia ingat (pada saat kapan saja dia ingat) maka dia shalāt.
Dan disini bisa lebih jelas yaitu hadits Ummu Salamah beliau berkata:
"Manakala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalāt dua raka'at setelah Ashar, maka Ummu Salamah pun bertanya akan hal itu, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam  menjawab :

يَا بِنْتَ أَبِي أُمَيَّةَ سَأَلْتِ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ، إِنَّهُ أَتَانِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ بِالْإِسْلَامِ مِنْ قَوْمِهِمْ، فَشَغَلُونِي عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ، فَهُمَا هَاتَانِ»

Wahai anak Abū Umayyah (Ummu Salamah), kamu menanyakan dua raka'at setelah shalāt Ashar ? orang-orang dari kabilah Abdil Qais, mereka mendatangiku untuk masuk Islam dari kaumnya, maka hal itu membuatku sibuk dari dua raka'at/sibuk untuk mengerjakan shalāt dua raka'at setelah dhuhur, maka dua raka'at tadi penggantinya"
(HR Bukhāri dan Muslim I/571)

Jadi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengganti (mengqadha) shalāt ba'diyah dhuhur dilakukan pada waktu shalāt Ashar.
⇒ Begitu juga shalāt tahiyatul masjid diperintahkan untuk shalāt tatkala masuk masjid kapan saja, berdasarkan hadīts Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam :
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
"Apabila  salah seorang dari kalian masuk masjid, maka shalātlah dua raka'at sebelum duduk"
(HR Bukhari I/96 dan Muslim)

⇒ Jadi shalāt dua raka'at dikaitkan dengan masuk dalam masjid waktunya kapan saja.
⇒ Jadi waktu-waktu yang terlarang tersebut terkait dengan shalāt sunnah muthlak.
Apa itu shalāt sunnah muthlak?

Shalāt sunah mutlak adalah semua shalāt sunah yang dilakukan,
√ Tanpa terikat waktu
√ Tanpa sebab tertentu
√ Jumlah raka'at tertentu
Sehingga boleh dilakukan kapan saja, di mana saja, dengan jumlah (raka'at) berapa saja, selama tidak dilakukan di waktu atau ditempat yang terlarang untuk shalāt
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 27:154)
Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
 Ditranskrip oleh Tim Transkrio BiAS
_____________________
🏦 Donasi Dakwah BIAS dapat disalurkan melalui :
🎗 Bank Mandiri Syariah
🥇 Kode Bank : 451
💳 No. Rek : 710-3000-507
🏬 A.N : YPWA Bimbingan Islam
📲 Pendaftaran Donatur Tetap & Konfirmasi Transfer Hanya via WhatsApp ke:  0878-8145-8000
SWIFT CODE : BSMDIDJA (Luar Negeri)
▪ Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 700 di akhir nominal transfer anda...
_____________________

KITAB SYAMĀIL MUHAMMADIYAH, HADITS 3


🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 7 Muharram 1440 H / 17 September 2018 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 04 | Hadits 3
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-04bit.ly/SyamailMuhammadiyah-04
〰〰〰〰〰〰〰
*KITAB SYAMĀIL MUHAMMADIYAH, HADITS 3*

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ وَالْأَخْلَاقَ وَالْأَرْزَاقَ وَالْأَفْعَالَ، وَلَهُ الشُّكْرُ عَلَى إِسْبَاغِ نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِالْإِفْضَالِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُولِهِ الْمُخْتَصِّ بِحُسْنِ الشَّمَائِلِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَوْصُوفِينَ بِالْفَوَاضِلِ وَالْفَضَائِلِ، وَعَلَى أَتْبَاعِهِ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِمَا ثَبَتَ عَنْهُ بِالدَّلَائِلِ. أما بعد
Sahabat Bimbingan Islam yang semoga selalu dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, pada pertemuan keempat ini, kita akan membaca hadits ketiga yang dibawakan oleh Imam At Tirmidzi rahimahullāh dalam kitab Asy Syamāil Al Muhammadiyyah. Beliau berkata:
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يَقُولُ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ، عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ، عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ»
_"(Imam At Tirmidzi rahimahullāh membawakan hadist ini lengkap dengan jalur periwayatannya hingga Al Barak bin ‘Azib radhiyallāhu 'anhu, beliau berkata:)_
_“Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah seorang yang memiliki tinggi ideal, memiliki dada yang bidang dengan pundak yang saling berjauhan. Sebagaian besar rambut Beliau panjangnya hingga daun telinga. Saat itu Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam memakai pakaian dari Yaman yang berwarna merah dan aku tidak pernah melihat apapun yang lebih indah dari pada Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika memakai pakaian tersebut.”_
Hadist ini diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dengan no 3551 dan Imam Muslim 2337.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari hadist ini adalah :
1. Bahwasannya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah seorang yang memiliki dada yang bidang, dalam hadist diibaratkan dengan kedua bahu yang saling berjauhan.
2. Rambut beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam cukup panjang. Sebagian besar hingga daun telinga dan ada yang sampai dipundak sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadist lainnya.
3. Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah memakai pakaian (hullah) yang berwarna merah.

Memakai pakaian yang berwarna merah merupakan salah satu hal yang diperbincangkan oleh para ulama, ada perbedaan pendapat pada permasalahan ini. Dalam Fathul Bari disebutkan hingga 8 pendapat.
Sebagian ulama yang berpendapat bolehnya memakai pakaian berwarna merah berdalil dengan hadist ini. Dan untuk pembahasan lebih detailnya bisa merujuk ke kitab-kitab fiqih yang telah membahas permasalahan ini.
4. Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah seorang yang sangat indah untuk dipandang, melebihi keindahan rembulan dan juga matahari serta pemandangan-pemandangan indah lainnya. Oleh sebab itu perawi memakai kata: “Aku tidak pernah melihat apapun yang lebih indah darinya,” bukan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih indah darinya.”
Demikian pembahsan hadits yang ketiga kita kali ini, semoga bermanfaat
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك
Akhukum fillah,
Ratno
Dikantor Bimbingan Islam Yogyakarta
_____________________
🏦 Donasi Dakwah BIAS dapat disalurkan melalui :
🎗 Bank Mandiri Syariah
🥇 Kode Bank : 451
💳 No. Rek : 710-3000-507
🏬 A.N : YPWA Bimbingan Islam
📲 Pendaftaran Donatur Tetap & Konfirmasi Transfer Hanya via WhatsApp ke:  0878-8145-8000
SWIFT CODE : BSMDIDJA (Luar Negeri)
▪ Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 700 di akhir nominal transfer anda...

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 14

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 1 Muharrom 1440 H / 11 September 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 014 | Hadits 14
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H014bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H014
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 14

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام  على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-14 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Pada halaqah kita kali ini, kita sudah sampai pada hadīts dari Abū Mūsā Al Asya'rī radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Beliau mengatakan, Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا وشبك بين أصابعه
الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ، يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ". وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ.

"Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat suatu bangunan yang satu sama lain saling menguatkan. Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjalin jari jemari beliau"
(Hadīts riwayat Imām Bukhāri dan Muslim)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan hadīts ini, bahwa hadīts ini adalah hadīts yang mulia yang berbicara tentang prinsip utama yang harus dipegang oleh seluruh kaum muslimin.
Yaitu mereka harus tahu bahwasanya kaum muslimin itu adalah saudara, yang harus saling menyayangi dan saling mencintai serta saling mendukung.
Yang satu sama lain harus berusaha untuk memberikan kepada saudaranya apa yang dia senang untuk diberikan kepada dirinya sendiri, serta mereka wajib untuk berusaha merealisasikan maslahat umum yang kembali kepada kaum muslimin secara keseluruhan.
Ibarat sebuah bangunan, yang di mana bangunan tersebut terdiri dari pondasi, tembok, atap dan pintu-pintu yang tidak akan mungkin masing-masing bisa berdiri sendiri begitu juga seorang muslim.
Begitu juga kaum muslimin mereka harus saling mendukung dan saling berpadu untuk mencapai kemaslahatan mereka bersama.
Kemudian beliau sebutkan bahwasanya perkara yang sifatnya fardu 'ain maka masing-masing harus berusaha merealisasikannya, berusaha untuk menjalankannya.
Adapun perkara yang sifatnya fadhu kifayah maka sebagian kaum muslimin harus tetap ada yang menjalankan fardu kifayah tersebut, tidak boleh tidak, maka masing-masing dia harus berusaha untuk menjalankan kewajiban dia sesuai dengan kemampuan dan posisinya.
Sesuai dengan peran dia di dalam tubuh kaum muslimin dan tentunya itu bisa terjadi dengan adanya musyawarah dan juga berusaha untuk menyatukan tekad mengapai maslahat yang sifatnya umum untuk kebaikan kaum muslimin.
Kemudian beliau contohkan di sini, bahwa masing-masing atau setiap golongan dari kaum muslimin harus berupaya untuk menjalankan kewajiban sesuai pada posisinya.
Contohnya ;
√ Ada orang yang kewajiban dia adalah belajar dan mengajarkan,
√ Kemudian kelompok yang lain, kewajiban dia adalah berjihād dan menjaga keamanan wilayah kaum muslimin,
√ Kemudian ada yang lain, yang kewajiban dia adalah berupaya untuk menyokong ekonomi kaum muslimin dengan keahlian-keahlian mereka. Seperti; perdagangan, pertanian atau usaha-usaha yang lain sesuai dengan keahlian mereka masing-masing.
Dan juga ada kelompok yang lain, yang kewajiban mereka adalah mempelajari tentang kepemerintahan atau ketatanegaraan, perkara siasat yang itu di butuhkan oleh kaum muslimin.
Sehingga apabila satu sama lain ini saling mendukung maka itu merupakan suatu wujud upaya untuk memberikan maslahat kepada Islām dan kepada kaum muslimin. Serta upaya untuk memerangi musuh-musuh kaum muslimin.
Maka intinya masing-masing lapisan dari kaum muslimin harus berusaha untuk memberikan maslahat kepada agama dan juga kepada kehidupan mereka seluruhnya dengan saling membantu dan saling mendukung.
Karena meskipun cara-cara (jalan-jalan) mereka berbeda akan tetapi tujuan mereka satu.
Kata beliau rahimahullāh bahwasanya الغاية واحدة وإن تبيانة الترك (tujuannya satu meskipun jalannya bermacam-macam).
Maka hadīts ini memberikan kepada kita suatu faedah yang besar di mana di situ merupakan kunci yang disampaikan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk merealisasikan maslahat bagi kaum muslimin.
Semoga Allāh menjadikan hati-hati kaum muslimin ini bersatu dan menjadikan tangan-tangan mereka saling bahu-membahu di dalam mencapai maslahat dalam menegakan syari'at Allāh dan juga memerangi musuh-musuhnya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________
🏦 Donasi Dakwah BIAS dapat disalurkan melalui :
🎗 Bank Mandiri Syariah
🥇 Kode Bank : 451
💳 No. Rek : 710-3000-507
🏬 A.N : YPWA Bimbingan Islam
📲 Pendaftaran Donatur Tetap & Konfirmasi Transfer Hanya via WhatsApp ke:  0878-8145-8000
SWIFT CODE : BSMDIDJA (Luar Negeri)
▪ Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 700 di akhir nominal transfer anda...
_____________________

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 13

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 29 Dzulhijjah 1439 H / 10 September 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto, Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 013| Hadits 13
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H013bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H013
〰〰〰〰〰〰〰
KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 13

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-13 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Pada halaqah kita kali ini, kita masih berada pada penjelasan hadīts ke-12 yaitu hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Kita sudah sampai pada sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, di mana beliau mengatakan:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ 
"Bersemangatlah terhadap sesuatu yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla."
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa ungkapan di sini adalah ungkapan yang singkat namun maknanya begitu bermanfaat atau diistilahkan sebagai kalāmu jāmi'un.
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam ungkapan ini tiga hal yang itu merupakan sebab seorang bisa mendapatkan kebahagiaannya baik di dalam urusan dunia maupun di dalam urusan akhirat.
Tiga hal tersebut adalah:
⑴ Al hirsh  (الحرص) memiliki semangat di dalam perkara-perkara yang dia lakukan, karena semangat adalah modal utama dia melangkahkan kakinya pada suatu amalan.
Adapun orang yang malas maka dia hanya akan menggantungkan dirinya terhadap hal-hal yang dia sendiri tidak berusaha untuk melakukannya.
Sehingga orang yang malas adalah orang yang tidak mungkin bisa mendapatkan kebahagiaan baik di dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
⑵ Al Istihadu fīmā yanfa, bersungguh-sungguh di dalam melakukan perkara yang bermanfaat.
Karena orang yang hanya bermodal semangat tetapi dia tidak merealisasikan semangatnya dengan upaya yang sungguh-sungguh maka tidak akan bisa mencapai apa yang dia inginkan, sehingga perlu hal yang kedua ini yaitu dia melakukan upaya.
Dan upaya ini harus pada hal-hal yang bermanfaat, karena kalau upaya yang dia lakukan pada perkara yang membahayakan, yang tidak ada manfaat maka semua itu akan menyia-nyiakan umurnya.
Dan hanya akan menjadikan dia ditimpa perkara-perkara yang merugikan dirinya sendiri.
⑶ Al Isti'ānatu billāh, dia iringi upaya tersebut dengan meminta pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla karena ini merupakan sebab dia bisa berhasil dalam apa yang dia inginkan.
Karena segala sesuatu berada di tangan Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka selain dia berupaya dia juga harus meminta kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla agar Allāh Subhānahu wa Ta'āla memudahkan urusannya, agar memudahkan dirinya dalam mengapai apa yang dia inginkan.
Tiga hal ini merupakan sebab kebahagiaan seorang dalam urusan dunia maupun urusan agamanya.
Kemudian beliau juga menyebutkan dalam penjelasan hadīts ini bahwa yang dimaksud hal yang bermanfaat di dalam sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tersebut mencakup hal-hal yang bermanfaat dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat (agama).
Adapun hal-hal yang bermanfaat dalam urusan agama maka itu berupa dua hal,  yaitu:
⑴ Ilmu yang bermanfaat, karena ilmu yang akan menjadikan dia mampu untuk membersihkan jiwanya.
Yang menjadikan dia mampu untuk mengenal kebaikan bagi dirinya, maka beliau contohkan di sini.
Beliau mencontohkan, mengapai ilmu yang bermanfaat adalah dia berusaha memulai dengan menghapal pelajaran-pelajaran dari mulai yang ringan hingga pelajaran-pelajaran yang lebih mendalam.
⑵ Hal yang bermanfaat dalam urusan agama adalah amal shālih, karena seorang berilmu tanpa beramal, maka sia-sia apa yang dia ketahui.
Dia butuh kepada amal shālih dan beliau sebutkan bahwa yang dimaksud dengan amal shālih adalah amal yang dibangun di atas keikhlāsan dan di atas mutāba'ah terhadap sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam. Mengikuti sunnah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam bertaqarub kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Ini adalah dua perkara yang merupakan hal bermanfaat di dalam urusan agama.
√ Ilmu yang bermanfaat
√ Amal yang shālih
Adapun perkara yang bermanfaat di dalam urusan dunia tidak boleh juga dia tinggalkan, dia harus berupaya menjalankannya, berupaya untuk mengapainya.
Karena sebagaimana manusia butuh kepada perkara akhirat, dia juga butuh kepada perkara-perkara dunia yang bisa menopang dirinya untuk menggapai kebahagiaannya.
Maka seorang harus berusaha, semangat mencari rejeki yang halal supaya bisa membantu dia dalam menjalankan ketaatan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dia berusaha untuk mencari jalan-jalan rejeki yang Allāh halalkan bukan hal-hal yang haram karena itu justru memudharatkan dirinya, bukan memanfaatkan dirinya.
Kemudian Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts tersebut menyebutkan bahwa seorang yang dia telah berusaha kemudian dia tidak berhasil atau dia ditimpa suatu yang tidak menyenangkan yang tidak diharapkan maka beliau berikan solusinya.
Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا . وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ " .
"Dan jika engkau ditimpa sesuatu yang tidak engkau sukai, maka jangan engkau ucapkan, 'Kalau seandainya saya melakukan demikian, niscaya hasilnya demikian, demikian'. Akan tetapi ucapkanlah Qadarallāh wa masyaa fa'ala (apa yang Allāh taqdirkan dan apa yang Allāh kehendaki pasti terjadi). Karena ucapan “seandainya dan senadainya” akan membuka celah bagi syaithān".
Di sini Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam mengabarkan bahwa apabila upaya telah dilakukan namun belum juga meraih apa yang diinginkan maka seorang tidak boleh dia mengucapkan ungkapan-ungkapan yang di situ menunjukkan ketidakridhāan dia terhadap taqdir.
Yaitu dengan kata lau (seandainya)..... "Seandainya dulu saya demikian maka pasti demikian".
⇒ Karena ini merupakan ungkapan yang bisa membuka celah bagi syaithān.
Maksudnya dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī di sini, maksud ungkapan ini merupakan ungkapan yang bisa menjerumuskan seorang kepada ketidakridhāan terhadap taqdir, akan mengurangi keimanan dia terhadap taqdir dan juga ungkapan ini justru menambah kesedihan kepada dirinya, disamping kesedihan dia di dalam kegagalan atau perkara yang tidak menyenangkan yang dia hadapi.
Oleh karena itu Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam menyarankan menngucapkan:
قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
"Apa yang telah Allāh taqdirkan pasti akan terjadi".
⇒ Yaitu tidak akan mungkin bisa luput dari seorang hamba.
Demikian faedah yang bisa kita ambil dari hadīts yang mulia ini, in syā Allāh kita lanjutkan lagi pada halaqah berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_________________________
🏦 Donasi Dakwah BIAS dapat disalurkan melalui :
🎗 Bank Mandiri Syariah
🥇 Kode Bank : 451
💳 No. Rek : 710-3000-507
🏬 A.N : YPWA Bimbingan Islam
📲 Pendaftaran Donatur Tetap & Konfirmasi Transfer Hanya via WhatsApp ke:  0878-8145-8000
SWIFT CODE : BSMDIDJA (Luar Negeri)
▪ Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 700 di akhir nominal transfer anda...
_____________________

WAKTU-WAKTU YANG DILARANG UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT (BAG.2)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 24 Dzulhijjah 1439 H / 05 September 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 50 | Waktu-Waktu Yang Dilarang Untuk Melaksanakan Shalat (Bagian 2)
〰〰〰〰〰〰〰
WAKTU-WAKTU YANG DILARANG UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT (BAG.2)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para Shahābat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah yang ke-50, dan kita masuk pada pembahasan tentang "Waktu-waktu yang dilarang untuk melaksanakan shalāt bagian ke-2"
قال المصنف:
Kemudian penulis melanjutkan tentang waktu-waktu yang terlarang diantara nya :

بعد صلاة الصبح حتى تطلع الشمس
"Setelah shalāt subuh sampai terbit matahari"


وعند طلوعها حتى تتكامل وترتفع قدر رمح
"Dari terbit matahari sampai sempurna terbitnya dan naik setinggi ujung tombak"

⇒ Ini adalah waktu yang menyambung yaitu sejak setelah selesai subuh sampai naiknya matahari seujung tombak terhitung dari terbit matahari.
⇒ Jadi seseorang apabila masuk waktu shuruq (terbit matahari) belum diperbolehkan untuk shalāt, dan dia harus menunggu sampai matahari naik sekadar ujung tombak.
Berapa lama waktu kira-kiranya didalam menit ?
↝Disebutkan para ulamā kisaran waktunya antara 10 menit-15 menit sejak terbit matahari.
↝Syaikh Utsaimin menyebutkan kadar kira-kira 10-12 menit dari terbit matahari atau dari shuruq.
↝Syaikh bin baz dan Syaikh Jibrin memperkirakan sekitar 15 menit dari waktu terbit.


وإذا استوت حتى تزول
"Pada saat matahari tepat diatas kepala sampai tergelincir"

Berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, beliau berkata:
ثلاث ساعات كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينهانا أن نصلي فيهن أو نقبر فيهن موتانا: حين تطلع الشمس بازغة حتى ترتفع، وحين يقوم قائم الظهيرة حتى تميل، وحين تضيف الشمس للغروب حتى تغرب "
"Bahwasanya ada tiga waktu yang  Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang kami untuk shalāt dan juga menguburkan orang-orang yang meninggal yaitu (1) pada saat matahari terbit  sampai dia meninggi, dan (2) tatkala matahari berada dipuncaknya sampai dia tergelincir, dan (3) manakala matahari mulai terbenam sampai dia tenggelam"
(Hadīts riwayat An Nasai)


وبعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس
"Dan setelah shalāt Ashar sampai tenggelamnya matahari"


وعند الغروب حتى يتكامل غروبها
"Dan tatkala mulai tenggelam matahari sampai sempurna tenggelamnya"

Dan semua ini berdasarkan hadīts 'Amr bin 'Abasah beliau berkata:
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ اللَّيْلِ أَسْمَعُ ؟ قَالَ: «جَوْفُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، فَصَلِّ مَا شِئْتَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَكْتُوبَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الصُّبْحَ، ثُمَّ أَقْصِرْ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَتَرْتَفِعَ قِيسَ رُمْحٍ، أَوْ رُمْحَيْنِ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَيُصَلِّي لَهَا الْكُفَّارُ، ثُمَّ صَلِّ مَا شِئْتَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَكْتُوبَةٌ، حَتَّى يَعْدِلَ الرُّمْحُ ظِلَّهُ، ثُمَّ أَقْصِرْ، فَإِنَّ جَهَنَّمَ تُسْجَرُ، وَتُفْتَحُ أَبْوَابُهَا، فَإِذَا زَاغَتِ الشَّمْسُ، فَصَلِّ مَا شِئْتَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ، حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَيُصَلِّي لَهَا الْكُفَّارُ»
"Saya bertanya, Wahai Rasūlullāh bagian malam yang manakah yang paling didengar (dikabulkan), beliau menjawab "pada malam pertengahan yang terakhir", maka shalātlah kamu sebagaimana yang kamu suka, karena shalāt itu disaksikan dan dicatat (para malaikat-pent-) sampai shalāt subuh, kemudian berhentilah sampai  matahari terbit dan kemudian sampai meninggi sekadar ujung tombak atau sekitar dua ujung tombak, karena matahari tersebut terbit diantara dua tanduk syaithān, dan pada saat itu orang-orang kāfir mereka shalāt /beribadah kepadanya (syaithān tersebut), kemudian shalātlah kamu sebagaimana yang kamu suka, karena shalāt tersebut disaksikan dan dicatat, sampai bayangan itu pada ujung tombak (tidak ada bayangan) karena berada dipuncak tombak tersebut, kemudian berhentilah karena pada saat itu neraka Jahannam dinyalakan dan dibuka pintu-pintunya, apabila matahari telah tergelincir, maka shalātlah sebagaimana yang kamu suka, karena shalāt tersebut disaksikan sampai datang waktu shalāt Ashar, kemudian berhenti lah sampai matahari tenggelam, karena Sesungguhnya matahari tersebut tenggelam diantara dua tanduk syaithan, dan pada saat itu orang-orang kāfir shalāt (beribadah) kepada syaithān tersebut."
(HR Abū Abū Dāwūd 2/25)
Ini adalah dalīl diriwayatkan oleh Imām Abū Dāwūd yang merupakan dalil dari waktu-waktu yang terlarang.

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bisa bermanfaat.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_________________________
🏦 Donasi Dakwah BIAS dapat disalurkan melalui :
🎗 Bank Mandiri Syariah
🥇 Kode Bank : 451
💳 No. Rek : 710-3000-507
🏬 A.N : YPWA Bimbingan Islam
📲 Pendaftaran Donatur Tetap & Konfirmasi Transfer Hanya via WhatsApp ke:  0878-8145-8000
SWIFT CODE : BSMDIDJA (Luar Negeri)
▪ Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 700 di akhir nominal transfer anda...
_____________________

Senin, 03 September 2018

SUJUD SAHWI BAGIAN 2

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 22 Dzulhijjah 1439 H / 03 September 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 48 | Sujud Syahwi (Bagian 2)
〰〰〰〰〰〰〰
SUJUD SAHWI BAGIAN 2
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Para sahabat BiAS yang dirahmati oleh  Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqah yang ke-48 masuk pada fasal tentang "Sujud sahwi bagian ke-2"

قال المصنف
Penulis melanjutkan,
((فالفرض لا ينوب عنه سجود السهو بل إن ذكره والزمان قريب أتى به وبنى عليه وسجد للسهو))

Kata beliau, adapun perkara yang faraid (rukun), maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi.
Apabila dia ingat (kalau dia meninggalkan rukun) dan waktunya masih pendek atau masih dekat (belum lama), maka rukun yang ditinggalkannya tadi segera dikerjakan pada saat dia ingat, dan dilanjutkan (gerakan shalāt setelahnya) (yakni) tidak perlu diulang dari awal (shalāt) lalu kemudian sujud sahwi setelahnya (maksudnya) sebelum salam.

Faraid atau rukun shalāt, apabila ditinggalkan maka harus (kembali) untuk dikerjakan.
Ada beberapa keadaan:
⑴ Apabila dia *ingat* (rukun yg ditinggalkan) dan *masih dalam keadaan shalāt*, maka wajib kembali mengulang mulai dari rukun yang ditinggalkan, lalu sujud sahwi. Adapun gerakan sebelum rukun yang lupa tadi tidak perlu diulang.
Jadi apabila ingat dan masih dalam keadaan shalāt, maka wajib untuk kembali kepada shalāt yang ditinggalkan dan tidak perlu mengulangi dari awal, kemudian sujud sahwi.

(2) Apabila dia *ingat setelah salam (selesai shalāt)*, namun *belum lama jeda waktunya*, maka segera kembali mulai dari al fard (rukun) yang ditinggalkan tadi dan gerakan setelahnya dan tidak perlu mengulang dari awal .
(3) Apabila dia *ingat setelah salam (setelah selesai shalāt)*, namun ada *jeda cukup panjang* maka dia wajib mengulangi shalāt tersebut dari awal.

Hal ini berlaku bagi imam maupun orang yang  shalāt munfarid (shalāt sendirian).
Adapun makmum, maka apabila dia lupa maka dia tidak melakukan sujud sahwi dan imam menanggung apa yang dilupakan oleh makmumnya.
Kemudian penulis melanjutkan,
((والسنة لا يعود إليها بعد التلبس بالفرض لكنه يسجد للسهو عنها))

"Adapun sunnah-sunnah shalāt maka tidak perlu mengulang kembali untuk melakukannya. "
Jika dia telah melakukan gerakan lain yang merupakan perkara faraid (rukun) di dalam shalāt. Tetapi tetap perlu melakukan sujud sahwi karena lupa melakukan perkara yg termasuk wajib shalāt.
~~~~~~~
Catatan: Diibaratkan dalam matan dengan sunnah maksudnya adalah perkara yg termasuk wajib dalam shalāt. Dan disebutkan alfaraid maksudnya adalah rukun shalāt.
Hal ini karena perbedaan pembagian dalam madzhab syafii di dalam shalāt hanya ada wajib shalāt dan sunnah shalāt. Wajib shalāt yg diistilahkan rukun shalāt pada madzhab lain, dan sunnah shalāt yg meliputi wajib shalāt dan sunnah shalāt dalam istilah madzhab lainnya.
Dalam madzhab lain dibagi menjadi rukun shalāt, wajib shalāt dan  sunnah shalāt.
 ~~~~~~~
Sunnah-sunnah didalam shalāt terbagi menjadi 2 (dua) (dalam istilah madzhab syafii demikan) yaitu :
1. Al ib'adh, yaitu sunnah shalāt) yang apabila ditinggalkan dilakukan sujud sahwi (catatan: dalam madzhab lain dimasukkan dalam kategori wajib dalam shalāt).
2. Haiat, yaitu sunnah shalāt yang tidak ada pengaruhnya apabila ditinggalkan (catatan:  dalam madzhab lain diistilahkan sebagai sunnah-sunnah dalam shalāt).

*Sunnah al ib'adh* (atau diistilahkan dalam madzhab lain sebagai wajib-wajib dalam shalāt), seperti:
Tasyahud awwal
Duduk tasyahhud
Shalawat atas nabi dalam tasyahhud, dan lain-lain.

Sunnah al ib'adh apabila tertinggal maka dilakukan sujud sahwi, misalnya:
▪Seseorang lupa tasyahud awal, kemudian dia berdiri. Tasyahhud awwal merupakan sunnah ib'adh (termasuk wajib shalāt, sedangkan berdiri adalah termasuk al fard (rukun).
Maka tatkala dia sudah berdiri kemudian ingat bahwasanya dia belum tasyahud awal, maka tidak diperkenankan untuk kembali duduk pada tasyahud awal (karena dia telah terlanjur melakukan kewajiban (rukun) shalāt yang lainnya) oleh karena itu langsung dia melanjutkan shalāt tersebut dan nanti diganti dengan sujud sahwi sebelum salam.
Hal ini berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh Abdullāh bin Buhinah,
عن عبدِ اللهِ بنِ بُحينةَ، أنه قال: ((صلَّى لنا رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّمَ ركعتينِ، ثم قام فلمْ يجلِسْ، فقام الناسُ معه، فلمَّا قضى صلاتَه وانتظَرْنا التسليمَ كبَّر، فسجَدَ سجدتينِ وهو جالسٌ قبل التَّسليمِ، ثم سلَّمَ صلَّى الله عليه وسلَّمَ )) رواه المسلم

"Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalāt 2 (dua) raka'at kemudian beliau berdiri dan tidak duduk, maksudnya tidak duduk tasyahud awal maka orang-orang pun berdiri mengikuti beliau, setelah beliau selesai shalātnya dan kami menunggu beliau untuk salam, maka beliau Shallallāhu 'alayhi wa sallam bertakbir dan sujud dengan dua kali sujud dan dia dalam keadaan duduk sebelum salam, kemudian setelah itu beliau salam"
(Hadīts riwayat Muslim)
Kemudian penulis melanjutkan,
((والهيئة لا يعود إليها بعد تركها ولا يسجد للسهو عنها))

Adapun sunnah Haiat maka tidak perlu kembali untuk melakukannya dan tidak perlu melakukan sujud sahwi karena meninggalkannya.

Sunnah Haiat adalah sunnah yang tidak berpengaruh jika dilakukan. (Catatan: dalam madzhab lain dikategorikan dalam istilah sunnah-sunnah dalam shalāt).
Sunnah Haiat seperti :
√ Membaca tasbih
√ Membaca takbir tatkala perpindahan gerak
√ Membaca taawwudz, dll
Apabila ditinggalkan baik sengaja ataupun lupa maka tidak perlu sujud sahwi.
Kemudian penulis melanjutkan,

((وإذا شك في عدد ما أتى به من الركعات بنى على اليقين وهو الأقل وسجد للسه))

Apabila  ragu terhadap jumlah bilangan raka'at yang dikerjakan maka ambilah patokan sesuatu yang yakin, yaitu dengan mengambil jumlah raka'at yang paling sedikit, kemudian setelah itu sujud sahwi.

Disini jika seseorang ragu maka dia berpatokan kepada sesuatu yang yakin, namun apabila dia tetap ragu, maka ambilah jumlah bilangan raka'at yang terkecil, karena itu lebih yakin daripada raka'at yang lebih besar.
Apabila seseorang lupa apakah dia shalāt 2 (dua) atau 3 (tiga) raka'at, dia yakin kalau 2 (dua) pasti, maka tinggalkan dia kembali untuk menghitung raka'at nya menjadi raka'at yang 2 (dua)

((وسجود السهو سنة ومحله قبل السلام))

Sujud sahwi hukumnya adalah sunnah dan dilakukan sebelum salam.

Masalah ini sudah dibahas diawal yang merupakan mahzhab dari Imām Syāfi'ī bahwasanya hukumnya sunnah dan dilakukan sebelum salam, ini yang afdhal.
Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
~~~~~~~~~
▪Tentang istilah pembagian gerakan atau bacaan dalam sholat
Dalam madzhab Syafi'i
▪Al Fard ( Wajib2 dalam sholat) ➡ ini diistilahkan rukun sholat dalam madzhab lain
▪Sunnah
      Sunnah ib'adh (dalam madzhab lain diistilahkan wajib-wajib shalāt)
      Sunnah haiat (dalam madzhab lain diistilahkan sunnah-sunnah sholat)
Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------
🏦 Donasi Dakwah BIAS dapat disalurkan melalui :
🎗 Bank Mandiri Syariah
🥇 Kode Bank : 451
💳 No. Rek : 710-3000-507
🏬 A.N : YPWA Bimbingan Islam
📲 Pendaftaran Donatur Tetap & Konfirmasi Transfer Hanya via WhatsApp ke:  0878-8145-8000
SWIFT CODE : BSMDIDJA (Luar Negeri)
▪ Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal
📝 Cantumkan Kode 700 di akhir nominal transfer anda...
____________________

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits