Selasa, 28 November 2017

Halaqah 22 | Takut Kepada Allāh

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 10 Rabi’ul Awwal 1439 H / 28 November 2017 M
👤 Ustadz 'Abdullāh Roy, MA
📘 Silsilah Belajar Tauhid
🔊 Halaqah 22 | Takut Kepada Allāh
~~~~~~~~~~~~~~~

TAKUT KEPADA ALLĀH

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Halaqah yang ke-22 dari Silsilah Belajar Tauhid adalah tentang "Takut Kepada Allāh". 

Di antara keyakinan seorang muslim, ayyuhal ikhwah, adalah bahwasanya manfaat dan mudharat adalah di tangan Allāh  Subhānahu wa Ta'ālā semata.

Seorang muslim tidak takut kecuali kepada Allāh dan tidak bertawakal kecuali kepada Allāh.

Takut kepada Allāh yang dibenarkan adalah takut yang membawa pelakunya untuk:

✓Merendahkan diri di hadapan Allāh
✓MengagungkanNya
✓Membawanya untuk menjauhi larangan Allāh Subhānahu wa Ta'ālā
✓Melaksanakan perintahNya
✓Bukan takut yang berlebihan yang membawa kepada keputusasaan terhadap rahmat Allāh.
✓Bukan takut yang terlalu tipis yang tidak membawa pemiliknya kepada ketaatan kepada Allāh .

Takut seperti ini adalah ibadah.

Tidak boleh sekali-sekali seorang Muslim menyerahkan takut seperti ini kepada selain Allāh.

Dan barangsiapa menyerahkannya kepada selain Allāh, maka dia telah terjerumus ke dalam syirik besar, yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

Seperti orang yang takut (terkena) mudharat (dengan) wali fulan yang sudah meninggal kemudian takut tersebut menjadikan dia merendahkan diri di hadapan kuburannya dan juga mengagungkannya.

Hendaknya seorang Muslim meneladani Nabi Ibrāhīm 'Alaihissalām ketika beliau berkata:

ﻭَﻟَﺎ ﺃَﺧَﺎﻑُ ﻣَﺎ ﺗُﺸْﺮِﻛُﻮﻥَ ﺑِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳَﺸَﺎﺀَ ﺭَﺑِّﻲ ﺷَﻴْﺌًﺎ

"Dan aku tidak takut dengan sesembahan kalian, mereka tidak memudharati aku kecuali apabila Rabbku menghendakinya."
(QS Al An'ām: 80)

Di antara takut yang diharamkan adalah takutnya seseorang kepada makhluk yang melebihi takutnya kepada Allāh sehingga takut tersebut membuat dia meninggalkan perintah Allāh atau melanggar larangan Allāh, seperti:

• Orang yang meninggalkan jihad yang wajib atasnya karena takut kepada orang-orang kafir.

Atau,

• Tidak melarang kemungkaran karena takut celaan manusia padahal dia mampu.

Allāh Subhānahu wa Ta'ālā berfirman :

ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺫَﻟِﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥُ ﻳُﺨَﻮِّﻑُ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَﻩُ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺨَﺎﻓُﻮﻫُﻢْ ﻭَﺧَﺎﻓُﻮﻥِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻣُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ

"Sesungguhnya itu hanyalah syaithan yang menakut-nakuti kalian wahai orang-orang yang beriman, dengan wali-walinya (penolong-penolongnya). Karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kalian kepadaKu jika kalian benar-benar orang yang beriman."
(QS Āli 'Imrān: 175)

Di antara cara menghilangkan rasa takut kepada makhluk yang diharamkan adalah:

• ⑴ Berlindung kepada Allāh dari bisikan syaithan.
• ⑵ Mengingat sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang artinya:

ﻭَﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﺍﻷُﻣَّﺔَ ﻟَﻮِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌَﺖْ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮﻙَ ﺑِﺸَﻰْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻔَﻌُﻮﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻰْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻚَ ﻭَﻟَﻮِ ﺍﺟْﺘَﻤَﻌُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﻳَﻀُﺮُّﻭﻙَ ﺑِﺸَﻰْﺀٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮُّﻭﻙَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺸَﻰْﺀٍ ﻗَﺪْ ﻛَﺘَﺒَﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻚَ

"Ketahuilah bahwa seandainya umat semua berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat kecuali dengan apa yang sudah Allāh tulis dan seandainya mereka berkumpul untuk memberikan mudharat kepadamu niscaya mereka tidak bisa memberikan mudharat kecuali dengan apa yang sudah Allāh tulis."

(HR Tirmidzi dan dishahihkan Syaikh Al Albāniy Rahimahullāh)

Diperbolehkan takut yang merupakan tabiat manusia seperti takut kepada panasnya api binatang buas.

Dan takut seperti ini bukanlah takut yang merupakan ibadah dan juga bukan takut yang membawa seseorang meninggalkan perintah atau melanggar larangan Allāh.

Ini adalah takut yang tabiat, yang para Nabi pun tidak terlepas darinya.

Itulah halaqah yang ke-22 dan sampai bertemu kembali pada halaqah yang selanjuntnya.

و صلى الله على نبينا محمد و على آل نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين.

Saudaramu, 'Abdullāh Roy

✒Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------------------

Senin, 27 November 2017

Halaqah 21 | Cinta Kepada Allāh

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 09 Rabi’ul Awwal 1439 H / 27 November 2017 M
👤 Ustadz 'Abdullāh Roy, MA
📘 Silsilah Belajar Tauhid
🔊 Halaqah 21 | Cinta Kepada Allāh
~~~~~~~~~~~~~~~

CINTA KEPADA ALLĀH TA'ĀLA

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Halaqah yang ke-21 dari Silsilah Belajar Tauhid adalah tentang "Cinta Kepada Allāh".

Mencintai Allāh merupakan ibadah yang agung.

Cinta yang merupakan ibadah ini mengharuskan seorang Muslim merendahkan dirinya di hadapan Allāh, mengagungkan Allāh, yang akhirnya akan membawa seseorang untuk melaksanakan perintah Allāh dan juga menjauhi apa yang Allāh larang.

Inilah cinta yang merupakan ibadah.

Barangsiapa yang menyerahkan cinta seperti ini kepada selain Allāh maka dia telah berbuat syirik besar.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman :

ﻭَﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﺨِﺬُ ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻥِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻧْﺪَﺍﺩًﺍ ﻳُﺤِﺒُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﻛَﺤُﺐِّ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁَﻣَﻨُﻮﺍ ﺃَﺷَﺪُّ ﺣُﺒًّﺎ ﻟِﻠَّﻪِ

"Dan diantara manusia ada orang-orang yang menjadikan selain Allāh sebagai sekutu-sekutu Allāh, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allāh. Adapun orang-orang yang beriman maka cinta mereka kepada Allāh jauh lebih besar".
(QS Al Baqarah: 165)

Adapun cinta yang merupakan tabi'at manusia, seperti cinta keluarga, harta, pekerjaan dan lain-lain, maka hal ini diperbolehkan selama tidak melebihi cinta kita kepada Allāh.

Apabila seseorang mencintai perkara-perkara tersebut melebihi cintanya kepada Allāh maka dia telah melakukan dosa besar.

Allāh berfirman yang artinya:

"Katakanlah; 'Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, dan juga rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, itu semua lebih kalian cintai daripada Allāh dan Rasul-Nya dan juga berjihad di jalan Allāh, maka tunggulah sampai Allāh Subhānahu wa Ta'āla mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allāh tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik".
(QS At Taubah: 24)

Ketika terjadi pertentangan antara 2 kecintaan maka disini akan nampak siapa yang lebih dia cintai.

Dan akan nampak siapa yang cintanya benar dan siapa yang cintanya hanya sebatas ucapan saja.

Diantara cara untuk memupuk rasa cinta kita kepada Allāh adalah dengan:

•⑴ Mentadabburi (memperhatikan) ayat-ayat Al Qurān.
•⑵ Memikirkan tanda tanda kekuasaan Allāh Subhānahu wa Ta'āla di alam semesta.
•⑶ Mengingat-ingat berbagai kenikmatan yang Allāh berikan.

Itulah halaqah yang ke-21 dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

و صلى الله على نبينا محمد و على آل نبينا محمد و على آله و صحبه أجمعين.

Saudaramu, 'Abdullāh Roy

✒Tim Transkrip Materi BiAS
______________________________

Minggu, 26 November 2017

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-4 | Keutamaan Keridhaan Orang Tua

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 07 Rabi’ul Awwal 1439 H / 25 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-4 | Keutamaan Keridhaan Orang Tua
------------------------------

KEUTAMAAN KERIDHAAN ORANG TUA

بسم الله الرحمن الرحيم

Ikhwan & akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, kita lanjutkan hadits berikutnya:

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما: عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: "رِضَا اللَّهِ فِـيْ رِضَا الْوَالِدَيْـنِ، و سخط اللَّهِ فِـيْ سخط الْوَالِدَيْنِ (أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ)

Dari ‘Abdullāh bin ‘Amr bin al ‘Āsh Radhiyallāhu Ta'āla 'anhumā: dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam Beliau bersabda: “Ke-ridhā-an Allāh itu berada pada keridhā-an kedua orang tua, dan kemarahan Allāh itu berada pada kemarahan kedua orang tua.” (HR Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbān dan Al-Hākim)

Tidak diragukan bahwasanya agungnya hak kedua orangtua sangatlah besar. Dan Allāh Subhānahu Wa Ta'āla telah mengingatkan hal ini dalam banyak ayat dalam Al-Qurān.

Diantaranya firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:
● QS Luqmān: 14

أَنِ اشْكرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

"Bersyukurlah (berterima-kasihlah) kepadaKu dan bersyukurlah kepada kedua orangtua engkau dan kepadaKu lah kalian akan kembali."

Disini Allāh menggandengkan perintah untuk bersyukur kepada Allāh dengan perintah untuk bersyukur/berbakti/berterima kasih kepada kedua orangtua.

Dan Allāh tutup ayat tersebut dengan mengatakan: "Ingatlah, kalian akan dikembalikan kepadaKu". Artinya kalian akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, apakah kalian sudah bersyukur/berterima kasih kepada kedua orangtua atau tidak?

● QS Al-Isrā: 23

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ

"Dan Rabbmu telah menetapkan agar kalian tidaklah beribadah kecuali hanya kepada Allāh Subhānahu Wa Ta'āla dan berbaktilah kepada kedua orangtua kalian."

Dalam ayat ini, Allāh menggandengkan antara hak tauhid Allāh Subhānahu Wa Ta'āla dengan hak berbakti kepada kedua orangtua. Dan ini menunjukkan agungnya hak berbakti kepada kedua orangtua.

Dan barangsiapa yang mengerti bahasa arab, kalimat "إِحْسَانًا" adalah maf'ul muthlaq yang didatangkan untuk "penekanan", seakan-akan taqdirnya (kalimat yang dimaksudkan):

وَ أَحْسِنُ بِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

"Berbaktilah kepada kedua orangtua dengan sebakti-baktinya."

Allāh tidak memerintahkan kita hanya sekedar berbakti sewajarnya, tidak. Tetapi Allāh menyuruh untuk berbakti sebakti-baktinya kepada kedua orangtua. Ini menunjukkan akan agungnya berbakti kepada kedua orangtua.

Oleh karenanya, barangsiapa yang tidak menggunakan kesempatan untuk berbakti kepada kedua orangtua maka dia adalah orang yang celaka.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abū Hurayrah, dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, Beliau bersabda:

رغم أنف ثم رغم أنف ثم رغم أنف قيل من يا رسول الله قال من أدرك أبويه عند الكبر أحدهما أو كليهما فلم يدخل الجنة

"Sungguh celaka, celaka, dan celaka". Dikatakan kepada Nabi, "Wahai Rasūlullāh, siapakah yang celaka?". Nabi berkata, "Siapa yang menemui kedua orang tuanya di masa tua (jompo), salah satunya atau keduanya, kemudian dia tidak bisa masuk surga."

Kenapa Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan "celaka"?

Karena berbakti kepada orangtua di masa mereka dalam kondisi jompo, ini kesempatan yang sangat besar. Pintu surga telah terbuka selebar-lebarnya agar kita bisa masuk dengan berbakti kepada kedua orangtua terutama tatkala mereka berdua dalam kondisi lemah lagi sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang & bantuan kita, lantas kita sia-siakan. Maka orang seperti ini adalah orang yang tercela, dia tidak menjadikan kesempatan ini untuk membuat dia masuk surga.

Dan hadits-hadits seperti ini sangatlah banyak.

Namun bagaimanapun, kita tidak boleh ta'at kepada orangtua dalam rangka bermaksiat kepada Allāh Subhānahu Wa Ta'āla. Kita hanya ta'at kepada kedua orangtua tatkala mereka berdua menyuruh kita kepada perkara yang ma'ruf.

Oleh karenanya Allāh ingatkan dalam Al-Qurān:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

"Dan jika keduanya menyuruhmu untuk berbuat syirik kepadaKu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah engkau ta'ati keduanya. Akan tetapi tetaplah pergaulilah mereka berdua dengan cara yang baik." (Luqmān 15)

Artinya, ayat ini menunjukkan kewajiban berbakti kepada kedua orangtua bagaimanapun kondisi kedua orangtua.

Lihat dan perhatikan ayat ini !

Ayat ini menceritakan kedua orangtua sangat parah kondisinya; orangtua musyrik. Bukan hanya musyrik, bahkan orangtua menyuruh sang anak untuk berbuat syirik. Kedua orangtua bukan hanya sekedar peminum khamr, pembunuh atau pencuri, tetapi kedua orangtua melakukan (di atas) kesyirikan dan bahkan memaksakan anaknya untuk melakukan kesyirikan.

Maka Allāh mengatakan sang anak tidak boleh ta'at kepada kedua orangtua, akan tetapi sang anak tetap wajib untuk tetap berbakti kepada kedua orangtuanya.

Saya sering ditanya:
"Ustadz, bagaimana jika orangtua saya ternyata menzhalimi saya, dulu tidak menafkahi saya, sejak kecil saya dan ibu saya ditinggalkan oleh ayah saya. Bagaimana, apakah saya wajib untuk berbakti?"

Jawabannya:
Wajib tetap berbakti bagaimanapun kondisi orangtua. Dia (orangtua) merupakan sebab engkau ada di dunia ini. Seandainya kedua orangtuamu tidak ada atau salah satunya tidak ada maka engkau tidak akan muncul di atas muka bumi ini.

Maka bagaimanapun kondisi orangtua tetap wajib bagi engkau untuk berbakti kepadanya. Jangankan hanya sekedar orangtua tidak memberi nafkah, bahkan orangtua di atas kesyirikan wajib bagi kita untuk berbakti kepada orangtua.

Akan tetapi, perhatikan disini, jika orangtua menyuruh kepada kemaksiatan maka tidak boleh kita ta'ati. Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاَ طاَعَة لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الخَالِقٍ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam rangka bemaksiat kepada Allāh Subhānahu Wa Ta'āla."

(Shahih, HR Ahmad, Ath Thabrāni, Al. Hākim dan yang lain dengan lafadz Ath. Thabrāni dishahihkan oleh Syaikh Al. Albani; Lihat Ash Shahīhah No. 179).

Disini ada kaidah yang perlu kita perhatikan yaitu:

■ Jika ternyata orangtua memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan maka tidak boleh kita ta'ati.

Jangan kita hendak menyenangkan orangtua tetapi kita mendatangkan kemurkaan Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

■ Jika orangtua menyuruh kita untuk meninggalkan suatu yang wajib bagi kita maka tidak boleh juga ta'at kepada orangtua.

Akan tetapi yang wajib kita ta'at adalah jika orangtua menyuruh kita kepada perkara-perkara yang mubah (diperbolehkan).

Bahkan sebagian ulama menyebutkan: Jika ada perkara ilmu agama yang wajib kita pelajari, misalnya:

• Seorang hendak melaksanakan ibadah haji dan tidak tahu bagaimana cara berhaji maka dia harus belajar ilmu tentang berhaji, maka dia belajar dan tidak perlu izin orangtuanya.

• Dia tidak tahu cara shalat yang benar maka dia tetap belajar fiqh shalat dan tidak perlu izin kedua orangtuanya.

• Ingin menikah dan dia harus mengetahui ilmu tentang menikah maka dia pun belajar dan tidak perlu izin orangtuanya.

Kenapa? Karena itu fardhu 'ain.

Karena dia hendak menikah maka dia harus tahu fiqh-fiqh yang berkaitan dengan menikah, maka tidak perlu izin orangtuanya.

• PERTANYAAN :
Bagaimana jika orangtuanya menyuruh dia untuk menceraikan istrinya?

Hal ini pernah ditanyakan kepada para ulama. Bahkan para ulama menjelaskan permasalahan ini secara khusus karena sering terjadi.

Misalnya orangtua benci dengan istri kita kemudian ayah atau ibu kita menyuruh kita untuk menceraikan istri kita, maka apa yang harus kita lakukan?

• JAWABAN :
Bahwasanya menceraikan istri adalah perkara yang buruk dan dicintai oleh syaithān.

Maka jika ternyata kita disuruh menceraikan istri kita tanpa ada alasan yang syar'i, hanya sekedar mungkin ada persinggungan masalah antara istri dengan orangtua, maka tidak boleh kita menuruti/menta'ati perkataan orangtua, baik ibu maupun ayah. Karena istri punya hak, kita telah menikahinya dan dia telah berkorban untuk kita, kecuali kalau memang ada alasan yang syar'i.

Adapun jika alasannya tidak syar'i dan hanya sekedar masalah duniawi atau masalah yang biasa timbul antara menantu dengan mertua maka tidak boleh bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya.

Ada seseorang bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullāh: "Sesungguhnya ayahku memerintahkan aku untuk menceraikan istriku". Maka kata Imam Ahmad: "Jangan engkau ceraikan istrimu". Maka orang ini berkata: "Bukankah 'Umar bin Khaththāb radhiyallāhu Ta'āla 'anhu pernah memerintahkan putranya ('Abdullāh bin 'Umar) untuk menceraikan istrinya?".

Maka kata Imam Ahmad rahimahullāh: "Kalau ayahmu sudah seperti 'Umar bin Khaththāb, lalu memerintahkanmu untuk menceraikan istrimu, maka lakukanlah."

⇒Artinya ini fiqh yang dalam dari Imam Ahmad.

Tatkala 'Umar bin Khaththāb menyuruh 'Abdullah Ibnu 'Umar menceraikan istrinya tentunya bukan sembarangan, karena 'Umar bin Khaththāb adalah seorang yang bertaqwa dan mengetahui tentang masalah fiqh cerai.

Maka jika benar ayahmu seorang yang 'ālim dan bertaqwa sebagaimana 'Umar dan memerintahkan menceraikan istrimu maka lakukanlah dan jika tidak, maka jangan dilakukan.

Demikianlah, ingat, betapa agungnya berbakti kepada kedua orangtua.

Jika anda menjadikan orangtua ridhā berarti anda telah mendatangkan keridhāan Allāh kepada anda.

Namun jika anda menjadikan orangtua murka maka sesungguhnya anda telah mendatangkan kemurkaan Allāh bagi anda sendiri.

والله تعالى أعلم بالصواب

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 4)

🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 06 Rabi’ul Awwal 1439 H / 24 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 4)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

*PERBUATAN YANG DIHARAMKAN (BAGIAN 4)*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan & akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, kita masih dalam hadits Mughīrah bin Syu'bah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu tentang beberapa perkara yang diharamkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Diantaranya yang terakhir (ke-6) adalah:

وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

"Menghabiskan (membuang) harta dengan sia-sia."

Sesungguhnya harta yang kita miliki ini hanyalah titipan dari Allāh Subhānahu Wa Ta'āla. Allāh Subhānahu Wa Ta'āla telah menyampaikan dalam Alqurān :

وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ

"Berikanlah kepada mereka dari harta Allāh yang Allāh berikan kepada kalian." (QS An Nūr: 33)

Berarti, harta kita adalah harta Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Diantara bukti bahwasanya harta yang kita miliki adalah harta Allāh yaitu tatkala kita meninggal dunia maka kita tidak bisa seenaknya membagi harta tersebut sesuai dengan kemauan kita (misal kepada si fulan atau kepada anak kita sesuka kita).

Tetapi begitu kita meninggal dunia, harta kita langsung masuk dalam aturan pemilik harta yang sesungguhnya yaitu Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Maka kita membagi harta setelah kita meninggal sesuai dengan aturan warisan yang telah Allāh tetapkan dalam Alqurān.

Ini menunjukkan harta kita hanyalah amanah (titipan) dari Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Oleh karenanya, Allāh Subhānahu Wa Ta'āla akan memintai pertanggung-jawaban tentang penggunaan amanah ini.

Dalam hadits yang shahih Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan:

لن تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسئل عن أربع : عن شبابه فيما أبلاه، وعن عمره فيما أفناه، وعن ماله من أين اكتسبه ، وفيما أنفقه (طب عن أبي الدرداء).

“Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari Kiamat hingga ditanya empat perkara: tentang masa mudanya untuk apa digunakan, umurnya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana didapat dan ke mana disalurkan."
(HR. Thabrāniy dari shahābat Abu Dardā)

Diantara 4 perkara tersebut adalah tentang hartanya;
⑴ Dari mana dia dapatkan?
⑵ Kemana dia habiskan?

Pertanyaan ke-2 inilah yang akan kita bahas adalah وَفِيمَا أَنْفَقَهُ (dimana dia habiskan).

Kita tidak boleh sembarang menghabiskan harta kita. Jika ternyata harta kita habiskan dengan sia-sia maka kita akan dihisab oleh Allāh dan diadzab dengan penggunaan harta yang sia-sia tersebut.

Oleh karenanya para ulama rahimahumullāh membagi penggunaan harta menjadi 3 :

■ Pertama | Penggunaan harta yang HARAM

Yaitu seseorang menggunakan harta pada cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syari'at.

Contoh:
▫Menggunakan (menghambur-hamburkan) harta untuk perkara-perkara yang haram yang dibenci oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla & Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dan ini terlalu banyak model penggunaan harta pada hal-hal yang haram.

▫Membiarkan harta tersebut TANPA ada PENJAGAAN sehingga akhirnya harta tersebut rusak.

Seseorang hanya mengumpulkan harta tetapi tidak dijaga, jika tidak butuh tidak dia berikan kepada oranglain.

Hobinya hanya mengumpulkan harta sehingga harta tersebut nantinya rusak, dari barang-barang besar sampai barang-barang kecil.

Contoh:

● Hobi mengumpulkan mobil, setelah memiliki mobil banyak tapi tidak dijaga (dirawat) sehingga rusak.

● Mengumpulkan beras banyak. Padahal ada tetangganya yang perlu tapi tidak dia berikan akhirnya beras tersebut rusak (sampai ada kutu/ulatnya), akhirnya tidak bisa dimanfaatkan.

● Membuang harta yang masih bisa digunakan. Terkadang seseorang merasa angkuh kemudian harta tersebut sebenarnya masih bisa digunakan oleh oranglain namun dia buang karena dia tidak perlukan.

Ini seperti bentuk-bentuk mubadzir, misal makanan yang masih bisa dimakan tapi dibuang atau ada sesuatu yang masih bisa dipakai tapi dibuang.

Ini semuanya contoh membuang harta dengan sia-sia.

■ Kedua | Penggunaan harta yang MUSTAHAB (dianjurkan).

Ini adalah menginfaqkan harta pada hal-hal kebaikan dan keta'atan yang disukai Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Ini jalannya begitu banyak, seperti:

• Mengeluarkan harta untuk membangun dakwah dijalan Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.
• Mengeluarkan harta untuk anak yatim dan fakir miskin
• Dan yang lainnya dari jalan-jalan kebaikan yang sangat banyak.

■ Ketiga | Pengeluaran harta yang diBOLEHkan oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Ini kembali kepada kondisi seseorang.

Jika seseorang ternyata memiliki harta yang melimpah (kaya raya) dan kemudian dia juga sudah berinfaq dan sudah membantu orang miskin, maka tidak dilarang dia mengikuti gaya hidupnya yang wajar.

Seorang yang kaya boleh dia membeli mobil mewah yang dia suka dan enak selama tidak sampai berlebihan dan tidak menghantarkan kepada kesombongan.

Membeli mobil mewah adalah haknya, hartanya masih banyak. Dia sudah berinfaq dijalan Allāh, membantu orang miskin, membangun masjid, maka dia boleh makan makanan yang enak.

Boleh baginya membeli mobil yang mewah yang tidak sampai pada derajat terlalu mahal, tidak, tetapi mobil tersebut mewah dan mahal karena enak untuk dipakai, bukan untuk bergaya atau sombong.

Maka ini tidak mengapa, ini hak dia karena telah menjalankan kewajiban dan berhak menggunakan harta yang dia miliki untuk hal-hal yang dibolehkan oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Adapun kalau kondisi orang tersebut ternyata tidak pas/sesuai dengan apa yang dia keluarkan, misalkan seseorang hartanya pas-pasan tetapi dia bergaya dengan gaya hidup mewah maka ini tidak diperbolehkan dan ini diharamkan oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Ini semua kembali kepada 'urf (tradisi). Kalau menurut tradisi merupakan perkara yang wajar bagi seseorang maka ini diperbolehkan.

Tetapi kalau penghasilannya sedikit tapi hidupnya mewah maka ini contoh mengeluarkan harta tidak pada tempatnya.

والله تعالى أعلم بالصواب

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 3)

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 05 Rabi’ul Awwal 1439 H / 23 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 3)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

*PERBUATAN YANG DIHARAMKAN (BAGIAN 3)*

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, kita masih dalam hadits Al Mughīrah bin Syu'bah radhiyallāhu Ta'āla 'anhu.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan beberapa perkara yang haram, diantaranya adalah:

■ PERKARA HARAM KETIGA

وَمَنْعًا وَهَاتِ

"Menahan dan meminta".

⇒ Arti "menahan" yaitu menahan perkara-perkara wajib yang harus dia tunaikan, seperti:

⑴ Zakat, merupakan nya orang-orang miskin, yang seharusnya dia tunaikan tapi tidak ditunaikan.

⑵ Nafkah-nafkah yang wajib yang harusnya diberikan kepada orangtuanya, anak dan istrinya tapi dia tidak keluarkan haknya.

⑶ Nafkah wajib kepada pekerjanya yaitu gaji, tapi tidak dia keluarkan.

⇒ Arti "meminta" yaitu dia sukanya hanya meminta. Hak orang lain tidak dia berikan sementara dia menuntut haknya bahkan menuntut perkara-perkara yang bukan haknya.

Oleh karenanya seseorang jangan hanya bisa menuntut saja namun tidak menunaikan kewajibannya.

Dan banyak model orang seperti ini, yang dia hanya menuntut tapi lupa bahwasanya dia punya tanggung jawab yang harus dia sampaikan.

■ PERKARA HARAM KEEMPAT

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَكره لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ

"Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla benci bila kalian 'qīla wa qāla' (berkata hanya berlandaskan "katanya")."

Dan ini peringatan kepada kita semua.

Di zaman sekarang, dimana begitu banyak media, berita-berita yang tersebar di internet, banyak sekali perkara yang belum tentu benar.

Dan tidak boleh kita menyebarkan setiap berita yang datang kepada tanpa kita cek terlebih dahulu. Apalagi datangnya dari situs-situs/website-website yang tidak jelas ketsiqahannya.

Bukankah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

"Cukuplah seorang (dikatakan) berdosa jika dia menyampaikan seluruh apa yang dia dengar."
(HR Muslim nomor 1662, versi Syarh Muslim nomor 996)

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

Cukuplah seorang (dikatakan) berdusta jika dia menyampaikan seluruh apa yang dia dengar."
(HR Muslim nomor 6, versi Syarh Muslim nomor 5)

Karena kalau kita menyampaikan seluruh kabar, dan namanya kabar pasti ada tambahan; kekurangan atau dusta, belum lagi kabar-kabar yang berkaitan dengan ghibah, namīmah, maka kita ikut menyebarkan "katanya dan katanya" ini.

Dalam hadits juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

بِئْسَ مَطِيّةُ الرجلِ زَعَمُوا

"Sungguh buruk (seburuk-buruk) tunggangan seseorang adalah perkataan 'mereka menduga'."
(HR Abū Dāwūd)

⇒ Maksudnya adalah seorang menukil berita namun tapi tidak jelas sumber perkataan tersebut (katanya begini, menurut/dugaan begini).

Hal ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Ingatlah sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam :

مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالا يَعْنِيهِ  

"Diantara keindahan Islam seseorang yaitu dia meninggalkan perkara yang tidak penting baginya."

(Hadits hasan, diriwayatkan oleh At Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya)

Oleh karena itu kalau ada kabar yang tidak jelas, tidak bermanfaat baginya & agamanya, masih diragukan maka tidak perlu dia sebarkan.

Kalau sudah terlanjur dibaca maka tidak perlu di share, tidak semua kabar harus kita share karena masih banyak sekali perkara yang masih "katanya dan katanya".

Ingat, kalau kita sebarkan setiap berita padahal pada berita tersebut bermacam-macam isinya - ada isinya hanya kedustaan, ghībah, namīmah (perkara-perkara)- maka ini kita termasuk menyebarkan perkara-perkara dosa.

Maka benar sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam "Cukuplah seorang dikatakan berdusta jika menyampaikan semua apa yang dia dengar."

■ PERKARA HARAM KELIMA 

Perkara yang haram berikutnya adalah "banyak soal".

Suāl dalam bahasa arab bisa memiliki 2 makna ;
• Makna ⑴ : pertanyaan
• Makna ⑵ : meminta

⇒ Dan keduanya ini dilarang, terlalu banyak bertanya dan terlalu banyak meminta.

⇒ Terlalu banyak bertanya adalah bertanya hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti bertanya tentang hal-hal yang mustahil terjadi atau pertanyaan yang tujuannya untuk mencari keringanan.

Pernah seorang ustadz ditanya:
"Ustadz, apa hukum makan daging dinosaurus?"

Ini pertanyaan yang tidak bermanfaat.

Dinosaurus sudah tidak ada, kalaupun dahulu ada maka siapa yang menyembelih dan siapa yang mau makan dagingnya?

Atau pertanyaan lain: "Apakah dinosaurus pernah ada?"

Ini pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada manfaatnya.

Contoh juga pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan dirinya, misal:
"Ustadz, misal kalau saya di bulan, kapan saya shalat dzuhur?"

Kalau pertanyaan berkaitan dengan seorang yang memang astronot maka tidak mengapa tetapi kalau kita bukan astronot dan hanya tinggal dirumah serta tinggal di bumi, maka untuk apa bertanya yang seperti ini?

Ini dilarang oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, yaitu bertanya tentang suatu hal yang tidak ada faidahnya dan mustahil/jarang terjadi.

Atau pertanyaan lain: "Kalau Ka'bah itu terbang, lalu bagaimana kaum muslimin shalat?"

Hal ini siapa yang menerbangkan dan kapan terjadi?

Intinya kalau ada permasalahan yang pelik, nanti ada saatnya para ulama akan membahas masalah-masalah tersebut.

⇒ Makna terlalu banyak meminta, yaitu seseorang tidak dilarang untuk bekerja dengan dirinya sendiri dan tidak mengharapkan bantuan orang lain.

Tapi kalau terlalu sering meminta tolong kepada orang lain maka hatinya akan kurang bergantung kepada Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Hendaknya seseorang bergantung hanya kepada Allāh Subhānahu Wa Ta'āla, berusaha menjaga kehormatan ('izzah) dirinya.

Dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan :

لاَ تَزَالُ الْمَسْأَلَةُ بِأَحَدِكُمْ حَتَّى يَلْقَى اللَّهَ يَوْمض الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

"Senantiasa salah seorang dari kalian meminta dan meminta sampai dia bertemu Allāh di hari kiamat dalam kondisi wajahnya tidak ada dagingnya sama sekali."
(HR Bukhāri No. 1405 dan Muslim no. 2443)

⇒ Artinya Allāh membalas perbuatan tidak tahu malu yaitu meminta-minta yang terus menerus (takatstsuran), yaitu sudah punya tetapi meminta lagi dan lagi.

Adapun orang yang meminta karena butuh dan benar-benar tidak punya dan butuh bantuan maka tidak dilarang.

Tetapi yang dilarang adalah jika sebenarnya dia bisa berusaha sendiri dan tidak terlalu perlu meminta tapi meminta-minta terus.

Ini yang bisa menghinakan diri seseorang dihadapan manusia dan Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

والله تعالى أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Rabu, 22 November 2017

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 2)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 04 Rabi’ul Awwal 1439 H / 22 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 2)
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

*PERBUATAN YANG DIHARAMKAN (BAGIAN 2)*

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat, kita lanjutkan, masih hadits Al Mughīrah bin Syu'bah.

Telah kita bahas tentang,

■ PERKARA HARAM PERTAMA | Durhaka kepada ibu.

Para ulama menjelaskan yang dimaksud durhaka kepada orangtua adalah melakukan segala perkara yang membuat orangtua jengkel.

Bahkan sebagian ulama mengatakan diantara bentuk durhaka adalah melalaikan orangtua, tidak memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh orangtua.

Kalau seorang anak diberi kelebihan harta maka jangan tunggu ibu dan ayahnya meminta, ini adalah perkara yang memalukan.

Orangtua masih memiliki harga diri, mereka terkadang malu untuk meminta kepada anaknya.

Bahkan kalau mereka mampu mereka ingin terus memberi terus kepada anaknya.

Kita dapati orangtua meskipun sudah tua tetap sayang kepada anaknya, tetap memberikan hadiah kepada anaknya, dan kalau mereka butuh terkadang malu untuk minta kepada anaknya.

Anak yang baik tidak menunggu diminta oleh ayah dan ibunya, tetapi dia berusaha mencari apa yang dibutuhkan oleh ayah dan ibunya.

⇒ Memberikan kepada kedua orangtuanya sebelum mereka meminta.

Dalam ayat, Allāh Subhānahu Wa Ta'āla berfirman :

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِينَ...

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infaqkan.
Katakanlah (wahai Muhammad): "Apa saja yang kalian infakkan* hendaknya diberikan kepada kedua orang tua dan kerabat..."
(QS Al-Baqarah 215)

* tidak perlu tahu apa saja, yang penting kebaikan

⇒Yang pertama kali Allāh sebutkan adalah kedua orangtua, seakan-akan Allāh berkata "Kebaikan (infaq) apapun yang kalian berikan kepada orangtua"

Kemudian kerabat dan seterusnya.

Oleh karenanya, berinfaq dan memberi hadiah kepada orangtua pahalanya TIDAK SAMA dengan apabila kita memberi sedekah kepada orang lain.

Kita masuk kepada perkara haram yang kedua yaitu,

■ PERKARA HARAM KEDUA | Menguburkan anak perempuan hidup-hidup

Ini merupakan kebiasaan orang-orang Jahiliyyah di sebagian kabilah (saja), tidak seluruh kabilah Arab, tidak seperti yang dipersangkakan.

Ada 2 sebab yang membuat mereka melakukan demikian;

• Sebab ⑴

Karena mereka takut anak perempuan mereka makan bersama mereka sehingga mengurangi rizqi mereka.

Kalau anak laki-laki mencari rizqi, kalau anak perempuan menurut mereka membuat masalah yaitu hanya diam dirumah dan orangtua memberi makan.

Oleh karenanya mereka tidak suka punya anak perempuan.

• Sebab ⑵

Karena mereka merasa malu punya anak perempuan karena tidak bisa dibanggakan, tidak bisa menambah kekuatan.

Adapun kalau anak laki-laki, kalau punya banyak anak laki-laki maka mereka merasa punya kekuatan sehingga berani bertempur.

Inilah diantara sebab mereka benci memiliki anak perempuan, sehingga membunuh anak perempuan mereka;

⇒ Baru lahir langsung mereka bunuh atau mereka tunda sampai agak besar sedikit kemudian baru mereka kubur hidup-hidup.

Allāh menyebutkan dosa ini dalam ayat :

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (٨) بِأيّ ذَنْبٍ قُتلَتْ (٩)

"Dan tatkala bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?"
(QS At-Takwir: 8-9)

Jadi bayi itu tidak ada dosa sama sekali tetapi hanya karena orangtuanya yang "bejat" yang tidak punya perasaan sehingga mengubur anak perempuannya hidup-hidup.

Dalam ayat yang lain, Allāh Subhānahu Wa Ta'āla berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأُنثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (٥٨) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِن سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ (٥٩)

Dan jika salah seorang diantara mereka dikabarkan bahwasanya yang lahir adalah seorang anak perempuan maka wajahnya hitam (merah padam).

⇒ Karena sangat marah karena ternyata istrinya melahirkan anak perempuan.

Maka diapun menghindar (malu) bertemu dengan kaumnya.

⇒ Sampai seperti ini orang-orang Arab Jahiliyyah zaman dahulu.

Maka dia bingung apakah anak perempuannya dia biarkan hidup sementara dia dalam keadaan hina (malu) ataukah begitu lahir langsung dia bunuh?
(QS An Nahl: 58-59)

Oleh karenanya mereka melakukan 2 cara untuk membunuh anak perempuan:

⑴ Baru lahir langsung dibunuh.
Atau,

⑵ Ditunda sampai umur sudah agak besar kemudian didorong, ditimbun dan dikubur hidup-hidup.

Sampai terkadang disebutkan dalam sebagian sejarah yaitu bagaimana seseorang tatkala akan membunuh putrinya maka dia rias putrinya dan mengajaknya keluar sementara ibunya sedih karena tahu bahwa putrinya akan dibunuh.

Kemudian setelah itu dia melemparkan putrinya dan menimbunnya dengan tanah sementara putrinya berteriak "Ayahku... ayahku...".

Benci kepada anak perempuan adalah adat Arab jahiliyyah yang sampai sekarang masih terwariskan.

Kita dapati sekarang sebagian orang (bahkan orang yang sudah mengaji) terkadang istrinya melahirkan anak perempuan lalu jengkel.

⇒ Mungkin kalau anak perempuan satu mungkin masih bisa menahan, tapi kalau anak yang ke-2, ke-3 dan ke-4 ternyata anak perempuan lagi maka suami jengkel kepada istrinya.

Bahkan, sebagian orang (menjadi) "gila", yaitu tatkala istrinya terus melahirkan anak perempuan, dia ceraikan istrinya.

Ini hal yang lucu. Apa salah istrinya? Istrinya hanyalah "sawah", yang ditanam sang suami.

Banyak dari kita yang sudah menikah dan memiliki anak-anak, kita bisa tahu bagaimana repotnya istri tatkala mengandung dan mengurus anak kita.

Itulah dahulu tatkala ibu kita mengurus kita, bayangkan betapa sulit yang dirasakan oleh istri-istri tatkala merawat anak-anak kita.

Dan seorang ibu luar biasa, misal dia memiliki 5 orang anak atau lebih, namun dia mampu mengayomi seluruh anaknya.

Dan yang menyedihkan tatkala kita melihat anak yang terkadang jumlahnya 10, namun mereka tidak bisa mengayomi ibu mereka yang hanya 1.

Ini menujukkan bahwa kasih sayang seorang ibu kepada anak-anak (adalah) sangat luar biasa. Karenanya durhaka kepada ibu merupakan dosa besar.

Seorang yang cerdas yang ingin mencari pahala sebanyak-banyaknya, diantara pintu surga yang paling besar adalah dengan berbakti kepada ibu.

Disebutkan bahwasanya seorang Salaf Muhammad Ibnul Munkadir mengatakan:

"Saya bermalam sambil memijit kaki ibu saya, sementara saudara kandung saya bermalam sambil shalat malam semalam suntuk. Saya tidak mau pahala saya ditukar dengan pahala saudara saya."

⇒ Pahala memijiti kaki ibu lebih di sukai daripada pahala shalat malam.

Lihatlah bagaimana Salaf ini mengerti betul bahwasanya menyenangkan hati seorang ibu adalah pahalanya sangat besar.
Maka berusahalah kita memberi senyuman kepada ibu kita, bagaimana ibu kita bisa senyum tatkala melihat kita, bagaimana ibu kita bisa bahagia dan bangga kalau melihat dan disebut nama kita.

Maka sebagaimana perkataan seorang penyair :

رِضَاؤُكِ سِرَّ تَوْفِيْقِيْ

"Bahwasanya keridhaanmu wahai ibunda, merupakan rahasia sukses yang aku peroleh."

Oleh karenanya, seseorang berusaha untuk membahagiakan ibunya maka Allāh akan mudahkan bagi dia segala urusannya.

⇒ Lihat hadits yang pernah kita bahas bahwasanya:
"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizqinya (dipanjangkan umurnya) maka sambunglah silaturahmi."

Apalagi yang kita sambung silaturahmi adalah ibu kita, dia adalah puncak dari silaturahmi.

◆ Maka seseorang yang ingin membahagiakan ibunya maka akan dibukakan rizqinya selebar-lebarnya dan dipanjangkan umurnya oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Demikian.

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 1)

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 03 Rabi’ul Awwal 1439 H / 21 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-3 | Perbuatan Yang Diharamkan (bagian 1)
------------------------------

*PERBUATAN YANG DIHARAMKAN BAGIAN 01*

Para ikhwan & akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla,

Hadits ini mencangkup beberapa perkara yang diharamkan dalam syari'at.

· PERTAMA: Durhaka kepada para ibu

Dikhususkan penyebutan "ibu" disini karena:

⑴ Keagungan ibu.

Kita tahu bahwa durhaka kepada ayah pun dosa besar. Ayah memiliki banyak jasa terhadap anak, dialah yang telah bersusah payah (membanting tulang) dan mencari rizqi, bahkan harus bergadang, dibawah terik matahari, mengeluarkan keringat, terkadang harus menahan malu demi untuk bisa mencari rizqi dan menafkahi istrinya & juga anaknya.

Durhaka kepada ayah adalah dosa besar tetapi durhaka kepada ibu lebih besar lagi dosanya.

Dalam satu hadits Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ

Ada seorang laki-laki bertanya: "Wahai Rasūlullāh, siapakah orang yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik?"

Rasūlullāh shallallāhu mengatakan : "Ibumu."

Kemudian dia bertanya lagi: "Kemudian siapa?"

Rasulullāh mengatakan: "Ibumu."

Kemudian dia bertanya lagi (untuk yang ke-3 kali): "Kemudian siapa?"

Rasulullah mengatakan : "Ibumu."

Kemudian bertanya lagi: "Siapa setelah itu?"

Rasulullah mengatakan: "Ayahmu."

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan ibu sampai tiga kali & ayah yang keempat menunjukkan bahwasanya bakti kepada ibu harus lebih daripada kepada ayah.

Dikhususkan juga penyebutan para ibu, karena :

⑵ Ayah biasanya memiliki kekuatan dan haibah (kedudukan sehingga anak takut kepada ayah).

Berbeda dengan ibu.

Ibu wanita lemah yang terkadang lemah lembut, penuh dengan perasaan sehingga anak-anak biasanya lebih berani membentak ibunya, lebih berani untuk membangkang terhadap ibunya.

Oleh karenanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengkhususkan penyebutan para ibu karena melihat kondisi lemahnya para ibu.

Para ikhwan & akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta'āla,

Jika kita perhatikan ibu, maka luar biasa jasa yang telah diberikan ibu kita kepada kita dan kita tidak mungkin kita untuk membalasnya jasa ibu.

Betapapun kita berbuat baik, memberikan harta dan waktu sebanyak apapun yang kita berikan kepada ibu maka tetap saja kita tidak bisa membalas jasa ibu.

Oleh karenanya, seorang yang cerdas hendaknya dia mencari pahala yang sebesar-besarnya yaitu dengan membuat senang hati ibunya.

Ingatlah ibunya telah merasakan penuh kesulitan, sebagaimana firman Allāh Subhānahu Wa Ta'āla:

أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ

"Ibunya telah mengandungnya dalam kondisi lemah yang bertambah-tambah."
(Luqmān 14)

Setiap saat semakin bertambah rasa sakit yang dirasakannya.

Saat mengandung, ibu tidak sembarang makanan bisa masuk ke dalam mulutnya karena senantiasa muntah, terkadang ibu harus makan yang dia tidak sukai demi kesehatan & kebaikan sang janin.

Maka ibu bersusah payah demi kebaikan kita saat kita masih dalam perut.

Kemudian semakin besar perutnya semakin sulit yang ibu rasakan sampai akhirnya diujung tatkala ibu bertarung dengan kematian tatkala melahirkan kita.

Sungguh para ibu tatkala akan melahirkan anak-anak nya, maka mereka sedang berada di depan pintu kematian.

Betapa banyak para ibu yang meninggal dunia tatkala melahirkan anaknya.

Namun yang mereka rindukan adalah agar anak-anak mereka bisa lahir dengan penuh selamat. Dan setelah anak-anak lahirpun sang ibu bersusah payah merawat anak.

Para ikhwan & akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu Wa Ta'āla,

Banyak diantara kita yang telah menikah & memiliki anak-anak, kita bisa tahu bagaimana repotnya istri kita tatkala mengandung & mengurus anak-anak kita.

Itulah seperti ibu kita yang dahulu mengurus kita.

Bayangkan, betapa sulit yang dirasakan oleh istri-istri kita tatkala merawat anak-anak kita.

Seorang ibu luar biasa, misal memiliki lebih dari 5 orang anak atau lebih namun ibu mampu mengayomi seluruh anak-anaknya.

Namun yang menyedihkan terkadang, anak-anak yang misal jumlahnya 10 tapi tidak bisa mengayomi ibu mereka yang cuma satu.

Ini menunjukkan bahwasanya kasih sayang seorang ibu kepada anak-anak benar-benar merupakan kasih sayang yang luar biasa.

Oleh karena itu, durhaka kepada ibu merupakan dosa besar.

Seorang yang CERDAS adalah orang yang ingin mencari pahala sebanyak-banyaknya.
Diantara pintu surga yang paling besar adalah dengan berbakti kepada ibu.

Seorang salaf bernama Muhammad Ibnul Al Munkadir mengatakan :

"Saya bermalam sambil memijit kaki ibu saya sementara saudara kandung saya bermalam sambil shalat malam (semalam suntuk). Saya tidak mau pahala saya ditukar dengan pahala saudaraku."

Lihatlah, bagaimana seorang salaf ini mengerti betul bahwasanya menyenangkan hati seorang ibu pahalanya besar sehingga dia mengatakan :

"Saudara saya shalat malam tetapi perbuatan saya memijat kaki ibu saya lebih saya sukai daripada pahala shalat malam."

Maka berusahalah kita memberi senyuman kepada ibu kita sebagaimana ibu kita tersenyum, bahagia dan bangga tatkala melihat kita dan disebut nama kita.

Sebagaimana perkataan seorang penyair:

رِضَاؤُكِ سِرَّ تَوْفِيْقِي

"Keridhaan mu, wahai Ibunda, merupakan rahasia sukses yang aku peroleh."

Oleh karena seseorang berusaha untuk membahagiakan ibunya maka Allāh akan mudahkan bagi dia segala urusan.

Lihat hadits yang pernah kita bahas yaitu bahwasanya :

"Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah silaturrahim."

Apa lagi yang kita sambung silaturrahim adalah ibu kita?

Dialah puncak dari silaturrahim.

Maka seseorang yang membahagiakan ibunya maka akan dibukakan rizkinya selebar-lebarnya dan dipanjangkan umurnya oleh Allāh Subhānahu Wa Ta'āla.

Demikianlah, kita lanjutkan perkara yang diharamkan yang ke-2 pada pertemuan berikutnya.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Senin, 20 November 2017

Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim) Hadits ke-2 | Larangan Memutus Silaturahim

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 02 Rabi’ul Awwal 1439 H / 20 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Kitābul Jāmi' | Bab Al-Birru (Kebaikan) Wa Ash-Shilah (Silaturahim)
🔊 Hadits ke-2 | Larangan Memutus Silaturahim
____________________________

LARANGAN MEMUTUS SILATURAHIM

Alhamdulillah washshalatu wasslamu 'ala Rasulillah.

وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّه صلى الله عليه و سلم : "لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ" يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Jubair bin Muth‘im Radiyallahu anhu ia berkata: Rasulullah Sallallahu Alayhi Wasallam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.”
(Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang memutuskan silaturahim yaitu tidak masuk surga.

Ini menunjukkan bahwasanya permasalahan adab atau akhlak adalah permasalahan yang penting.

Sebagaimana pada pembahasan yang lalu tentang keutamaan menyambung silaturahim yang diantaranya adalah bisa menyebabkan masuk surga sebagaimana yang Allāh sebutkan dalam surat Ar Ra'd.

Sebaliknya, Allāh juga menjelaskan bahwa memutuskan silaturahim merupakan salah satu sebab masuknya orang ke dalam neraka jahannam.

Allāh Subhanahu wa Ta'ala berfiman:

وَٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعْدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقْطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِى ٱلْأَرْضِ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمُ ٱللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوٓءُ ٱلدَّارِ

"Orang-orang yang merusak janji Allāh setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allāh perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)."
(QS: Ar-Ra'd Ayat: 25)

Ini jelas ancaman, diantara yang menyebabkan mendapat laknat dan masuk neraka jahannam adalah memutuskan tali silaturahim.

Demikan juga Allāh Subhanahu wa Ta'ala berfiman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوٓا۟ أَرْحَامَكُمْ

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?"
(QS: Muhammad Ayat: 22)

أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰٓ أَبْصَٰرَهُمْ

Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allāh dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.
(QS: Muhammad Ayat: 23)

Ini ancaman yang keras juga, bahwasannya orang yang memutuskan silaturahim akan dilaknat oleh Allāh dan dibutakan penglihatan mereka dan dibuat telinga mereka menjadi tuli sehingga tidak bermanfaat bagi mereka ayat-ayat Allāh  Subhanahu wa Ta'ala.

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh  Subhanahu wa Ta'ala,

Derajat menyambung silaturahim terhadap kerabat ada 3 tingkatan:

Tingkatan yang pertama adalah tingkatan yang paling afdhol, yang paling mulia, yaitu menyambung tali silaturahim terhadap kerabat yang memutuskan silaturahim.

Dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا

"Bukanlah penyambung silaturahmi adalah yang hanya menyambung kalau dibaikin, akan tetapi penyambung silaturahmi adalah yang tetap menyambung meskipun silaturahminya diputuskan (oleh kerabatnya)."
(HR Al-Bukhari)

Artinya, penyambung silaturahim yang sesungguhnya yaitu jika diputuskan silatrurami dia tetap menyambungnya.

Dalam Sahih Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiallahu 'anhu,  ada seorang lelaki berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku menyambung silaturahim kepada mereka namun mereka mumutuskan silaturahim kepadaku. Aku berbuat baik kepada mereka namun mereka berbuat buruk kepadaku. Aku bersabar dengan mereka sementara mereka berbuat kejahilan kepadaku yaitu dengan mengucapkan kata-kata yang bururk."

Maka kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Kalau engkau benar sebagaimana yang engkau katakan maka seakan-akan engkau memasukkan debu yang panas dimulut-mulut mereka dan senantiasa ada penolong dari Alllah bersamamu atas mereka selama engkau dalam kondisi demikian."

Yaitu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan kalau dalam kondisi demikian, maka sesungguhnya engkau menghinakan mereka, seakan-akan engkau masukkan debu yang  panas ke mulut mereka, karena mereka berusaha berbuat buruk dan engkau terus membalas dengan kebaikkan.

Ini adalah tingkat silaturahim yang tertinggi, karena menyambung silaturahim bukan untuk mendapatkan balasan kebaikkan dari kerabat tetapi karena Allāh Subhanhu wa Ta'ala dan berharap surga.

Tingkatan kedua adalah menyambung silaturahim jika kerabat berbuat baik sedangkan jika kerabat tidak berbuat baik maka dibalas dengan tidak baik juga.

Adapun tingkatan yang ketiga adalah tingkatan yang buruk dan haram yang menyebabkan masuk neraka yaitu memutus silaturahim, tidak menyambung silaturahim, cuek kepada kerabat, tidak menghubungi mereka, tidak berbuat baik kepada mereka bahkan berbuat kasar.

Maka ia telah melakukan perbuatan yang terancam dengan neraka jahannam.

Semoga Allāh menjadikan kita termasuk orang-orang yang menyambung silaturahim dan menjadikan kita orang yang bersabar seandainya ada kerabat yang berbuat buruk kepada kita.

Semoga Allāh Subhanahu wa Ta'ala memasukkan kita semua kedalam surga.

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
------------------------------------------

Sabtu, 18 November 2017

Bab 05 |Beberapa Peristiwa Di Masa Kecil Nabi (Bag. 6 dari 7)

🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 29 Shafar 1439 H / 18 November 2017 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 05 |Beberapa Peristiwa Di Masa Kecil Nabi (Bag. 6 dari 7)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-0506
~~~~~~~~~~~~~~~

*BEBERAPA PERISTIWA DI MASA KECIL NABI, BAGIAN 06 DARI 07*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita lanjutkan, In syā Allāh "Kisah pertemuan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan pendeta Buhairā".

Ini kisah yang sangat penting karena sering dijadikan dalīl oleh orang-orang Nashara untuk menjatuhkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Sebagaimana kita jelaskan bahwa Abū Thālib (paman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam), sangat cinta kepada Beliau, seakan-akan Beliau adalah anaknya sendiri.

Kemana dia pergi pasti Beliau diajak, bahkan dalam perjalanan yang sangat jauh, padahal Beliau masih berumur belasan tahun.

Pada suatu hari, Beliau diajak ke negeri Syām untuk berdagang.

Tatkala sampai ke negeri Syām, dan kita tahu bahwa saat itu negeri Syām dikuasai oleh orang-orang Romawi dan orang-orang Romawi adalah orang-orang Nashara, ada para pendeta di sana.

Disanalah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bertemu dengan seorang pendeta bernama Buhairā.

Berdasarkan hadīts yang diriwayatkan oleh dari Imām At Tirmidzi nomor 3553, versi Maktabatu Al Ma'arif nomor 3620 dalam Sunnannya.

Dari Abū Mūsa Al 'Asy'ariy radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, dia berkata:

خَرَجَ أَبُو طَالِبٍ إِلَى الشَّامِ وَخَرَجَ مَعَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي أَشْيَاخٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَلَمَّا أَشْرَفُوا عَلَى الرَّاهِبِ هَبَطُوا فَحَلُّوا رِحَالَهُمْ فَخَرَجَ إِلَيْهِمُ الرَّاهِبُ وَكَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ يَمُرُّونَ بِهِ فَلاَ يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يَلْتَفِتُ .

_Abū Thālib pergi ke negeri Syām dan Nabi pergi bersama Abū Thālib dan orang-orang yang sudah tua dari orang-orang Quraisy untuk berdagang._

_Tatkala mereka sampai di tempat dekat rahib (di Buhairā), maka merekapun berhenti, unta-unta mereka diikatkan dan mereka beristirahat disitu._

_Kemudian sang pendeta keluar menemui mereka, padahal mereka sering lewat ditempat tersebut namun pendeta tidak pernah keluar menemui mereka._

Kenapa rahib datang menemui mereka?

⇒Karena ada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

قَالَ فَهُمْ يَحُلُّونَ رِحَالَهُمْ فَجَعَلَ يَتَخَلَّلُهُمُ الرَّاهِبُ حَتَّى جَاءَ فَأَخَذَ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم

_Mereka sedang memberes-bereskan unta mereka, maka rahibpun masuk disela-sela mereka sehingga sang rahib bertemu dengan Nabi dan memegang tangan Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) dan berkata:_

قَالَ هَذَا سَيِّدُ الْعَالَمِينَ هَذَا رَسُولُ رَبِّ الْعَالَمِينَ يَبْعَثُهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

_"Inilah pemimpin seluruh alam semesta, ini adalah Rasūl Allāh pemimpin seluruh alam semesta. Allāh mengutus dia sebagai rahmat bagi semesta alam."_

فَقَالَ لَهُ أَشْيَاخٌ مِنْ قُرَيْشٍ مَا عِلْمُكَ

_Maka orang-orang Quraisy bertanya kepada sang rahib:_

_"Bagaimana engkau tahu hal demikian (kenapa engkau katakan anak kecil ini akan menjadi pemimpin alam semesta) ?"_

فَقَالَ إِنَّكُمْ حِينَ أَشْرَفْتُمْ مِنَ الْعَقَبَةِ لَمْ يَبْقَ شَجَرٌ وَلاَ حَجَرٌ إِلاَّ خَرَّ سَاجِدًا وَلاَ يَسْجُدَانِ إِلاَّ لِنَبِيٍّ وَإِنِّي أَعْرِفُهُ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ أَسْفَلَ مِنْ غُضْرُوفِ كَتِفِهِ مِثْلَ التُّفَّاحَةِ . ثُمَّ رَجَعَ فَصَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا

_Maka sang rahib berkata:_

_"Tatkala kalian keluar menuju tempatku,  maka tidak ada satu pohon dan batupun kecuali sujud kepada dia. Dan tidaklah pohon dan batu sujud kecuali kepada seorang Nabi dan saya tahu bahwa dia seorang Nabi karena ada tanda kenabian di bawah pundaknya ada semacam tahi lalat besar dan ada rambutnya."_

_Kemudian sang rahibpun pulang dan menjamu mereka dengan makanan._

فَلَمَّا أَتَاهُمْ بِهِ وَكَانَ هُوَ فِي رِعْيَةِ الإِبِلِ قَالَ أَرْسِلُوا إِلَيْهِ فَأَقْبَلَ وَعَلَيْهِ غَمَامَةٌ تُظِلُّهُ فَلَمَّا دَنَا مِنَ الْقَوْمِ وَجَدَهُمْ قَدْ سَبَقُوهُ إِلَى فَىْءِ الشَّجَرَةِ فَلَمَّا جَلَسَ مَالَ فَىْءُ الشَّجَرَةِ عَلَيْهِ فَقَالَ انْظُرُوا إِلَى فَىْءِ الشَّجَرَةِ مَالَ عَلَيْهِ

_Tatkala Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam diantar kembali menuju pamannya (Abū Thālib) ada sebuah bayangan di bawah sebuah pohon, maka mereka ingin meletakkan Nabi di bawah bayangan tersebut tapi ternyata orang-orang Quraisy sudah mendahului duduk di bawah bayangan pohon tersebut._

_Nabipun duduk disisi yang lain, tiba-tiba bayangan pohon berpindah kepada Nabi._

Lihatlah kepada bayangan pohon berpindah, berpindah dari orang-orang Quraisy kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

قَالَ فَبَيْنَمَا هُوَ قَائِمٌ عَلَيْهِمْ وَهُوَ يُنَاشِدُهُمْ أَنْ لاَ يَذْهَبُوا بِهِ إِلَى الرُّومِ فَإِنَّ الرُّومَ إِذَا رَأَوْهُ عَرَفُوهُ بِالصِّفَةِ فَيَقْتُلُونَهُ فَالْتَفَتَ فَإِذَا بِسَبْعَةٍ قَدْ أَقْبَلُوا مِنَ الرُّومِ فَاسْتَقْبَلَهُمْ فَقَالَ مَا جَاءَ بِكُمْ قَالُوا جِئْنَا أَنَّ هَذَا النَّبِيَّ خَارِجٌ فِي هَذَا الشَّهْرِ فَلَمْ يَبْقَ طَرِيقٌ إِلاَّ بُعِثَ إِلَيْهِ بِأُنَاسٍ وَإِنَّا قَدْ أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بُعِثْنَا إِلَى طَرِيقِكَ هَذَا فَقَالَ هَلْ خَلْفَكُمْ أَحَدٌ هُوَ خَيْرٌ مِنْكُمْ قَالُوا إِنَّمَا أُخْبِرْنَا خَبَرَهُ بِطَرِيقِكَ هَذَا

_Maka pendeta rahib Buhairā berkata:_

_"Jangan engkau bawa Muhammad ke negeri Romawi, hati-hatilah karena kalau mereka tahu mereka akan membunuhnya (karena mereka mengetahui akan keluarnya Nabi baru, yang salah satu cirinya adalah sunnat)."_

_Setelah itu tiba-tiba datang 7 pasukan Romawi maka ditemui oleh sang pendeta dan bertanya:_

_"Apa yang membuat kalian ke sini?"_

_Mereka menjawab:_

_"Kami dengar bahwasanya Nabi tersebut telah muncul pada bulan ini dan dia akan melewati jalan ini maka kami mencari Nabi tersebut, setiap sudut jalan kami utus orang untuk mencari Nabi tersebut. Dan kami telah dikabarkan beritanya, karenanya kami diutus dan berangkat menuju jalan yang akan kalian lewati ini."_

قَالَ أَفَرَأَيْتُمْ أَمْرًا أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَقْضِيَهُ هَلْ يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ رَدَّهُ قَالُوا لاَ . قَالَ فَبَايَعُوهُ

_Kata pendeta kepada pasukan:_

_"Wahai pasukan, Kalau Allāh menghendaki sesuatu, adakah orang yang dapat menolaknya, maka berbaiatlah kepada Nabi tersebut kalau sudah muncul."_

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت، أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
-------------------------------------

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits