Sabtu, 27 Juni 2020

Agar Tidak Galau Ketika Tertimpa Musibah

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 05 Dzulqa'dah 1441 H / 26 Juni 2020 M
👤 Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc.
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 77 | Agar Tidak Galau Ketika Tertimpa Musibah
🔄 Download Audio: bit.ly/NasihatSingkat-77
〰〰〰〰〰〰〰

🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :

| BNI Syariah
| Kode Bank (427)
| Nomor Rekening : 8145.9999.50
| a.n Yayasan Bimbingan Islam
| Konfirmasi klik https://bimbinganislam.com/konfirmasi-donasi/
__________________

ADAB-ADAB MEMAKAI SANDAL (LANJUTAN)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 03 Dzulqa’dah 1441 H / 24 Juni 2020 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 59 | Hadits Tentang Adab-Adab Memakai Sandal - Nomor 81-83 (lanjutan)
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-59b
〰〰〰〰〰〰〰

*ADAB-ADAB MEMAKAI SANDAL (LANJUTAN)*

بسم الله
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة أما بعد

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Alasan kenapa kita dilarang berjalan dengan menggunakan satu sandal adalah (menurut sebagian ulama) agar kita bisa berbuat adil.

Adil dari sisi mana?

Adil, agar kaki kita yang tidak menggunakan sandal sama dengan kaki yang menggunakan sandal. Jika menggunakan sandal maka menggunakan sandal keduanya, kalau melepas sandal maka lepas keduanya, biar adil.

Ada sebagian yang mengatakan bahwa agar tidak terjadi sughrah, yaitu sesuatu yang aneh dalam berpakaian. Takutnya ketika kita berjalan di pasar menggunakan satu sandal pastinya akan dilihat oleh orang-orang.

Dan ketika kita memakai sesuatu hal yang bisa dilihat oleh orang-orang, kemudian orang-orang merasa janggal sehinggga bisa masuk ke dalam pembahasan berpakaian sughrah (pakaian yang janggal).

Alasan lain yang disebutkan adalah karena syaithan berjalan dengan satu sandal.

Hadīts ini diriwayatkan oleh Imam Ath Thahawi dan bisa dilihat di dalam Silsilah Hadīts Ash Shahihah karya Syaikh Al Albāniy rahimahullāh nomor 384.

Karena sebuah alasan yaitu:

إن الشيطان يمشي بالنعل الواحدة

_"Sesungguhnya syaithan berjalan dengan satu sandal.”_

Sehingga salah satu alasan kenapa kita dilarang berjalan dengan satu sandal adalah agar tidak meniru syaithan.

Kemudian, yang perlu dicatat di sini adalah bahwa larangan ini berlaku ketika berjalan, tidak saat kita berdiri atau duduk. Terkadang kita duduk dengan satu kaki menggunakan satu sandal dan kaki satunya naik /diangkat ke atas, ini tidak mengapa.

Yang dilarang di sini adalah berjalan dengan menggunakan satu sandal (lebih baik dilepas semuanya atau dipakai semuanya).

Syaikh Bin Baz rahimahullāh pernah ditanya apabila kita akan memakai sandal, sandal yang satu sudah kita dapatkan ternyata sandal yang satunya berada di satu atau dua langkah berikutnya, maka apakah kita harus berjalan mengambil dulu atau kita boleh memakai satu sandal kemudian kita berjalan satu atau dua langkah untuk mengambil (memakai) sandal berikutnya?

Beliau (Syaikh Bin Baz) menjawab, "Apabila engkau mampu untuk tidak menyelisihi sunnah, maka lakukanlah walau pun hanya satu atau dua langkah."

Sahabat Bimbingan Islām rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Perkara sunnah ini tidak boleh kita sepelekan, kenapa? Karena di dalam sunnah pasti ada pahala dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita saja kalau pergi ke mall-mall kemudian ada diskon (bonus) terkadang kita tertarik. Masa dengan pahala dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita tidak tertarik lalu kita mengatakan, "Ah, itu hanya sunnah."

Kenapa kita tidak mengatakan, "Ah, itu hanya bonus. Ah, itu hanya diskon," kenapa tidak kita katakan seperti itu? Tetapi kita bersikap tidak konsisten, kalau melihat bonus atau diskon kemudian kita tertarik. Tapi ketika kita melihat bonus dari sisi pahala kita tidak tertarik.

Maka kita harus banyak belajar dan banyak memperbaiki diri untuk bersikap dengan sunnah-sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Walau pun sunnah setidaknya jangan sampai kita menyepelekan walaupun mungkin kita belum bisa melakukan. Tetapi tetap kita harus menghargai dan berusaha untuk menjalankan sunnah tersebut.

Inilah pelajaran kita pada pertemuan ke-58, hendaklah kita berjalan dengan dua sandal atau setidaknya kita lepas semuanya dan jangan sampai kita berjalan dengan satu sandal walaupun hukumnya menurut para ulama tidak sampai haram, namun kita tidak boleh menyepelekan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Semoga kita dimudahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, diberi taufiq untuk menjalankan sunnah-sunnahnya.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb

Semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد
____________________

Selasa, 23 Juni 2020

ADAB-ADAB MEMAKAI SANDAL

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 02 Dzulqa’dah 1441 H / 23 Juni 2020 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 58 | Hadits Tentang Adab-Adab Memakai Sandal - Nomor 81-83
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-58
〰〰〰〰〰〰〰

*ADAB-ADAB MEMAKAI SANDAL*

بسم الله
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة أما بعد

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita lanjutkan pembahasan kita dari kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah, sekarang kita sudah sampai pada pertemuan ke-58 dan kita masih berada pada pembahasan sandal.

Sebelumnya kita telah membahas sifat sandal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan pada pertemuan kali ini kita akan membahas adab-adabnya.

Di antara adab yang disebutkan oleh Imam At Tirmidzī rahimahullāh adalah tidak bolehnya berjalan dengan satu sandal.

Beliau membawakan tiga hadīts.

• Hadīts nomor 81

Sebuah hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاَ يَمْشِيَنَّ أَحَدُكُمْ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ لِيُنْعَلْهُمَا جَمِيعًا أَوْ لِيُحْفِهِمَا جَمِيعًا

_"Janganlah salah seorang di antara kalian berjalan dengan hanya memakai satu sandal, hendaklah ia memakai keduanya atau melepas keduanya.”_

• Hadīts nomor 82

Imam At Tirmidzī rahimahullāh membawakan sanad lain, yang mana sanad hadīts ini lebih pendek.

Dari sisi mana pendeknya?

Kalau hadīts nomor 81 Imam At Tirmidzī harus melewati dua rawi untuk (kepada) Imam Mālik bin Annas yaitu harus melewati Ishaq bin Musa Al Anshari kemudian melewati Ma'n baru kepada Imam Mālik.

Namun pada hadīts nomor 82 ini Imam At Tirmidzī mau mengatakan bahwasanya, "Saya memiliki sanad yang lebih tinggi (lebih: على , kalau dalam bahasa musthalah hadīts) karena saya mendapatkan hadīts dari Qutaibah bin Sa'id Al Baghilani dari Mālik bin Annas langsung. Jadi untuk mencapai Mālik bin Annas saya hanya membutuhkan satu rawi saja."

Jadi hadīts nomor 82 ini hanya menguatkan periwayatan Imam At Tirmidzī rahimahullāh.

• Hadīts nomor 83

Dimana hadīts ini juga hampir sama maknanya tetapi hadīts ini dari shahabat Jabir. Imam At Tirmidzī meriwayatkan dengan sanadnya sampai shahabat Jabir bin Abdillāh radhiyallāhu 'anhu.

Beliau (Jabir bin Abdillāh) berkata bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

نَهَى أَنْ يَأْكُلَ، يَعْنِي الرَّجُلَ، بِشِمَالِهِ، أَوْ يَمْشِيَ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ

_"Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seseorang yakni seorang laki-laki makan dengan tangan kiri atau berjalan dengan hanya memakai satu sandal.”_

Ini adalah pembahasan kita di pertemuan ke-58  yang mana kita membahas adab dalam berjalan yaitu tidak boleh memakai satu sandal tetapi harus dipakai keduanya atau dilepas semuanya.

Hadīts ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Bukhāri nomor 5855 dan Imam Muslim nomor 2097.

Dan di antara faedah atau pelajaran dari hadīts ini adalah seorang muslim dilarang berjalan dengan satu sandal saja. Solusinya adalah digunakan semuanya atau dilepas semuanya.

• Hukum Memakai Satu Sandal

Apa hukum memakai satu sandal?

Hukumnya menurut sebagian ulama adalah makruh tanzih (tidak sampai haram). Bahkan menurut Imam An Nawawi rahimahullāh hukumnya adalah makruh saja.

Kenapa?

Karena ini berkaitan dengan adab-adab dan irsyad (bimbingan) dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Tetapi sahabat Bimbingan Islām,

Walaupun ini makruh, setidaknya kita taat kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah lebih utama karena di sini nanti ada sebuah riwayat yang menunjukkan alasan kenapa dilarang berjalan dengan menggunakan satu sandal.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb

Semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد
____________________

Senin, 22 Juni 2020

Hadits ke 4: Proses penciptaan manusia dan taqdir yg menyertainya.

*Hadits ke 4: Proses penciptaan manusia dan taqdir yg menyertainya.*

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ الصَّادِقُ الْمَصْدُوْقُ : إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحَ، وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ. فَوَ اللهِ الَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا. [رواه البخاري ومسلم]

Terjemah :
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud radiallahuanhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: *Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau bahagianya. Demi Allah yang tidak ada ilah yang wajib diibadahi selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli syurga hingga jarak antara dirinya dan syurga tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli syurga maka masuklah dia ke dalam syurga.*
Shahih Bukhari no 3208, Shahih Muslim no 2643

Syarah :
1. Allah ta’ala mengetahui tentang keadaan makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan dan apa yang akan mereka alami, termasuk masalah bahagia dan celaka.

2. Tidak mungkin bagi manusia di dunia ini untuk memutuskan bahwa dirinya masuk syurga atau neraka, akan tetapi amal perbuatan merupakan sebab untuk memasuki keduanya.

3. Amal perbuatan dinilai di akhirnya. Maka hendaklah manusia tidak terpedaya dengan kondisinya saat ini, justru harus selalu mohon kepada Allah agar diberi keteguhan dan akhir yang baik (husnul khotimah).

4. Disunnahkan bersumpah untuk mendatangkan kemantapan sebuah perkara dalam jiwa.

5. Tenang dalam masalah rizki dan qanaah (menerima) dengan mengambil sebab-sebab serta tidak terlalu mengejar-ngejarnya dan mencurahkan hati karenanya.

6. Kehidupan ada di Tangan Allah. Seseorang tidak akan mati kecuali dia telah menyempurnakan umurnya.

7. Sebagian ulama dan orang bijak berkata bahwa dijadikannya pertumbuhan janin manusia dalam kandungan secara berangsur-angsur adalah sebagai rasa belas kasih terhadap ibu. Karena sesungguhnya Allah mampu menciptakannya sekaligus.

*Kitab Arba'in An-Nawawiyah*

Hadits ke 3 : Rukun Islam

*Hadits ke 3 : Rukun Islam*

عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ. [رواه الترمذي ومسلم]

Terjemah :
Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al Khottob radiallahuanhuma dia berkata: Saya mendengar *Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:*
*Islam dibangun di atas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada ilah yg wajib diibadahi selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.*
Shahih Bukhari no 8, Shahih Muslim no 16

Syarah :
1. Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam menyamakan Islam dengan bangunan yang kokoh dan tegak di atas tiang-tiang yang kuat.

2. Pernyataan tentang keesaan Allah dan keberadaan-Nya, membenarkan kenabian Muhammad shallallahu`alaihi wa sallam , merupakan hal yang paling mendasar dibanding rukun-rukun yang lainnya.

3. Selalu menegakkan shalat dan menunaikannya secara sempurna dengan syarat rukunnya, adab-adabnya dan sunnah-sunnahnya agar dapat memberikan buahnya dalam diri seorang muslim yaitu meninggalkan perbuatan keji dan munkar karena shalat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar.

4. Wajib mengeluarkan zakat dari harta orang kaya yang sudah terpenuhi syarat-syarat zakat lalu memberikannya kepada orang-orang fakir dan yang membutuhkan.

5. Wajibnya menunaikan ibadah haji dan puasa (Ramadhan) bagi setiap muslim.

6. Adanya keterkaitan rukun Islam satu sama lain. Siapa yang mengingkarinya maka dia bukan seorang muslim berdasarkan ijma’.

7. Nash di atas menunjukkan bahwa rukun Islam ada lima, dan masih banyak lagi perkara lain yang penting dalam Islam yang tidak ditunjukkan dalam hadits ini. Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda:

الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً
“ Iman itu memiliki tujuh puluh lebih cabang “

8. Islam adalah aqidah dan amal perbuatan. Tidak bermanfaat amal tanpa iman demikian juga tidak bermanfaat iman tanpa amal.

*Dinukil dari kitab Arba'in An-Nawawiyah*

HADITS TENTANG SIFAT SANDAL NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 01 Dzulqa’dah 1441 H / 22 Juni 2020 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 57 | Hadits Tentang Sifat Sandal Nabi Shallallahu 'alayhi wa Sallam - Nomor 78 dan 80
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-57
〰〰〰〰〰〰〰

*HADITS TENTANG SIFAT SANDAL NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WASALLAM*

بسم الله
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة أما بعد

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Alhamdulillāh kita sudah sampai pada pertemuan ke-57 dalam membahas kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah. Dan pada pertemuan ke-57 ini (in syā Allāh) kita akan membaca hadīts nomor 78 dan 80.

Yang mana hadīts ke-78 merupakan hadīts yang memberikan keterangan tentang salah satu sifat sandal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Yang mana sandal Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah sandal yang tidak ada bulunya lagi.

Jadi sandal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagaimana yang pernah kita jelaskan bahwasanya sandal beliau terbuat dari kulit.

• Hadīts nomor 78

Hadīts ini merupakan hadīts yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzī sampai kepada 'Ubaid bin Juraij. 'Ubaid bin Juraij pernah bertanya kepada Ibnu Umar radhiyallāhu 'anhu.

Beliau ('Ubaid bin Juraij) berkata:

رَأَيْتُكَ تَلْبَسُ النِّعَالَ السِّبْتِيَّةَ

_"Aku melihatmu memakai sepasang sandal sibtiyyah.”_

⇒ Sandal sibtiyyah adalah sandal yang terbuat dari kulit dan sudah diolah dengan cara khusus sehingga rambut-rambutnya (bulu-bulunya) sudah hilang.

قَالَ: إِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَلْبَسُ النِّعَالَ الَّتِي لَيْسَ فِيهَا شَعَرٌ

_Ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya aku pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memakai sepasang sandal yang sudah tidak ada bulunya (polos)."_

Di sini Ibnu Umar menerangkan makna sibtiyyah yaitu sandal yang sudah tidak ada rambutnya (bulunya)

وَيَتَوَضَّأُ فِيهَا

_"Kemudian ketika itu aku melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berwudhu dengan menggunakan sandal tersebut."_

Kata Syaikh Abdurrazzaq rahimahullāh ada dua kemungkinan,

⑴ Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) berwudhu dengan sandal tersebut adalah berwudhu tanpa melepas sandalnya.
⑵ Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) berwudhu dengan melepas sandalnya kemudian memakai sandalnya kembali.

Dan ini suatu hal yang sudah biasa kita lakukan, kalau kita berwudhu dan kita menggunakan sandal maka sandal tersebut kita lepas sebentar kemudian kita pakai lagi.

فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَلْبَسَهَا

_Kemudian Ibnu Umar mengatakan, "Aku suka menggunakan sandal sebagaimana yang digunakan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam."_

Dan merupakan hal yang ma'ruf di kalangan shahabat bahwasanya Ibnu Umar sangat semangat meniru kebiasaan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, alaupun sesuatu yang simple dan bisa jadi itu suatu yang bukan merupakan ibadah karena hanya dari kebiasaan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Misalnya:

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah buang air di suatu tempat dan Ibnu Umar tahu tempat tersebut pernah dijadikan tempat buang air oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, maka Ibnu Umar pun ikut buang air di tempat itu.

Ini kecintaan Ibnu Umar kepada contoh dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Jadi hadīts ke-78 ini memberikan gambaran kepada kita dan menekankan kepada kita bahwa sandal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam terbuat dari kulit yang sudah tidak ada rambut (bulu-bulunya) lagi. Dan di sini ada tambahan faedah bahwasanya Ibnu Umar suka memakai apa yang dipakai oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Kemudian kita membaca hadīts berikutnya.

• Hadīts nomor 80

Hadīts ini menyatakan bahwa sandal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam itu adalah sandal yang sederhana, bahkan sandal beliau terkadang sudah di tambal-tambal.

Hadīts ini diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzī sampai kepada Amr bin Huraits radhiyallāhu 'anhu.

Beliau (Amr bin Huraits) berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، يُصَلِّي فِي نَعْلَيْنِ مَخْصُوفَتَيْنِ

_"Aku pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam shalāt dengan memakai sepasang sandal yang sudah ditambal.”_

Jadi sandal Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sudah ditambal, Beliau adalah orang yang sederhana.

Jangan dikira sandal tersebut ditambal oleh orang lain, sandal tersebut ditambal sendiri oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu 'anhā ketika beliau (radhiyallāhu 'anhā) ditanya apa yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di rumahnya.

Di antara salah satu jawabannya adalah:

كما يصنع أحدكم: يخصف نعله ويرقع ثوبه

_"Beliau melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh salah seorang di antara kalian yaitu melubangi (mengikat) sandalnya dan menambal bajunya."_

(Hadīts riwayat Ahmad nomor 24749)

Ini menunjukkan kesederhanaan Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam, yang mana Beliau mau memakai sandal yang sudah ditambal.

⇒ Di sini juga ada faedah yaitu shalāt di dua sandal atau shalāt dengan tetap menggunakan sandal.

Dan merupakan sunnah yang diakui oleh para ulama, bahwasanya shalāt dengan menggunakan sandal merupakan sunnah. Akan tetapi, kata Al Lajnah Ad Da'imah, sebagaimana yang dibawakan oleh Syaikh Abdurrazzaq, kalau zaman sekarang tidak disarankan shalāt memakai sandal kecuali ketika berada di padang pasir (misalnya) atau shalāt di luar (di tanah) atau saat kita shalāt Ied.

Ketika shalāt Ied dan kita sudah tidak kebagian karpet, maka kita bisa mempraktekkan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini, akan tetapi ketika kita shalāt di masjid dan di sana tersedia karpet maka tidak sepantasnya kita masuk dengan sandal meskipun dengan alasan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah shalāt menggunakan sandal.

Menurut Al Lajnah Ad Da'imah, kita harus melepas sandal kita untuk menjaga kebersihan dan jangan sampai orang-orang yang shalāt terganggu dikarenakan terdapat kotoran yang menempel di sandal kita.

Inilah 2 hadīts yang kita bahas pada pertemuan ke-57 ini, semoga bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb.

وصلى الله على نبينا محمد
____________________

Minggu, 21 Juni 2020

Tentang Islam, Iman dan Ihsan

*Hadits ke2 :*
*Tentang Islam, Iman dan Ihsan.*

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّد أَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلإِسِلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكاَةَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً قَالَ : صَدَقْتَ، فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ صَدَقْتَ، قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ، قَالَ: مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا، قَالَ أَنْ تَلِدَ اْلأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ، ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرَ أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلِ ؟ قُلْتُ : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمَ . قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتـَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُم. [ رواه مسلم]

Terjemah :

Dari Umar radhiyallahu 'anhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam) seraya berkata, Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?, Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam: Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu, kemudian dia berkata, anda benar. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: Beritahukan aku tentang Iman. Lalu beliau bersabda, Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk, kemudia dia berkata, anda benar. Kemudian dia berkata lagi: Beritahukan aku tentang ihsan. Lalu beliau bersabda, Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau. Kemudian dia berkata, Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya). Beliau bersabda, Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Dia berkata, Beritahukan aku tentang tanda-tandanya, beliau bersabda, Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin lagi penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah shallahu'alaihi wa sallam) bertanya, Tahukah engkau siapa yang bertanya ?. Aku berkata, Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda, Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian.
Shahih Muslim no 8

Syarah :
1. Disunnahkan untuk memperhatikan kondisi pakaian, penampilan dan kebersihan, khususnya jika menghadapi ulama, orang-orang mulia dan penguasa.

2. Siapa yang menghadiri majlis ilmu dan menangkap bahwa orang–orang yang hadir butuh untuk mengetahui suatu masalah dan tidak ada seorangpun yang bertanya, maka wajib baginya bertanya tentang hal tersebut meskipun dia mengetahuinya agar peserta yang hadir dapat mengambil manfaat darinya.

3. Jika seseorang yang ditanya tentang sesuatu maka tidak ada cela baginya untuk berkata, “Saya tidak tahu“, dan hal tersebut tidak mengurangi kedudukannya.

4. Kemungkinan malaikat tampil dalam wujud manusia.

5. Termasuk tanda hari kiamat adalah banyaknya pembangkangan terhadap kedua orang tua. Sehingga anak-anak memperlakukan kedua orang tuanya sebagaimana seorang tuan memperlakukan hamba-sahayanya.

6. Tidak disukainya mendirikan bangunan yang tinggi dan membaguskannya selama tidak dibutuhkan.

7. Di dalamnya terdapat dalil bahwa perkara ghaib tidak ada yang mengetahuinya selain Allah ta’ala.

8. Di dalamnya terdapat keterangan tentang adab dan cara duduk dalam majlis ilmu.

*Dinukil dari Kitab Arba'in An-Nawawiyah*

Jumat, 19 Juni 2020

Kunci Kejayaan dan Kemenangan Kaum Muslimin

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 27 Syawwal 1441 H / 19 Juni 2020 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al-Bayaty
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 76 | Kunci Kejayaan dan Kemenangan Kaum Muslimin
🔄 Download Audio: bit.ly/NasihatSingkat-76
〰〰〰〰〰〰〰

🕋 Yuk, Dukung Program Dakwah Islam melalui :

| Bank Syariah Mandiri
| Kode Bank [451]
| No. Rekening 78.14.5000.17
| a.n CINTA SEDEKAH (INFAQ)
| Konfirmasi : cintasedekah.org/donasi

Rabu, 17 Juni 2020

TIDAK MEMBERIKAN BEBAN DI LUAR KEMAMPUAN ANAK DAN TIDAK MENYERAHKAN PEKERJAAN DI LUAR KESANGGUPANNYA

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 25 Syawwal 1441 H / 17 Juni 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 47 | Tidak Memberikan Beban Di Luar Kemampuan Anak Dan Tidak Menyerahkan Pekerjaan Di Luar Kesanggupannya.
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-47
~~~~~~~~~~~~

*TIDAK MEMBERIKAN BEBAN DI LUAR KEMAMPUAN ANAK DAN TIDAK MENYERAHKAN PEKERJAAN DI LUAR KESANGGUPANNYA*

بسم الله الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ  الأَنْبِيَاءِ الْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصحبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَبَعْدُ:

Para pemirsa rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-47 dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.

Kita lanjutkan dalam kitāb pada halaman 86, di situ penulis membuat satu sub judul:

▪TIDAK MEMBERIKAN BEBAN DI LUAR KEMAMPUAN ANAK DAN TIDAK MENYERAHKAN PEKERJAAN DI LUAR KESANGGUPANNYA (ولا يكلف الأبناء فوق طاقتهم ولا يعهد إليهم بعمل لا يتحملونه)

Artinya anak-anak  jangan dibebani dengan satu beban, baik itu beban pekerjaan atau ibadah yang di luar batas kemampuan mereka. Jangan pula kita perintahkan mereka untuk mengerjakan satu pekerjaan yang mereka tidak mampu untuk melakukannya.

Dalam hal ini  para pendengar rahīmakumullāh.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 286.

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَهَا

"Allāh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Jadi dalam syari'at Islām, Allāh tidak membebani kita kecuali sesuai dengan kemampuan kita (pasti kita bisa melakukannya) dan Allāh tidak pernah membebani makhluknya dengan melakukan suatu amalan yang di luar batas kemampuan kita sebagai makhluk.

Dan juga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersabda tentang keadaan para pelayan, sebagaimana di dalam shahīh Bukhāri dan Muslim dari hadīts Abū Dzar Al-Ghifari radhiyallāhu 'anhu.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

"Janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan, maka bantulah jika kalian memberikan tugas berat kepada mereka"

Dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam shahīh Muslim dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā tentang waliyul amri (pemimpin) yang membebani rakyatnya secara berlebihan (menyulitkan) kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mendo'akan waliyul amri (pemimpin) tersebut dengan do'a:

اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا, فَشَقَّ عَلَيْهِ, فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ

"Yā Allāh, siapapun orang yang engkau berikan kekuasaan atas umatku lalu dia mempersulit mereka maka persulitlah urusannya. Dan siapa saja yang menanggung urusan umatku, lalu dia memudahkannya maka mudahkanlah ia.”

Menunjukkan bahwa seorang pemimpin, (seorang yang berkuasa) atau dalam rumah tangga (seorang ayah), maka tidak boleh ia membebani (memberikan pekerjaan) kepada seorang anak dengan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh anak tersebut.

Dalam hadīts shahīh Al-Bukhāri disebutkan Abdullāh bin Umar pernah menawarkan dirinya untuk berjihad bersama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pada perang Uhud tetapi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menolaknya (karena usia Ibnu Umar saat itu masih 14 tahun).

Lalu tahun berikutnya Ibnu Umar memcoba kembali pada perang Khandak (Ahzab) kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menerima dan mengizinkannya.

Al-Bukhāri meriwayatkan dari Abdullāh bin Umar radhiyallāhu 'anhu bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mengecek satu persatu para sahabat yang akan mengikuti perang Uhud, kemudian Abdullāh bin Umar dicek yang ketika itu berusia 14 tahun kemudian ia mengatakan,

فَلَمْ يُجِزْنِي،

"Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak membolehkan aku untuk ikut perang Uhud"

Kemudian Abdullāh bin Umar mengatakan:

ثُمَّ عَرَضَنِي يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَأَنَا ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ فَأَجَازَنِي

"Kemudian di tahun berikutnya (tahun ke-4 menjelang ke-5 Hijriyyah) Aku ikut lagi perang Khandak (Ahzab) dan usiaku saat itu 15 tahun dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam membolehkanku untuk ikut perang Khandak (Ahzab).“

Ini menunjukkan bahwa kemampuan anak kecil tidak seperti kemampuan orang dewasa (harus dibedakan dan harus diberi batasan) jika kita (orang tua) akan memberikan suatu pekerjaan، baik itu ibadah maupun urusan-urusan duniawi.

Dan juga ada satu hadīts yang diriwayatkan oleh Sunnan An-Nassai dengan sanad yang hasan dari hadīts Al-Hirmas bin Ziyad radhiyallāhu 'anhu (saat itu masih kecil) dia berkata:

مَدَدْتُ يَدِي إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا غُلاَمٌ لِيُبَايِعَنِي فَلَمْ يُبَايِعْنِي

"Ketika masih kecil aku memberikan tanganku kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam agar beliau menerima bai'tku, akan tetapi beliau tidak melakukannya."

Sedangkan di dalam riwayat Al-Bukhāri dari hadīts Abdullāh bin Hisyam radhiyallāhu 'anhu yang ketika itu (masih kecil) dibawa oleh ibunya yang bernama Zainab binti Humaid kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Lalu ibunya berkata kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

يا رسول الله بايعه

"Wahai Rasūlullāh, bai'atlah dia.“

⇒ Bai'at adalah mengambil satu perjanjian untuk taat kepada Allāh dan Rasūl, pada syari'at Islām dan seterusnya.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pun bersabda:

هو صغير

"Dia masih kecil.”

Ketika kita mengimani shalāt dan kita tahu jama'ah kita ada anak kecil, bahkan ada orang tua, atau orang lemah, maka kita tidak boleh memperpanjang bacaan shalāt kita.

Sebagaimana hadīts shahīh yang masyhur dalam shahīh Al-Bukhāri dan Muslim,dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ اَلنَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ

"Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam, maka hendaklah dia meringankan shalātnya.”

فَإِنَّ فِيهِمْ اَلصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا اَلْحَاجَةِ

Karena sesungguhmya di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang yang lemah dan orang yang sakit

فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ

Sedangkan jika dia shalāt sendiri maka lakukan lah sesukanya."

Para permirsa rahīmakumullāh, ini semua adalah dalīl apabila kita ingin membebani atau menyuruh anak-anak kita suatu amalan baik itu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah, urusan akhirat maupun dunia, hendaknya kita memperhatikan untuk tidak membebani mereka terlalu berat karena mereka masih kecil.

Demikian semoga bermanfaat dan in syā Allāh kita lanjutkan pada sesi berikutnya.


سبحانك اللهم وبحمدك أشهد إن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______________

Selasa, 16 Juni 2020

MELATIH ANAK UNTUK MELAKUKAN KETAATAN KEPADA ALLAH ﷻ SEJAK KECIL

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 24 Syawwal 1441 H / 16 Juni 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 46 | Melatih Anak Untuk Melakukan Keta’atan Kepada Allāh ﷻ Sejak Kecil
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-46
~~~~~~~~~~~~

*MELATIH ANAK UNTUK MELAKUKAN KETAATAN KEPADA ALLAH ﷻ SEJAK KECIL*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، ولاحول ولا قوة إلا بالله أما بعد

Ma'asyiral mustami'in, para pendengar, pemirsa rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-46 dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

Kita lanjutkan dalam kitāb pada halaman 84, penulis membuat satu sub judul:

▪MELATIH ANAK UNTUK MELAKUKAN KETAATAN KEPADA ALLAH ﷻ SEJAK KECIL ( تدريب الطفل على الطاعات منذ الصغر)

Sejak kecil kita selaku orang tua hendaknya berusaha semaksimal mungkin untuk melatih anak-anak kita untuk taat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Karena kalau sejak kecil mereka sudah baik maka akan terus terbawa sampai mereka dewasa, bahkan sampai mereka tua.

Alhamdulillāh, kita sebagai orang tua sudah muslim sehingga mereka (anak-anak) lahir di tengah keluarga muslim. Bahkan para shahabat yang sebagian besar mengalami masa jahiliyah, kalau di masa jahiliyyah mereka baik, maka akan terbawa baik sampai (ketika) mereka masuk Islām.

Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada sebagian shahabat yang diriwayatkan oleh Al Bukhāri dan Muslim, dari Hakim bin Hizam radhiyallāhu 'anhu, beliau pernah bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ ـ أَوْ أَتَحَنَّتُ بِهَا ـ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صِلَةٍ وَعَتَاقَةٍ وَصَدَقَةٍ، هَلْ لِي فِيهَا أَجْرٌ قَالَ حَكِيمٌ ـ رضى الله عنه ـ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  " أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ لَكَ مِنْ خَيْرٍ

_"Wahai Rasūlullāh bagaimana pendapatmu tentang segala perbuatan baik yang ku lakukan pada zaman jahiliyyah, seperti silaturahmi, membebaskan budak, bershadaqah. Apakah ada pahala untukku baginya?"_

_Kemudian  Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan:_

_"Perbuatan baik yang dahulu engkau lakukan akan tetap ada setelah engkau masuk Islām.”_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 2220 dan Muslim nomor 123)

Artinya, kebaikan yang dilakukan sebelum seseorang masuk Islām, Allāh akan pelihara (jaga). Bahkan dalam Islām akan semakin bertambah kebaikan tersebut.

Para orang tua, anak-anak kita kalau kita latih mereka sejak kecil untuk taat kepada Allāh, maka kebaikan tersebut akan terus terbawa sampai mereka dewasa, jika mereka istiqāmah dalam hal itu.

Tentunya pertama dengan usaha kita, kemudian tawakal kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, (berdo'a kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla agar anak kita menjadi anak yang terus istiqāmah dan menjadi anak yang shālih dan shālihah).

Di antara perintah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam hal ini sebagaimana disebutkan di dalam hadīts dari Al Bukhāri dan Muslim, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

_"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalāt ketika mereka berumur tujuh tahun. Pukullah mereka karena meninggalkan shalāt ketika mereka berumur sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”_

Apabila anak-anak kita laki-laki dan perempuan, maka sudah wajib untuk dipisahkan sejak kecil padahal belum bāligh. Baik usia mereka tujuh atau sepuluh tahun dan mereka belum wajib untuk shalāt, tetapi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tetap perintahkan mereka untuk shalāt.

⇒ Orang tua diperintahkan untuk mendidik mereka untuk melakukan shalāt.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah mengajarkan Hasan dan Husain (keluarga Nabi) yang pernah memakan kurma dari sedekah. Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam  mengatakan:

كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا! أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟

_“ Kih, kih (keluarkan, keluarkan), kurma itu! Apakah engkau tidak tahu sesungguhnya keluarga kita (keluarga Muhammad) tidak memakan shadaqah.”_

Demikian pula seperti pengajaran Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada shahabat yang masih kecil saat itu yang bernama Umar bin Abī Salamah (putra Abū Salamah)  Sebagaimana disebutkan di dalam hadīts shahīh riwayat Muslim dan yang lainnya.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

_"Wahai anak, sebutlah Nama Allāh dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah dari makanan yang dekat denganmu."_

Umar bin Abī Salamah ketika itu masih kecil dan ketika dihidangkan makanan tangannya kemana-mana, semua makanan diambil. Kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menasehati Umar dengan mengatakan, "Nak, bacalah bismillāh, dan makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah dari makanan yang dekat denganmu."

Umar bin Abī Salamah setelah mendengar nasehat dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tersebut beliau mengatakan:

فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْد

_"Sejak saat itu, begitulah cara saya makan (selamanya).”_

Ini semua menunjukkan bahwa ketaatan yang dilatih oleh orang tua sejak kecil sangat bermanfaat (in syā Allāh) untuk kelangsungan anak kita sampai dewasa.

Masih banyak contoh hadīts yang lain yang menunjukkan pendidikan anak dari kecil sangat baik dan berpengaruh untuk kebaikan sampai kedewasaan.

Demikian para pendengar rahīmakumullāh atas segala kekurangannya mohon maaf.

Semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
_______________

Senin, 15 Juni 2020

TERKADANG SATU WAKTU DAN TERKADANG WAKTU YANG LAIN (ساعة و ساعة)

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 23 Syawwal 1441 H / 15 Juni 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 45 | Terkadang Satu Waktu Dan Terkadang Waktu Yang Lain (ساعة و ساعة)
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-45
~~~~~~~~~~~~

*TERKADANG SATU WAKTU DAN TERKADANG WAKTU YANG LAIN (ساعة و ساعة)*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين وصلاة وسلم على اشرف الانبياء المرسلين نبيا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدي اما بعد

Ma'asyiral mustami'in, para pendengar, pemirsa rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-45 dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

Kita lanjutkan dalam kitāb pada halaman 83, di situ penulis membuat satu sub judul:

▪TERKADANG SATU WAKTU DAN TERKADANG WAKTU YANG LAIN (ساعة و ساعة)

Artinya kondisi kita boleh berubah-ubah selama tidak sampai jatuh kepada hal yang maksiat atau tidak bermanfaat.

Diriwayatkan dalam Shahīh Muslim, dari hadīts Hanzhalah Al Usaidi radhiyallāhu 'anhu, beliau menceritakan:

لَقينَي أَبُو بَكْر رضي اللَّه عنه فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حنْظلَةُ؟ قُلْتُ: نَافَقَ حنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحانَ اللَّه مَا تقُولُ؟،: قُلْتُ: نَكُونُ عِنْد رَسُول اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يُذكِّرُنَا بالْجنَّةِ والنَّارِ كأَنَّا رأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرجنَا مِنْ عِنْدِ رسولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم عافَسنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلادَ وَالضَّيْعاتِ نَسينَا كَثِيراً قَالَ أَبُو بكْر رضي اللَّه عنه: فَواللَّهِ إِنَّا لنَلْقَى مِثْلَ هَذَا فانْطلقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْر حَتَّى دخَلْنَا عَلى رَسُولِ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم. فقُلْتُ نافَقَ حنْظَلةُ يَا رَسُول اللَّه، فقالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: "ومَا ذَاكَ؟ " قُلْتُ: يَا رسولَ اللَّه نُكونُ عِنْدكَ تُذَكِّرُنَا بالنَّارِ والْجنَةِ كَأَنَّا رأْيَ العَيْنِ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسنَا الأَزوَاج والأوْلاَدَ والضَّيْعاتِ نَسِينَا كَثِيراً. فَقَالَ رسولُ اللَّه صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم:"وَالَّذِي نَفْسِي بِيدِهِ أن لَوْ تَدُومُونَ عَلَى مَا تَكُونُونَ عِنْدِي وَفِي الذِّكْر لصَافَحتْكُمُ الملائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُم وَفي طُرُقِكُم، وَلَكِنْ يَا حنْظَلَةُ سَاعَةً وسَاعَةً" ثَلاثَ مرَّاتٍ،

_Abū Bakar Ash Shidiq menemuiku dan berkata, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?”_

_Aku menjawab, "Hanzhalah telah melakukan sebuah kemunafikan."_

_Abū Bakar bertanya, "Subhānallāh, apa yang engkau katakan?"_

_Aku menjawab, "Kami berada bersama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam yang sedang mengingatkan kami semua tentang Surga dan Neraka. Ketika itu seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri. Tetapi ketika kami keluar dari sisi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, kami bersenda gurau dengan dengan isteri dan anak-anak  juga sibuk dengan pekerjaan, sehingga kami banyak melupakan apa yang telah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terangkan."_

_Abū Bakar berkata, "Demi Allāh, kami pun mengalami seperti itu!"_

_Lalu aku bersama Abū Bakar pergi menghadap Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam._

_Aku berkata, "Hanzhalah telah melakukan kemunafikan, wahai Rasūlullāh!"_

_Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata, "Apa yang telah terjadi?"_

_Aku berkata, "Wahai Rasūlullāh, aku berada bersamamu, engkau mengingatkan kami semua tentang Surga dan Neraka, ketika itu seakan-akan kami melihatnya dengan mata kepala sendiri, tetapi ketika kami keluar dari sisimu, kami bersenda gurau dengan isteri dan anak-anak, juga sibuk dengan pekerjaan sehingga kami banyak melupakan apa yang telah engkau terangkan."_

Rasūlullāh shallallāhu _'alayhi wa sallam bersabda, "Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, sesungguhnya jika kalian selamanya berada di tangan-Nya andaikan kalian dalam keadaan seperti ketika kalian bersamaku dan selalu berada di dalam keadaan dzikir, niscaya para malāikat akan menyalami kalian di tempat tidur dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzhalah ada saatnya dan ada saatnya." (Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan tiga kali)."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim)

Artinya manusia itu wajar jika iman sedang tinggi kemudian disaat lain imannya turun tetapi tidak sampai melakukan maksiat.

الإِيْمَانُ يَزْدَادُ وَ يَنْقُصُ

_"Iman itu bertambah dan berkurang.”_

Penulis mengatakan:

ساعة و ساعة
Maksudnya:

ساعة المرح مع الأولاد 

_"Terkadang kita boleh bermain-main bersama anak-anak (isteri atau keluarga kita)."_

وساعة للإجتهاد في العبادة

_"Terkadang waktu kita juga kita gunakan sebaik-baiknya untuk beribadah."_

Yang tidak boleh adalah untuk bermaksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Jadi itulah waktu kita. Kita gunakan untuk hal-hal yang baik. Baik untuk ibadah maupun untuk bermain sekalipun, selama itu  diperbolehkan maka tidak masalah. Dan selama tidak melalaikan kewajiban (in syā Allāh) tidak masalah.

Demikian para pendengar rahīmakumullāh semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______________

Sabtu, 13 Juni 2020

Bangga Menjadi Seorang Muslim

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 20 Syawwal 1441 H / 12 Juni 2020 M
👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A.
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 75 | Bangga Menjadi Seorang Muslim
🔄 Download Audio: bit.ly/NasihatSingkatBiAS-75
〰〰〰〰〰〰〰

🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :

| BNI Syariah
| Kode Bank (427)
| Nomor Rekening : 8145.9999.50
| a.n Yayasan Bimbingan Islam
| Konfirmasi klik https://bimbinganislam.com/konfirmasi-donasi/
__________________

Rabu, 10 Juni 2020

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 57

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 18 Syawwal 1441 H / 10 Juni 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 059 | Hadits 57
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H058
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 57*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله و رسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-59 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-57 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abdullāh bin Amr dan Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhum, keduanya berkata: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

_"Apabila seorang hakim membuat keputusan suatu perkara setelah berijtihad dan benar ijtihadnya maka baginya dua pahala, dan apabila dia memutuskan suatu perkara setelah berijtihad namun dia keliru, maka baginya satu pahala."_

(Hadīts riwayat Imam Al Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan yang dimaksud hakim dalam hadīts ini adalah seseorang yang memiliki ilmu yang menjadikannya layak memberikan qadha atau memberikan peradilan.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi seorang qadhi (seorang yang memberikan keputusan perkara di pengadilan), yang syarat tersebut harus dipenuhi agar apa yang dia lakukan termasuk perbuatan yang diizinkan oleh syari'at. Sehingga apabila dia keliru dia tetap mendapatkan pahala dari ijtihad yang dilakukan.

Dari hal tersebut kita bisa mengetahui, bahwasanya orang yang jahil (yang tidak memiliki ilmu), apabila menetapkan keputusan dan hukumnya (hasilnya) benar, maka ia telah berbuat zhālim dan berdosa karena keputusan perkara yang diambil bukan berdasarkan ilmu. Dan dia tidak boleh (tidak halal) baginya untuk memberikan keputusan di dalam perkara kalau dia tidak memiliki ilmu.

Sehingga Syaikh menyebutkan, jika orang yang jahil (tidak memiliki ilmu) maju dalam permasalahan qadha, memutuskan perkara peradilan, meskipun dia benar (dalam keputusannya) maka dia termasuk orang yang zhālim dan berdosa.

Adapun bagi seorang yang dia memiliki ilmu, memiliki kecakapan di dalam peradilan maka dialah orang yang berlaku padanya apa yang disebutkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini yaitu, "Apabila dia berijtihad dan benar maka baginya dua pahala, namun apabila ijtihadnya keliru maka baginya satu pahala."

Dalam hadīts ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh menjelaskan bahwa menjadi seorang hakim dalam memutuskan sebuah perkara, terdiri dari dua bentuk:

⑴ Ijtihad dalam memberikan hukum syar'i yang tepat dalam perkara yang diadili.

Dia berijtihad untuk bisa menempatkan hukum syar'i yang seharusnya pada perkara tersebut.

⑵ Ijtihad dalam rangka menerapkan kebenaran yang telah diputuskan kepada siapapun baik itu orang terdekat, temannya maupun sebaliknya (misalnya) kepada orang yang dia tidak kenal atau bahkan orang yang tidak dia senangi. Apabila kebenaran (hak) ada pada mereka maka mereka harus diberikan haknya.

Ijtihad kedua ini dia berijtihad untuk bisa menempatkan kebenaran bagaimanapun keadaan dan siapapun yang akan dia dihadapi. Sehingga dia tidak membedakan antara satu dengan yang lain. Tidak lebih memprioritaskan satu dengan yang lain. Dan dia tidak cenderung kepada hawa nafsunya.

Apabila dua hal ini dia lakukan, yaitu ijtihad untuk bisa menempatkan hukum syar'i yang tepat dan ijtihad untuk bisa bersikap adil, tidak memihak, maka dia mendapatkan apa yang dijanjikan dalam hadīts ini, yaitu dia akan mendapatkan pahala bagaimanapun putusan yang dia berikan.

Apabila putusannya benar maka dia mendapatkan dua pahala, apabila keputusannya salah maka dia tetap mendapatkan satu pahala, karena kekeliruan yang dia lakukan adalah kekeliruan yang dilakukan di luar batas kemampuannya untuk bisa memutuskan dengan benar.

Maka kita mengetahui perbedaan antara seorang hakim yang benar-benar berijtihad untuk kebenaran dan seorang hakim yang dia adalah shahibul hawa (pengikut hawa nafsu).

Perbedaannya adalah seorang hakim yang berijtihad untuk kebenaran dia melakukan apa yang diperintahkan kepadanya disertai dengan adanya niat yang baik dan ijtihad yang benar. Adapun shahibul hawa (pengikut hawa nafsu) dia akan berbicara tanpa ilmu (memberikan keputusan) tanpa ilmu atau memberikan putusan dengan ilmu namum disertai niat yang bertentangan dengan kebenaran. Tidak ingin memberikan hak pada orang yang berhak.

Dari hadīts yang mulia ini kita mengetahui tentang keutamaan seorang hakim yang memiliki sifat niat yang baik dan ijtihad yang benar, telah berusaha semaksimal mungkin untuk berijtihad dan memberikan hak kepada pemilik hak yang seharusnya.

Maka selayaknya seorang yang diberikan tugas atau peran sebagai seorang qadhi (hakim) hendaknya dia memperhatikan hal tersebut sehingga apa yang dia lakukan membuahkan pahala baginya bagaimanapun hasil keputusan yang dia berikan.

Demikian penjelas tentang hadīts mulia ini.

وصلى الله على نبينا محمد و على اله وصحبه و سلم
وَآخِرُ دَعْوانا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ
ولسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
________

Selasa, 09 Juni 2020

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 56

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 17 Syawwal 1441 H / 09 Juni 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 058 | Hadits 56
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H058
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 56*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله و رسوله محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-58 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-56 yaitu hadīts dari Āli bin Abī  Thalib radhiyallāhu 'anhu.

Beliau mengatakan:

قال رسول الله ﷺ:  لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

_Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf."_

(Hadīts shahīh riwayat Imam Al Bukhāri nomor 7257 dan Muslim)

Di dalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan kepada kita kaidah di dalam menjalankan sebuah ketaatan atau di dalam mentaati perintah dari mànusia. Baik perintah tersebut dari waliyul amr (pemimpin) ataupun dari walidain (kedua orang tua) maupun perintah seorang suami kepada istrinya. Karena syari'at memerintahkan kita untuk mentaati orang-orang tersebut.

√ Seorang rakyat (bawahan) diperintahkan untuk taat kepada pemimpin mereka.

√ Seorang anak diperintahkan untuk taat kepada kedua orang tuanya.

√ Seorang istri diperintahkan untuk taat kepada suaminya,

dan yang lainnya.

Di dalam menjalankan ketaatan terhadap perintah orang-orang tersebut, tentunya harus memiliki suatu batasan. Dimana di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan batasan-batasannya, (yaitu) ketaatan kepada manusia hanya boleh dilakukan apabila perbuatan tersebut bukan perkara maksiat.

Karena ketaatan kepada manusia mengikuti ketaatan kepada Allāh, sehingga ketaatan kepada Allāh lebih didahulukan dibandingkan ketaatan kepada manusia.

Oleh karena itu apabila seseorang diperintahkan untuk melakukan suatu perbuatan yang ternyata perbuatan tersebut merupakan perbuatan maksiat, baik bentuknya berupa melakukan perbuatan yang haram atau meninggalkan perbuatan perkara yang wajib, karena keduanya adalah maksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, maka dia tidak boleh taat (tidak boleh menjalankan ketaatan tersebut).

Ketaatan kepada Allāh harus didahulukan dibandingkan ketaatan kepada manusia.

Misalkan seseorang diperintahkan untuk:

√ Membunuh seorang jiwa yang diharamkan oleh syari'at untuk dibunuh, maka tidak boleh dia menjalankan perintah tersebut.

√ Atau dia diperintahkan untuk memukul orang yang diharamkan oleh syari'at untuk memukulnya.

√ Atau mengambil hartanya.

√ Atau dia diperintahkan untuk meninggalkan perkara yang wajib seperti shalāt, puasa atau haji atau ibadah lain yang hukumnya wajib.

Maka seorang tidak boleh taat (tidak boleh menjalankan perintah tersebut) dan dia tetap menjalankan ketaatan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dengan melakukan hal yang wajib meskipun harus menyelisihi perintah manusia.

Ini makna dari:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ

_Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan,._

Seseorang tidak boleh taat kepada perintah manusia apabila perintah tersebut mengandung maksiat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan dari hadīts yang mulia ini, kita bisa memahami bahwasanya apabila seseorang dihadapkan kepada dua pilihan yaitu antara menjalankan ketaatan atau perintah orang-orang yang diperintahkan untuk taat kepada mereka dengan meninggalkan perkara yang nafilah (mustahab) maka yang lebih dia prioritaskan adalah menjalankan ketaatan kepada perintah manusia tersebut, meskipun dia meninggalkan perkara yang mustahab. Dikarenakan meninggalkan perkara yang mustahab bukanlah perbuatan maksiat dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam hanya melarang ketaatan di dalam kemaksiatan.

Contoh :

Apabila seorang suami melarang istrinya untuk melakukan  puasa sunnah atau mengerjakan haji yang sunnah, maka seorang istri harus mentaati perintah suaminya karena mentaati perintah adalah perkara wajib yang Allāh wajibkan (seorang istri taat kepada suaminya).

Sedangkan menjalankan puasa sunnah atau haji yang sunnah hukumnya adalah mustahab (sunnah), bukan hal yang wajib, sehingga apabila ditinggalkan dia tidak bermaksiat.

Contoh lain:

Apabila seorang waliyul amr (seorang pemimpin) memerintahkan kepada suatu urusan yang berkaitan dengan siasah yang ternyata apabila menjalankan perintah tersebut akan menjadikan dia tidak bisa menjalankan perkara yang mustahab, maka dalam kondisi demikian dia wajib mendahulukan taat kepada perintah yang diperintahkan kepadanya meskipun dia tidak bisa mengerjakan perkara yang mustahab.

Karena  Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ

_"Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan.”_

⇒ Maksiat adalah melakukan hal yang haram atau meninggalkan hal yang wajib.

Adapun meninggalkan hal yang mustahab bukan termasuk perbuatan maksiat.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam juga menyebutkan di akhir hadīts tersebut.

إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

_"Sesungguhnya ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf."_

Yaitu ketaatan kepada manusia hanya boleh dilakukan dalam perkara yang ma'ruf (perkara yang baik bukan perkara maksiat).

Termasuk dalam makna ini pula yang disebutkan oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh adalah menjalankan ketaatan kepada manusia, ini pun berkaitan atau didasarkan (harus sesuai) dengan kemampuan, sebagaimana kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh syari'at pun tentunya dilakukan sesuai dengan: قدرة و استطاعه - (kemampuan).

Begitu juga perintah-perintah manusia tentunya dijalankan sesuai dengan kemampuan oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

عليكم السمع وطاعة فيما  استطعتم

_"Hendaklah kalian mendengar dan taat dalam perkara yang kalian mampu.”_

Demikian pembahasan yang bisa kita bahas pada kesempatan kali ini.

وصلى الله على نبينا محمد و على اله وصحبه و سلم
________

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits