Kamis, 29 November 2018

13 Hal yang Menunjukkan Riba itu ngeRIBAnget

*13 Hal yang Menunjukkan Riba itu ngeRIBAnget*.
• Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
• 13 Feb 2017

Ini beberapa hal yang menunjukkan ngerinya riba, Riba itu ngeRIBAnget.

1- *Keadaan pemakan riba di neraka* Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menuturkan ‘kunjungannya’ ke neraka,
فَأَتَيْنَا عَلَى نَهَرٍ – حَسِبْتُ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ – أَحْمَرَ مِثْلِ الدَّمِ ، وَإِذَا فِى النَّهَرِ رَجُلٌ سَابِحٌ يَسْبَحُ ، وَإِذَا عَلَى شَطِّ النَّهَرِ رَجُلٌ قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ حِجَارَةً كَثِيرَةً ، وَإِذَا ذَلِكَ السَّابِحُ يَسْبَحُ مَا يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَأْتِى ذَلِكَ الَّذِى قَدْ جَمَعَ عِنْدَهُ الْحِجَارَةَ فَيَفْغَرُ لَهُ فَاهُ فَيُلْقِمُهُ حَجَرًا فَيَنْطَلِقُ يَسْبَحُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَيْهِ ، كُلَّمَا رَجَعَ إِلَيْهِ فَغَرَ لَهُ فَاهُ فَأَلْقَمَهُ حَجَرًا – قَالَ – قُلْتُ لَهُمَا مَا هَذَانِ قَالَ قَالاَ لِى انْطَلِقِ انْطَلِقْ
“Kami mendatangi sungai yang airnya merah seperti darah. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang yang berenang di dalamnya, dan di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu banyak sekali. Lalu orang yang berenang itu mendatangi orang yang telah mengumpulkan batu, sembari membuka mulutnya dan orang yang mengumpulkan batu tadi akhirnya menyuapi batu ke dalam mulutnya. Orang yang berenang tersebut akhirnya pergi menjauh sambil berenang. Kemudian ia kembali lagi pada orang yang mengumpulkan batu. Setiap ia kembali, ia membuka mulutnya lantas disuapi batu ke dalam mulutnya. Aku berkata kepada keduanya, “Apa yang sedang mereka lakukan berdua?” Mereka berdua berkata kepadaku, “Berangkatlah, berangkatlah.” Maka kami pun berangkat.”
Dalam lanjutan hadits disebutkan,
وَأَمَّا الرَّجُلُ الَّذِى أَتَيْتَ عَلَيْهِ يَسْبَحُ فِى النَّهَرِ وَيُلْقَمُ الْحَجَرَ ، فَإِنَّهُ آكِلُ الرِّبَا
“Adapun orang yang datang dan berenang di sungai lalu disuapi batu, itulah pemakan riba.” (HR. Bukhari, no. 7047).
 2- *Di hari kiamat diancam dengan perut yang besar seperti rumah dan dipenuhi dengan ular-ular* Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَيْتُ لَيْلَةَ أُسْرِىَ بِى عَلَى قَوْمٍ بُطُونُهُمْ كَالْبُيُوتِ فِيهَا الْحَيَّاتُ تُرَى مِنْ خَارِجِ بُطُونِهِمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرَائِيلُ قَالَ هَؤُلاَءِ أَكَلَةُ الرِّبَا
"Pada malam Isra’, aku mendatangi suatu kaum yang perutnya sebesar rumah dan dipenuhi dengan ular-ular. Ular tersebut terlihat dari luar. Akupun bertanya, “Siapakah mereka wahai Jibril?” “Mereka adalah para pemakan riba,” jawab beliau.” (HR. Ibnu Majah, no. 2273; Ahmad, 2: 353, 363. Sanad hadits ini dha’if sebagaimana kata Al-Hafizh Abu Thahir. Dalam sanadnya terdapat Abu Ash-Shalet yang majhul).
 3- *Dosa riba yang paling ringan seperti menzinai ibu kandung sendiri*
 Dari ‘Abdullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا
“Riba itu ada 73 pintu.” (HR. Ibnu Majah, no. 2275. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah, no. 2274. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
*“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.”* (HR. Al-Hakim, 2: 37. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sesuai syarat syaikhain –Bukhari dan Muslim-. Hal ini disepakati oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, demikian disebutkan dalam tahqiq Sunan Ibnu Majah oleh Al-Hafizh Abu Thahir).
 4- *Riba itu ayat-ayat terakhir yang turun*
 Dari ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
إِنَّ آخِرَ مَا نَزَلَتْ آيَةُ الرِّبَا وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُبِضَ وَلَمْ يُفَسِّرْهَا لَنَا فَدَعُوا الرِّبَا وَالرِّيبَةَ
"Ayat yang terakhir turun adalah ayat riba. Dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diwafatkan dan belum ditafsirkan pada kita. Mereka menyebutnya riba dan ribah.” (HR. Ibnu Majah, no. 2276; Ahmad, 1: 36. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if karena sebab ada ‘illah -cacat- di dalamnya).
 5- *Yang tidak makan riba bisa tetap rasakan debunya* Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
“Akan datang pada manusia suatu zaman tidak akan tersisa kecuali pemakan riba. Siapa yang tidak makan riba ketika itu, ia bisa memakan debunya.” (HR. Ibnu Majah, no. 2278; Abu Daud, no. 3331. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if sebabnya karena ada ‘illah dan Al-Hasan tidak mendengar dari Abu Hurairah).
 6- *Makan riba lebih parah dari 33 kali zina*
Jeleknya riba disebutkan oleh seorang tabi’in yang bernama Ka’ab Al-Ahbar, seorang mantan pendeta Yahudi yang paham akan kitab-kitab Yahudi, bahkan bisa mengetahui secara umum manakah yang shahih dan batil dari kitab tersebut (Lihat Siyar A’lam An-Nubala’, 3: 489-894). Ka’ab rahimahullah menyatakan,
لأَنْ أَزْنِىَ ثَلاَثاً وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْ أَنْ آكُلَ دِرْهَمَ رِباً يَعْلَمُ اللَّهُ أَنِّى أَكَلْتُهُ حِينَ أَكَلْتُهُ رِباً
“Aku berzina sebanyak 33 kali lebih aku suka daripada memakan satu dirham riba yang Allah tahu aku memakannya ketika aku memakan riba.” (HR. Ahmad, 5: 225. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
 7- *Jika sudah merajalela riba, layak dapat azab*
 Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا ظَهَرَ الزِّناَ وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
“Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Imam Adz-Dzahabi mengatakan, hadits ini shahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan lighoirihi sebagaimana disebut dalam Shahih At-Targhib wa Tarhib, no. 1859).
 8- *Riba akan hilang berkah walau riba terus bertambah banyak*
 Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَحَدٌ أَكْثَرَ مِنَ الرِّبَا إِلاَّ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهِ إِلَى قِلَّةٍ
“Riba membuat sesuatu jadi bertambah banyak. Namun ujungnya riba makin membuat sedikit (sedikit jumlah, maupun sedikit berkah, -pen.).” (HR. Ibnu Majah, no. 2279; Al-Hakim, 2: 37. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Dikuatkan dengan ayat berikut,
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُون
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
Pelaku riba tidak mendapatkan pahala saat hartanya diinfakkan di jalan Allah.
 9- *Riba adalah kebiasaan buruk orang Yahudi*
 Riba adalah kebiasaan buruk orang-orang yahudi sebagaimana dimaksudkan dalam ayat berikut, “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS. An-Nisaa’: 160-161)
Jika kaum muslimin bermuamalah ribawi, jika kaum muslimin melakukan praktek ribawi berarti telah mengikuti, meniru perilaku orang-orang yahudi sehingga nasibnyapun sama seperti mereka, yaitu akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat, siksa yang sangat menyengsarakan.
10- *Allah tidak akan menerima sedekah, infak dan zakat yang dikeluarkan dari harta riba" Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik). Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik).” (HR. Muslim, no. 1015).
Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah.
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ أَوْ قَلُوْصَهُ حَتَّى تَكُوْنَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu.” (HR. Muslim, no. 1014).
 11- *Doa pemakan riba sulit terkabul*
 Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan, “Ada seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a,
يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan do’anya?” (HR. Muslim, no. 1014).
 12- *Memakan riba membuat hati keras*
 Allah Ta’ala berfirman,
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthoffifin: 14)
Makna ayat di atas diterangkan dalam hadits berikut.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ) »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” (HR. Tirmidzi, no. 3334; Ibnu Majah, no. 4244. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Mujahid rahimahullah mengatakan, “Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.” (Fath Al-Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7/442).
 13- *Badan yang tumbuh dari harta yang haram akan berhak disentuh api neraka*
Yang pernah dinasihati oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Ka’ab,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no. 614. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Disusun @ Wonosari, bada Isya malam Selasa, 17 Jumadal Ula 1438 H.

Rabu, 28 November 2018

SHALĀT JAMA' BAGI MUSAFIR (BAGIAN 1)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 20 Rabi'ul Awwal 1440 H /  28 November 2018 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 56 | Shalāt Jama' Bagi Musafir
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H056
〰〰〰〰〰〰〰
SHALĀT JAMA' BAGI MUSAFIR (BAGIAN 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Para sahabat bimbingan Islam yang dirahmati Allah.
Kita memasuki halaqah berikutnya, tentang shalat jama' bagi musafir.
Sebelum memasuki kitab, ada beberapa hal yang perlu diketahui:
(1) Jama' adalah rukhsah atau keringanan yang ada dalam syariat Islam, manakala adanya udzur atau kesusahan.
(2) Jama' bisa dilakukan antara shalat dhuhur dan ashar, kemudian antara shalat maghrib dan isya.
Dan tidak boleh menjama' sholat subuh, ataupun antara shalat ashar dan maghrib atau seluruh shalat dalam sekali waktu.
(3) Tidak ada kaitannya antara jama' dan qashar, namun keduanya adalah keringanan bagi seorang musafir.
Adapun qashar terkait dengan safar, sedangkan jama' terkait dengan masyaqqah atau kesulitan atau udzur.
Jadi mungkin saja seorang yang tidak safar, apabila ada udzur untuk menjama' sho
Alat, namun tidak di qashar.
(4) Jama' ada dua macam:
- Jama' taqdim, yaitu menggabungkan shalat diawal waktu, dan
- Jama' ta’khir, yaitu menggabungkan dua shalat diakhir waktu.
(5) Hukum jama' adalah boleh, dan melaksanakan rukhsah adalah mustahab atau sunnah.
(6) Tidak boleh seseorang menjama' tanpa alasan yang dibenarkan syariat atau tanpa udzur. Hal itu termasuk dosa besar.
قال المؤلف رحمه الله
((ويجوز للمسافر أن يجمع بين الظهر والعصر في وقت أيهما شاء))
Dan diperbolehkan bagi seorang musafir untuk menjama' (menggabungkan dalam satu waktu) antara dhuhur dan ashar di waktu mana saja yang diinginkan.
((وبين المغرب والعشاء في وقت أيهما شاء))،
Dan antara shalat maghrib dan Isya diwaktu mana saja yang diinginkan

Yaitu baik jama' taqdim (diwaktu awal) atau jama' ta’khir (diwaktu yang kedua).
Dan tidak boleh menjama' dengan subuh atau menjama' shalat ashar dengan maghrib.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muadz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
 خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ غَزْوَةِ تَبُوكَ ، فَكَانَ يَجْمَعُ الصَّلَاةَ ، فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا ، رواه مسلم
_Pada tahun terjadinya perang Tabuk, kami keluar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam._
_Pada saat itu beliau menjama' shalat._
_Beliau menjama' dhuhur dan ashar sekaligus, dan antara maghrib dan isya sekaligus._
(HR. Muslim)
Beberapa permasalahan dalam jama'.
*_Masalah yang pertama: Urutan pelaksanaan shalat._*
Apakah disyaratkan tertib (sesuai urutan)?
Dijelaskan dalam Kifayatul Akhyar, disyaratkan tertib dalam jama' taqdim, namun dalam jama' ta’khir tidak disyaratkan.
Yang rajih adalah: disyaratkan secara mutlak.
وقال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
" يشترط الترتيب بأن يبدأ بالأولى ثم بالثانية ؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال : ( صلوا كما رأيتموني أصلي ) ، ولأن الشرع جاء بترتيب الأوقات في الصلوات
Berkata Syaikh Utsaimin:
Dipersyaratkan untuk tertib (dilakukan secara berurutan, yaitu dengan mengerjakan yang pertama kemudian yang kedua), karena Nabi shallallhu 'alaihu wassalam bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Dan syariat telah menjelaskan urutan waktu dalam shalat.
Dalam shalat jama', tidak boleh mendahulukan shalat yang kedua dari shalat yang pertama.
Misal, mendahulukan shalat ashar kemudian shalat dhuhur, atau shalat isya sebelum shalat maghrib, maka ini tidak sah, karena tidak sesuai dengan urutannya.
Apabila seorang yang berniat jama' antara dhuhur dan Ashar, kemudian mendapati Imam shalat Ashar.
Maka Makmum mengikuti imam dan meniatkan sholat dhuhur
Apabila Seorang yang berniat jama' antara maghrib dan Isya, kemudian mendapati Imam shalat isya, maka hendaknya dia shalat bersama imam dengan berniat shalat maghrib.
Apabila imam sudah shalat satu rakaat, maka dia mengikuti tiga rakaat berikutnya, dan hal ini sudah mencukupi shalat maghrib.
Apabila makmum mengikuti sejak awal rakaat, maka pada saat imam berdiri unutk shalat rakaat yang ke empat, maka makmum menunggu sampai imam tasyahud kemudian salam bersama imam.
Perbedaan niat imam dan makmum, tidak mengapa.
Keteranagn di atas disarikan dari jawaban Syaikh bin Baz tentang masalah ini.
*_Permasalahan kedua: syarat niat dalam jama'_*
Dalam madzhab Syafi'i, disyaratkan untuk berniat sebelum shalat yang pertama ataupun dalam shalat yang pertama.
Yang rajih adalah boleh dijama' walaupun tidak berniat sebelumnya, selama sebabnya masih ada.
Ini adalah madzhab Hanafiyyah, dan perkataan sebagian ulama dari kalangan Malikyyah, dan sekelompok ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah, Syaikh bin Baz dan Syaikh Utsaimin.
*_Permasalahan ketiga: syarat muwalah atau dilakukan secara berkesinambungan._
Ini adalah syarat sebagaimana yang dikemukakan dalam madzhab Syafi'i’, Maliki dan Hambali.
Apabila terpisah dalam waktu yang sedikit maka tidak mengapa.
Apabila pemisahnya waktu yang panjang, maka tidak dilakukan shalat jama', melainkan shalat sendir-sendiri.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثير
____________________________
🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :
▪ *Bank Syariah Mandiri (BSM)*
| Kode        : 451
| No. Rek   : 710-3000-507
| A.N           : YPWA Bimbingan Islam
| Kode akhir nominal transfer : 700
| Konfirmasi : 0878-8145-8000
📝 *Format Donasi : Donasi Dakwah BIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
___________________

SHALĀT QASHAR BAGI MUSAFIR

19 Rabi’ul Awwal 1440 H / 27 November 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 55 | Shalāt Qashar Bagi Musafir
⬇ Download Audio: http://bit.ly/BiAS-FZ-H055
〰〰〰〰〰〰〰
SHALĀT QASHAR BAGI MUSAFIR
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد

Sahabat bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita memasuki pembahasan tentang sholat seorang Musafir.
قال المصنف رحمه الله:
Penulis - rahimahullah - berkata:
(( و يجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية بخمس شرائط))
"Bagi seorang musafir (yaitu orang yang bepergian) diperbolehkan untuk mengqashar sholat yang empat rakaat (yaitu menjadikan sholat yang empat rokaat menjadi 2 rokaat) dengan ketentuan memenuhi 5 syarat:"
*Hukum Qashar*
Hukumnya adalah sunnah menurut mayoritas para ulama termasuk ulama syafi’iyyah.
Ini adalah rukhsoh atau keringanan dalam syariat yang Allāh berikan bagi orang – orang yang melakukan safar/perjalanan jauh.
Safar secara umum menimbulkan matsaqqah kondisi yang berat, apakah capai atau kelelahan ataupun kesulitan, oleh karena itu dalam kaedah fikih disebutkan
المشقة تجلب التيسير
Kesulitan menghasilkan kemudahan
Maksudnya syariat memberikan keringanan dan kemudahan dalam perkara-perkara yang menimbulkan masyaqqoh atau kesulitan.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
"Dan Allāh tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama ini."
(QS Al Hajj: 78)
Dalil tentang bolehnya qashar dalam safar diantaranya firman Allah ta’ala:
{ وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ }
Apabila kalian bepergian dimuka bumi, maka tidak mengapa bagi kalian untuk mengqashar sholat.
(QS Annisā': 101)
Adapun sholat maghrib maka tidak diqashar dan tetap dilakukan 3 rakaat, berdasarkan hadits ibnu 'Umar, begitu pula sholat subuh, dan ini adalah ijmak.
Bolehnya Qashar dalam safar apabila memenuhi 5 syarat yang disebutkan dalam matan abi syuja’
*Syarat Yang Pertama*
((أن يكون سفره في غير معصية،))
1. Safar yang dilakukan bukan safar maksiat.
Karena rukhsoh atau keringanan tidaklah diberikan pada pelaku maksiat.
Oleh karena itu, bolehnya qashar meliputi safar yang wajib, seperti safar untuk menunaikan haji Islam, atau melunasi huang.
Begitu pula safar yang sunnah, seperti haji sunnah, umroh, silaturahmi dan lain-lain.
Juga termasuk safar yang mubah seperti safar untuk perdagangan yang mubah.
Adapun safar untuk tujuan maksiat atau mendatangi tempat maksiat atau dengan tujuan yang haram dan semisalnya, atau disebutkan dalam madzhab Syafi'i, safar yang tidak ada tujuannya, maka tidak diberi rukhsoh (keringanan) untuk menqashar sholat.
Bagaimana dengan orang yang menyengaja safar demi mendapatkan rukhsoh atau keringanan, seperti bolehnya berbuka puasa dan perkara-perkara yang rukhsoh lainnya dalam safar ?
Hukumnya orang tersebut tidak mendapatkan rukhsoh, hal,ini ditegaskan oleh fuqoha  Syafi’iyyah, Hanabilah, dan merupakan pendapat imam ibnul Qayyim dan syaikh Utsaimin.
*Syarat Yang Kedua*
((وأن تكون مسافته ستة عشر فرسخا بلا إياب ))
2. Jarak tempuh perjalanan mencapai minimal 16 farsakh, tanpa dihitung jarak perjalanan pulang.
Dari ibnu abbas beliau berkata:
((يا أهلَ مَكَّةَ، لا تَقْصُروا في أقلَّ مِن أربعةِ بُرُد  ، وذلِك مِن مَكَّةَ إلى الطَّائفِ وعُسْفَانَ))
Wahai para penduduk Mekkah, janganlah kalian menqashar sholat apabila kurang dari 4 burud, dan itu jarak dari mekkah ke Thaif dan 'Usfan.
Dikeluarkan imam Syafi'i dalam al Umm nya dan mensahihkan dari ibnu Abbas, ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa dan ibnu Hajar dalam Talhis alHabir.
4 Burud = 16 farsakh = 48 mil = 88 km
Mengenai jarak tempuh yang diperbolehkan qashar, ada 2 pendapat yang paling terkemuka.
_Pendapat pertama:_
Jaraknya tertentu yaitu 88 km atau 16 farsakh, ini adalah pendapat Syafi'iyyah serta jumhur mayoritas ulama.
_Pendapat kedua:_
Yang menjadi patokan adalah kembali kepada urf atau kebiasaan masyarakat, bukan kepada jarak. Apabila dalam urf sudah dikatakan termasuk safar, apakah jaraknya lebih pendek atau lebih panjang dari 88 Km, maka termasuk safar. Apabila menurut urt tidak dikatakan safar maka tidak termasuk safar.
Ini adalah pendapat madzhab dzhohiriyah, sebagian Hanabilah, imam ibnu Qudamah, ibnu Taymiyyah, ibnul Qoyyim, asy Syaukani, asy Syinqithy, ibn 'Utsaimin dan al Albani, dengan dalil-dalil yang mereka kemukakan.
Pada intinya adalah tidak ada dalil tentang penentuan jarak dan semua dalil tentang safar mutlak, tidak menyebutkan jaraknya.

*Syarat Yang Ketiga*
((وأن يكون مؤديا للصلاة الرباعية.))
3. Telah menunaikan sholat yang empat rakaat.
Maksudnya adalah seseorang yang tertinggal sholat yang 4 rakaat dalam kondisi mukim, apabila safar, maka kewajiban orang tersebut tetaplah 4 rakaat dan tidak menjadi 2 rakaat walaupun dia safar. Karena beban 4 rakaat adalah beban pada saat dia mukim.
Dan apabila seseorang tertinggal sholat yang 4 rakaat dalam safarnya, apabila dilakukan dalam keadaan safar maka menjadi 2 rakaat, namun apabila dilakukan setelah selesai safar dan sudah sampai atau dalam keadaan mukim, maka kembali menjadi 4 rakaat.

*Syarat Yang Keempat*
((وأن ينوي القصر مع الإحرام.))
4. Meniatkan qashar tatkala takbiratul ihram.
Karena asal dari sholat adalah menyempurnakan menjadi 4 rakaat, maka apabila tidak berniat untuk qashar, maka wajib untuk menyempurnakan menjadi 4 rakaat kembali kepada asal.

*Syarat Yang Kelima*
((وأن لا يأتم بمقيم.))
5. Tidak bermakmum dengan imam yang mukim.
Apabila seorang musafir bermakmum bermakmum dengan imam yang mukim, baik sebagian rakaat ataupun seluruhnya, maka seorang yang musafir wajib untuk menyempurnakan sholatnya sebagaimana Imam yang mukim.
Demikian yang dapat disampaikan, semoga bermanfa'at.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------
🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :
▪ *Bank Syariah Mandiri (BSM)*
| Kode        : 451
| No. Rek   : 710-3000-507
| A.N           : YPWA Bimbingan Islam
| Kode akhir nominal transfer : 700
| Konfirmasi : 0878-8145-8000
📝 *Format Donasi : Donasi Dakwah BIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
___________________

Senin, 26 November 2018

DI ANTARA FAEDAH LARANGAN SHALAT MENGHADAP KUBUR

DI ANTARA FAEDAH LARANGAN SHALAT MENGHADAP KUBUR

.
Agar kita tidak menyerupai ibadahnya orang musyrik yang biasa beribadah pada kubur dan beri’tikaf di sisi kubur.
.
[Faedah dari Minhah Al-‘Allam, 2:359]
.
*Ini jika kubur dengan masjid menjadi satu.
.
Larangannya seperti dalam hadits berikut.
.
Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.
‎أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
.
“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR. Muslim no. 532).
.
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/3558-apakah-sah-shalat-di-masjid-yang-ada-kubur.html
.
• Kajian Shubuh bahas Bulughul Maram di Darush Sholihin, 25 November 2018
.
.
✍ Muhammad Abduh Tuasikal
Pengasuh Rumaysho.Com
.
SILAKAN SHARE, yuk share!

kajian 54 Shalāt Berjama'ah

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 18 Rabi’ul Awwal 1440 H / 26 November 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 54 | Shalāt Berjama'ah
〰〰〰〰〰〰〰
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para shahābat  BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqoh yang ke-54 dan kita masuk pada fasal tentang Shalāt Berjama'ah Bagian ke-4
قال المصنف:
Berkata penulis rahimahullāh :
((وأي موضع صلى في المسجد بصلاة الإمام فيه وهو عالم بصلاته أجزئه ما لم يتقدم عليه))
"Ditempat mana saja seseorang shalāt di masjid dengan mengikuti shalāt Imām didalam masjid tersebut dan dia mengetahui shalāt Imām, maka shalātnya sah selama tidak berada didepan Imām"
Kita masuk pada pembahasan yang lain yaitu tentang posisi makmum dan Imām

Ada dua gambaran yang disebutkan oleh  penulis,

⑴ Bahwasanya Imām dan ma'mum  berada didalam masjid.
Atau kita dapat disimpulkan dengan judul masalah bagaimana "Hukum shalāt ma'mum sendirian dibelakang shaf (tidak menyambung shaf)" dalam arti masih didalam masjid akan tetapi ma'mum tersebut tidak bersama ma'mum yang lainnya di dalam shaf atau ma'mum tersebut berada berjauhan dari Imām namun masih didalam masjid.
⇛Pendapat Hanābilah dalam masalah ini hukum shalātnya tidak sah.
Beliau berdalil dengan hadīts hasan yang diriwayatkan oleh Imām Ahmad
عن علي بن شيبان – رضي الله عنه – أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلاً يصلي خلف الصف ، فلما انصرف قال له النبي صلي الله عليه وسلم : ( استقبل صلاتك,فإنه لا صلاة لمنفرد خلف الصف) ، وهو حديث حسن

"Dari Ali bin Syaiban Radhiyallāhu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam  melihat seseorang yang shalāt dibelakang shaf, tatkala orang itu sudah selesai maka Nabi pun berkata kepadanya "Ulangi shalātmu, karena tidak ada shalāt bagi seorang munfarid (shalāt sendirian) dibelakang shaf"

⇛Maksudnya tidak ada shalāt disini adalah tidak sah shalāt seseorang yang munfarid dibelakang shaf shalāt orang-orang.

⇛Disana ada pendapat Jumhur mayoritas ulamā bahwasanya shalātnya sah namun hal ini makruh.
Ini adalah pendapat Hanafiyyah Mālikiyyah dan Syāfi'iyah

Sebagaimana disebutkan penulis dalam masalah ini, maka sah shalāt seorang ma'mum dimana pun dia berada selama dia shalāt didalam masjid dengan 2 syarat.
Dua syarat itu adalah :
· Syarat Pertama | Ma'mun tersebut mengetahui shalāt Imām
Maksudnya mengetahui shalāt Imām adalah :

√ Apakah dengan melihat Imām secara langsung
√ Apakah melihat shaf ma'mum lainnya atau sebagian shaf ma'mum lainnya
√ Apakah mendengar suara, walaupun posisi orang tersebut tertutup dengan penutup atau ada pembatas baik berada diatas atau dibawah, dan walaupun tidak bersambung shafnya, selama berada didalam masjid dan mengetahui pergerakan-pergerakan (perpindahan shalāt Imām) maka sah shalātnya.
⇛Namun sebagian berpendapat bahwasanya orang ini walaupun sah shalātnya tidak mendapatkan pahala shalāt berjama'ah.

· Syarat yang kedua | Tidak berada didepan Imam.

Hukum shalāt ma'mum yang berada didepan Imām menurut mayoritas ulamā dari kalangan Hanafiyyah Syāfi'iyah dan Hanābilah adalah shalāt nya tidak sah secara mutlak, baik ada udzur atau tidak ada udzur.
قال المصنف:
Berkata penulis rahimahullāh :
((وإن صلى الإمام في المسجد والمأموم خارج المسجد قريبا منه وهو عالم بصلاته ولا حائل هناك جاز)) وحد القرب بينهما ثلاث مائة ذراع تقريبا
"Jika Imām shalāt di masjid dan dia(ma'mum) shalāt diluar masjid dan ma'mum itu dekat dengan Imām serta ma'mum tersebut mengetahui shalāt Imām dan tidak ada penghalang antara dia dengan Imām maka sah".
Kata beliau, dan batasan dekatnya adalah 300 dzira' antara keduanya (kira-kira 144 m)

Disini ada perbedaan teks matan yang disebutkan disana ada yang menyebutkan kondisi yang kedua dan ada yang menyebutkan  kondisi ketiga.
Apa itu kondisi kedua dan ketiga? Kita akan ringkaskan dalam penjelasan berikut ini.
*Kondisi yang kedua*
Yang disebutkan didalam matan yang kita sebutkan sekarang bahwasanya Imām berada didalam masjid dan ma'mum berada diluar masjid
*Kondisi yang ketiga*
Kondisi yang ketiga yang disebutkan didalam matan yang lain, Imām dan ma'mum berada diluar masjid.
⇛Untuk keadaan atau kondisi kedua, Imām berada di dalam masjid dan ma'mum diluar masjid maka apabila tidak ada penghalang dan jaraknya sekitar 300 dzira' atau 144 m, maka shalātnya sah dengan mengikuti Imām tersebut.
⇛Dengan melihat Imām secara langsung atau melihat sebagian shaf dari ma'mum, selama dia mengetahui pergerakan Imām atau perpindahan Imām secara langsung tidak ada pembatas maka shalātnya sah.
⇛Keadaan ketiga, Imam dan ma'mum berada diluar masjid.

Maka disini dipersyaratkan sama al 'ilmu (mengetahui) yaitu dengan melihat pergerakan Imām atau perpindahan gerak Imām dengan melihat Imām atau melihat sebagian shafnya tanpa penghalang dengan jarak maksimal 300 dzira' atau sekitar 144 m.

⇛Ini adalah tafria'at atau pengembangan masalah atau perluasan masalah bagi yang berpendapat bahwa shalāt ma'mum sendirian dibelakang imam adalah sah.
Bagi yang memandang itu tidak sah, maka seluruh keadaan ini adalah tidak sah.

Demikian, semoga bermanfaat

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Waakhiru dakwah ana walhamdulillah
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------
🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :
▪ *Bank Syariah Mandiri (BSM)*
| Kode        : 451
| No. Rek   : 710-3000-507
| A.N           : YPWA Bimbingan Islam
| Kode akhir nominal transfer : 700
| Konfirmasi : 0878-8145-8000
📝 *Format Donasi : Donasi Dakwah BIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
___________________

NASIHAT SINGKAT

:: NASIHAT SINGKAT BIMBINGAN ISLAM ::

🌍 BimbinganIslam.com
🌤 Jumat, 15 Rabiul Awwal 1440 H | 23 November 2018 M
👤 Ustadz Abdullah Taslim, MA.
🛋 *"Inti Dari Kesyirikan"*
📼 Nasihat Singkat | Audio 12
🔄 Unduh : bit.ly/NasihatSingkat-12
•••••❁○❁🍃🍃❁••❁🍃🍃❁○❁•••••

Rabu, 21 November 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 23

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 13 Rabi’ul Awwal 1440 H / 21 November 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 024 | Hadits 23
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H024
〰〰〰〰〰〰〰
 

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR HADĪTS 23

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-24 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-23, hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Qatādah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Beliau mengatakan:
قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِي اَلْهِرَّةِ :( إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ و الطَّوَّافَاتِ)
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda tentang kucing, "Sesungguhnya kucing itu bukanlah najis, karena sesungguhnya ia termasuk hewan yang biasa berkeliaran (berdekatan) dengan kalian"
(Hadīts riwayat Imām Mālik, Imām Ahmad dan yang lainnya)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan, bahwa hadīts ini mengandung dua kaidah yang utama, yaitu:
( أن المشقة تجلب التيسير)
⑴ Bahwasanya kesulitan itu adakalanya menjadi sebab kemudah di dalam hukum syari'at.
Dan ini merupakan salah satu kaidah yang penting di dalam syari'at Islām, dalam hal ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menghukumi hewan yang biasa berdekatan dengan manusia dan susah untuk dihindari atau dijauhkan dihukumi sebagai hewan yang suci.
Sehingga benda-benda yang tersentuh oleh mulut, bulu atau liur hewan ini tidak harus dicuci karena hewannya suci.
Contohnya;
⇒ Kucing dan hewan-hewan yang semisal yang biasa berdekatan dengan manusia dan susah untuk dihindari dari kehidupan mereka (biasa berkeliaran).
Kaidah ini merupakan kaidah yang agung di dalam syari'at dimana sesuatu yang sekiranya bisa menimbulkan kesulitan pada manusia, maka syari'at memberikan kemudahan-kemudahan di dalam hukumnya.
Contoh lain;
⇒ Bolehnya beristijmār (menghilangkan sisa kotoran setelah buang air kecil ataupun air besar) dengan menggunakan benda yang padat tidak harus dengan air.
Seperti menggunakan batu, tisue atau benda lain yang bisa menghilangkan kotoran tersebut.
Contoh lain;
⇒ Pada permasalahan dimaafkannya darah yang menempel pada daging.
Setelah hewan disembelih ada kalanya masih ada sisa-sisa bercak darah di sekitar daging yang susah untuk dihilangkan secara keseluruhan.
Maka darah seperti ini termasuk darah yang dimaafkan dan boleh daging tersebut untuk dikonsumsi (dimakan).
Meskipun hukum asalnya darah adalah najis haram untuk dimakan, akan tetapi karena itu merupakan sisa-sisa darah yang susah jika harus benar-benar hilang, maka syari'at memberikan kemudahan dengan cara memaafkan hal tersebut.
Demikianlah beberapa contoh perkara-perkara yang ada di dalam syari'at yang menunjukkan bahwasanya sesuatu hal yang sekiranya memberikan (mendatangkan) kesulitan kepada manusia, maka syari'at ini menetapkan adanya kemudahan di dalam hukumnya.
⑵ Hewan seperti kucing atau hewan semisal yang merupakan hewan yang biasa berkeliaran di dekat manusia sehingga susah untuk terhindari.
Maka hewan-hewan seperti ini dihukumi sebagai hewan yang suci, ketika hewan tersebut masih hidup, sehingga tidak menajiskan benda-benda yang tersentuh, baik itu makanan, minuman ataupun pakaian dan benda-benda lain, dan benda-benda tersebut tidak harus dicuci karena hewannya adalah hewan yang suci.
Contohnya: Tikus
Tikus dihukumi sama dengan kucing karena termasuk hewan yang biasa berkeliaran disekitar manusia dan diqiyāskan dengan kucing.
Kemudian Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī juga menyebutkan di sini, bahwasanya hewan ini terbagi menjadi lima kategori dilihat dari suci atau tidaknya ketika hewan tersebut hidup maupun setelah hewan tersebut mati.
Di antara lima kategori itu, adalah:
⑴ Hewan yang najis baik ketika hidup maupun setelah mati dan kenajisannya ada pada dzatnya (tubuh, kotoran maupun hal-hal yang keluar dari tubuhnya seperti liur, keringat, kencing dan kotorannya) tentunya semua ini najis.
Yang masuk kategori ini adalah anjing, hewan-hewan buas yang lain, serta babi.
Maka benda-benda yang tersentuh oleh benda-benda ini, harus dicuci.
⑵ Hewan yang suci ketika hidup, namun menjadi najis setelah hewan tersebut mati dan hewan tersebut tidak boleh untuk dimakan.
Contohnya; Kucing dan hewan yang semisal
Namun perlu kita ketahui maksud hewan tersebut adalah suci ketika hidup (seperti) bulu, tubuh, air liur, keringatnya adalah suci. Adapun darahnya, air kencing kotoran dan muntahnya maka ini dinyatakan sesuatu yang najis.
Karena hadīts yang sedang kita bahas pada halaqah ini, hadīts ini disebutkan oleh Abū Qatādah radhiyallāhu ta'āla 'anhu tatkala istri beliau melihat ada kucing yang minum dari air yang sudah disediakan untuk berwudhū'.
Maka Abū Qatādah radhiyallāhu ta'āla 'anhu menyebutkan hadīts ini, bahwasanya air liur kucing bukanlah suatu yang najis sehingga tidak menyebabkan air tersebut najis, adapun kotoran, kencing dan muntah dan darahnya maka para ulamā menyatakan sesuatu yang najis.
Ini berlaku pada kucing dan hewan lain yang tidak boleh dimakan meskipun disembelih karena syari'at mengharamkan hewan-hewan tersebut untuk dimakan
Seperti; Kucing, tikus, dan hewan lain yang semisal dalam hukumnya.
⑶ Hewan yang suci ketika hidup dan setelah mati, akan tetapi hewan tersebut tidak halal untuk dimakan.
Contohnya; Hewan-hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat dan yang semisal.
Maka hewan-hewan seperti ini, tidak boleh dimakan akan tetapi tetap dinyatakan sebagai hewan yang suci setelah hewan tersebut mati.
Jika ada lalat mati di dalam air minum, maka air tersebut tidak dinyatakan sebagai air yang najis, air tersebut masih boleh digunakan (air tersebut suci).
⑷ Hewan yang suci ketika hidup dan setelah mati, hewan ini halal untuk dimakan apabila disembelih.
Contoh; Hewan-hewan ternak seperti sapi, kambing dan yang lainnya.
⑸ Hewan yang suci ketika hidup dan setelah mati baik dengan cara disembelih ataupun tidak disembelih, maka hewan tersebut suci dan boleh dimakan (Hewan yang tidak perlu untuk disembelih untuk memakannya).
Contoh;
√ Hewan yang hidup di air atau di laut atau hewan yang tidak bisa hidup kecuali di air.
√ Belalang.
Demikian pembagian hewan yang beliau (Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh) sebutkan dalam permasalah ini.
Kemudian beliau juga menyebutkan bahwasanya kebanyakan ulamā berdalīl dengan hadīts ini tentang sucinya keringat dan air liur keledai.
Kenapa?
Karena ilahnya (sebabnya) sama, termasuk hewan yang biasa bersama manusia dan susah untuk dihindari, maka mau tidak mau manusia akan bersentuhan dengan hewan tersebut baik liurnya maupun keringatnya sehingga dihukumi sebagai hewan yang suci.
Wallāhu Ta'āla A'lam.
Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kali ini, in syā Allāh kita lanjutkan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________________
🏦 *Donasi Dakwah BiAS* dapat disalurkan melalui :
• *Bank Mandiri Syariah* (Kode : 451)
• *No. Rek : 710-3000-507*
• *A.N : YPWA Bimbingan Islam*
📲 Konfirmasi donasi ke :  *0878-8145-8000*
▪ *Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
📝 Cantumkan kode angka 700 di akhir nominal transfer Anda

Selasa, 20 November 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 22

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 12 Rabiul Awwal 1440 H / 20 November 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 023 | Hadits 22
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H023
〰〰〰〰〰〰〰
*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 22*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-23 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Pada halaqah kita sudah sampai hadīts ke-22 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Saīd Al Khudriy radhiyallāhu ta'āla 'anhu.
Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
الْمَاءَ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
_"Air itu suci dan mensucikan tidak ternajiskan dengan suatu apapun."_
(Hadīts riwayat Imām Ahmad, At Tirmidzī, Abū Dāwūd dan An Nassā'i)
Hadīts ini berbicara tentang hukum asal air, dimana pada asalnya air itu adalah suci dan mensucikan yaitu bisa digunakan untuk menghilangkan hadats dan juga najis.
Sebagaimana bisa digunakan untuk dikonsumsi selama sebelum berubah dari sifat aslinya baik dari warnanya, aromanya atau rasanya yang disebabkan sesuatu yang najis. Karena jika air tersebut telah tercampur dengan najis dan berubah dari sifat aslinya (warna, bau atau rasanya) maka air tersebut telah dihukumi sebagai air yang najis tidak bisa digunakan lagi untuk bersuci sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh para fuqahā'.
Kemudian Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bagaimana halnya bila air tersebut berubah dari sifat aslinya dan penyebabnya adalah sesuatu yang suci dikarena tercampur dengan sesuatu yang suci bukan yang najis, contohnya sabun.
Maka beliau mengemukakan air yang seperti ini meskipun telah berubah dari sifat aslinya namun tetap dihukumi sebagaimana hukum asalnya karena keumumam hadīts yang sedang kita bahas pada halaqah kali ini, yaitu air itu suci dan mensucikan selama belum tercampur oleh najis dan berubah dari sifat aslinya.
Kemudian beliau menjelaskan dari hal tersebut bahwa air itu hanya ada dua macam, yaitu:
⑴ Air yang thahur (suci dan mensucikan), yaitu air yang tetap sifat aslinya belum tercampur dengan sesuatu apapun atau air yang dia sudah berubah dari sifat aslinya tapi dikarenakan tercampur dengan sesuatu yang bukan najis, maka hal itu tidak merubah hukum asal air.
⑵ Air yang najis, yaitu air yang telah berubah dari sifat aslinya dikarenakan bercampur sesuatu yang najis, ini jelas tidak bisa digunakan untuk bersuci maupun untuk keperluan yang lain karena sudah menjadi air yang najis.
Kemudian beliau juga menjelaskan hadīts ini memberikan suatu isyarat bahwasanya hukum asal pada air atau sesuatu selain air secara umum asalnya adalah suci dan boleh untuk dimanfaatkan selama belum ada sesuatu dalīl yang menunjukkan perubahan dari hukum asal tersebut.
Ini merupakan satu kaidah yang bisa diterapkan dalam kehidupan.
Bahwasanya hukum asal sesuatu itu suci selama belum ada dalīl yang jelas dan yakin yang menyatakan bahwasanya dia telah berubah dari hukum kesucian tersebut.
Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah kita kali ini, in syā Allāh kita lanjutkan hadīts selanjutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك
___________________
🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :
▪ *Bank Syariah Mandiri (BSM)*
| Kode        : 451
| No. Rek   : 710-3000-507
| A.N           : YPWA Bimbingan Islam
| Kode akhir nominal transfer : 700
| Konfirmasi : 0878-8145-8000
📝 *Format Donasi : Donasi Dakwah BIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
___________________

BOLEH TERGESA-GESA DALAM LIMA HAL INI

Renungan
*BOLEH TERGESA-GESA DALAM LIMA HAL INI*
Dalam Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashbahani disebutkan perkataan berikut ini dari Hatim Al Ashom,
كان يقال العجلة من الشيطان إلا في خمس إطعام الطعام إذا حضر الضيف وتجهيز الميت إذا مات وتزويج البكر إذا أدركت وقضاء الدين إذا وجب والتوبة من الذنب إذا أذنب
“Ketergesa-gesaan biasa dikatakan dari setan kecuali dalam lima perkara:
1- menyajikan makanan ketika ada tamu
2- mengurus mayit ketika ia mati
3- menikahkan seorang gadis jika sudah bertemu jodohnya
4- melunasi utang ketika sudah jatuh tempo
5- segera bertaubat jika berbuat dosa.” (Hilyatul Auliya’, 8: 78).
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/3702-5-hal-yang-boleh-tergesa-gesa.html
✍ Materi Tausiyah Shubuh
12 Rabi’ul Awwal 1440 H
20 November 2018

Senin, 19 November 2018

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 21

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 11 Rabiul Awwal 1440 H / 19 November 2018 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 022 | Hadits 21
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H022


*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 21*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-22 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-21. Hadīts yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu ta'āla 'anhā, beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ . قَالَ الراوي  وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ

_"Ada sepuluh macam fitrah, yaitu memotong kumis, membiarkan jenggot (tanpa dicukur), bersiwak, istinsyāq (menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhū'), memotong kuku, membasuh persendian (lipatan pada badan), mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, Istinjā' (bersuci) dengan air."_
_Perawi hadīts ini mengatakan, "Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur.”_
(Hadīts riwayat Muslim nomor 261)
Hadīts ini berbicara tentang sepuluh amalan yang dinyatakan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam termasuk dari fithrah.
Yang dimaksud dengan fithrah sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh adalah:
الخلقة التي خلق االله عباده عليها، وجعلهم مفطورين عليها
_"Kondisi penciptaan dimana Allāh menciptakan para hamba-Nya dalam kondisi tersebut (kondisi awal mereka diciptakan) dan Allāh jadikan mereka berada dalam kondisi tersebut."_
Kemudian beliau menjelaskan bahwasanya syari'at-syari'at yang Allāh perintahkan kepada manusia secara umum semuanya adalah perkara-perkara yang sesuai dengan fithrah manusia
Dan fithrah tersebut terbagi dalam dua bentuk:
⑴ Amalan atau syari'at yang membersihkan hati dan ruh, (seperti) perintah untuk beriman kepada Allāh.
Ini merupakan syari'at yang sesuai dengan fithrah manusia.
Dimana Allāh menjadikan manusia ketika pertama kali ruh ditiupkan maka ia masih berada dalam keimanan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla sebelum dia tercemari oleh perbuatan-perbuatan maksiat atau kesyirikan, kekufuran yang dijerumuskan atau dibisikan oleh syaithān.
Ini contoh bentuk syari'at yang sesuai dengan fithrah yang sifat atau fungsinya membersihkan hati dan ruh manusia supaya mereka bersih dari akhlaq-akhlaq yang tercela dan menjadi pribadi yang memiliki akhlaq yang mulia sebagaimana mereka pertama kali Allāh Subhānahu wa Ta'āla ciptakan.
⑵ Amalan yang fungsinya membersihkan zhāhir manusia dan menghilangkan kotoran-kotoran dari tubuhnya.
Dan bentuk dua inilah yang dimaksudkan dalam hadīts yang sedang kita bahas pada halaqah kali ini.
Diantaranya adalah sepuluh amalan yang disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tersebut yang tujuannya adalah membersihkan anggota tubuh manusia dan menyempurnakan keadaannya supaya dia berada dalam kesehatan dan dia kembali kepada kondisi dimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla menciptakannya.
Di antara amalan yang disebutkan tersebut adalah:
⑴ Berkumur-kumur dan melakukan istinsyāq (menghirup air kehidung) yang ini diperintahkan disyari'atkan ketika seseorang sedang melakukan thahārah. Fungsinya untuk mengeluarkan kotoran-kotoran yang ada di hidungnya maupun di mulutnya.
Begitu juga dengan bersiwāk (mengosok giginya dengan kayu siwāk atau dengan alat lain yang fungsinya adalah membersihkan mulutnya).
Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
_“Siwāk merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhāan bagi Rabb."_
(Hadīts shahīh riwayat Ahmad, Irwaul Ghalil no 66)
⑵ Mencukur kumis atau memendekkan kumis agar ketika dia makan atau minum sisa makanan atau minuman tersebut tidak menempel di kumis sehingga diperintahkan untuk dipendekkan (dirapihkan).
⑶ Memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan membersihkan lipatan-lipatan yang ada pada tubuhnya yang itu merupakan tempat kotoran-kotoran.
⑷ Beristinjā' (bersuci) setelah dia buang air besar atau air kecil.
Bahkan Istinjā' ini dijadikan syarat di antara syarat-syarat sahnya shalāt agar najis tidak menempel pada badannya.
Maka perkara-perkara yang disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts tersebut, kalau kita amati semua ini akan menjadikan manusia kembali kepada fithrah mereka.
Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutnya sebagai amalan fithrah.
Dari sini kita mengetahui bahwasanya syari'at ini memerintahkan agar manusia kembali kepada fithrah baik fithrah secara bathin, dimana diperintahkan perkara-perkara yang membersihkan jiwa manusia dari akhlaq-akhlaq tercela dan mengembalikan kepada akhlaq-akhlaq mulia dan indah yang merupakan fithrah mereka.
Atau amalan-amalan yang mulia dan indah yang merupakan fithrah mereka atau amalan-amalan yang memerintahkan kepada fithrah secara zhāhir yaitu dengan membersihkan diri dari kotoran-kotoran yang ada pada dirinya.
Bahkan Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam hadīts lain:
اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الإِيْـمَـانِ
_"Bersuci merupakan setengah dari keimanan."_
Dan Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
_"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."_
(QS Al Baqarah: 222)
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh mengatakan:
فالشريعة كلها طهارة وزكاء وتنمية وتكميل
_Maka syari'at ini secara keseluruhan adalah memerintahkan kepada kebersihan dan kesempurnaan serta menganjurkan kepada perkara-perkara yang mulia dan mengharamkan dari hal-hal yang sifatnya rendah._
Wallāhu Ta'āla A'lam
Demikian yang bisa kita kaji pada halaqah kali ini in syā Allāh kita lanjutkan pada hadīts berikut di halaqah mendatang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت نستغفرك وأتوب إليك
_________________
🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :
▪ *Bank Syariah Mandiri (BSM)*
| Kode        : 451
| No. Rek   : 710-3000-507
| A.N           : YPWA Bimbingan Islam
| Kode akhir nominal transfer : 700
| Konfirmasi : 0878-8145-8000
📝 *Format Donasi : Donasi Dakwah BIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
___________________

Kamis, 15 November 2018

DELAPAN PEMBAHASAN PENYEMPURNA TATACARA MANDI JUNUB

🚿💦 *DELAPAN PEMBAHASAN PENYEMPURNA TATACARA MANDI JUNUB* 💦🚿

1⃣ *HUKUM BISMILLAH DI AWALNYA*
• Dalam Mausu'ah Ahkam Ath-Thaharah disebutkan :
لم يرد في جميع أحاديث الغسل من الجنابة ذكر للتسمية، لا في حديث صحيح، ولا ضعيف، والأصل عدم المشروعية
_"Tidak dijumpai dalam semua hadits tentang mandi junub penyebutan bismillah. Dalam hadits shahih-nya ataupun yang dha'if. Dan hukum asalnya tidak disyari'atkan."_
 (IV/416 - Maktabah Ar-Rusyd, Cet. III)
• Selanjutnya, penulis mengatakan :
التسمية على الأفعال، منها ما هو شرط كالذبح، ومنها ما هو مشروع، كالتسمية للأكل، ورمي الجمار، والدخول والخروج، ومنها ما هو بدعة كالتسمية للأذان، ولتكبيرة الإحرام
📢 *"Membaca bismillah sebelum melakukan sesuatu :*
- Ada yang merupakan syarat, seperti saat menyembelih.
- Ada yang disyari'atkan [bisa sunnah bisa wajib, pent], seperti sebelum makan, sebelum melempar jumrah, saat masuk dan keluar rumah.
- Dan ada pula yang bid'ah. Seperti bismillah sebelum adzan dan takbiratul ihram."
-Baca keterangan ini dalam Asy-Syarh Al Mumti', I/161-163 oleh Al Allamah Al 'Utsaimin-

2⃣ *KUMUR-KUMUR DAN MENGHIRUP AIR KE HIDUNG SANGAT DITEKANKAN SAAT MANDI JUNUB*
• Imam Syafi'i rahimahullah berkata :
وَلَا أُحِبُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَدَعَ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ فِي غُسْلِ الْجَنَابَةِ وَإِنْ تَرَكَهُ أَحْبَبْت لَهُ أَنْ يَتَمَضْمَضَ
_"Aku tidak menyukai bila seseorang mandi junub tanpa berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung. Bila dia enggan, setidaknya dia berkumur."_
(Al Umm, II/88 Cet. Darul Wafa')

3⃣ *MEMBERSIHKAN KEMALUAN MENGGUNAKAN TANGAN KIRI; YANG KANAN MENYIRAM AIR*
• Asy-Syaikh Al 'Utsaimin (Fath Dzil Jalali wal Ikram, I/610) rahimahullah berkata :
_"Kemaluan dibersihkan dengan tangan kiri, baik untuk istinja' atau membersihkannya saat sebelum mandi junub atau sebab lainnya._
Ini diperkuat dengan pernyataan Nabi Muhammad ﷺ :
لَا يُمْسِكَنَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ بِيَمِينِهِ وَهُوَ يَبُولُ
_"Jangan salah seorang dari kalian memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air kecil."_
(HR. Al Bukhari (154) dan Muslim (267) -SELESAI NUKILAN-)

4⃣ *HUKUM BERWUDHU SEBELUM MANDI JUNUB*
• Imam Nawawi rahimahullah berkata :
الْوُضُوءُ سُنَّةٌ فِي الْغُسْلِ وَلَيْسَ بِشَرْطٍ وَلَا وَاجِبٍ هَذَا مَذْهَبُنَا وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا مَا حُكِيَ عَنْ أَبِي ثَوْرٍ وَدَاوُد
_"Wudhu pada mandi junub hukumnya sunnah, bukan syarat bukan pula kewajiban. Dan ini yang menjadi madzhab kami dan madzhab semua ulama, kecuali pendapat yang dihikayatkan dari Abu Tsaur dan Dawud; di mana mereka mempersyaratkan wudhu (sebagai syarat sah mandi junub)."_
(Mukhtashar Al Majmu', II/102)

5⃣ *MENDAHULUKAN YANG KANAN SAAT MEMBASUH KEPALA*
• Aisyah radhiyallahu 'anha menuturkan :
بَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ، ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ. فَقَالَ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ.
_"Rasulullah ﷺ mengawali dengan membasuh kepala bagian kanan, lalu yang kiri, kemudian beliau menuangkan air ke kepala secara merata dengan kedua telapak tangannya."_
(HR. Muslim (318))

6⃣ *MENGGOSOK BADAN BUKAN KEHARUSAN*
• Imam Syafi'i rahimahullah mengatakan :
وَأُحِبُّ لَهُ أَنْ يُدَلِّكَ مَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ مِنْ جَسَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ وَأَتَى الْمَاءُ عَلَى جَسَدِهِ أَجْزَأَهُ. وَكَذَلِكَ إنْ انْغَمَسَ فِي نَهْرٍ أَوْ بِئْرٍ فَأَتَى الْمَاءُ عَلَى شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ أَجْزَأَهُ
_"Aku menyukai bagi seorang yang mandi junub untuk menggosok bagian tubuhnya yang bisa dia jangkau. Jika tidak dia lakukan namun air telah merata pada seluruh tubuh; sah mandinya. Demikian pula bila seseorang mandi bercebur ke sungai atau sumur dan semua rambut serta kulitnya basah; sah mandi junubnya."_
(Al Umm, II/88-89 Cet. Darul Wafa')
• Dan berkata Imam Nawawi rahimahullah :
مذهبنا أَنَّ دَلْكَ الْأَعْضَاءِ فِي الْغُسْلِ وَفِي الْوُضُوءِ سُنَّةٌ لَيْسَ بِوَاجِبٍ فَلَوْ انْغَمَسَ فِي مَاءٍ كَثِيرٍ نَاوِيًا فَوَصَلَ شَعْرَهُ وَبَشَرَهُ أَجْزَأَهُ وُضُوءُهُ وَغُسْلُهُ، وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا مَالِكًا وَالْمُزَنِيَّ فَإِنَّهُمَا شَرَطَاهُ فِي صِحَّةِ الْغُسْلِ وَالْوُضُوءِ
_"Dalam madzhab kami menggosok badan saat mandi junub hukumnya sunnah; tidak wajib._
_Andai seseorang menceburkan dirinya ke air yang banyak dengan niat (mengangkat hadats); dan dia kenakan air ke rambut dan seluruh tubuhnya maka sah untuk wudhu dan mandi sekaligus._
_Demikianlah pendapat semua ulama kecuali Malik dan Al Muzani yang mempersyaratkan menggosok sebagai penentu sahnya mandi dan wudhu."_
(Mukhtashar Al Majmu', II/102)
• Asy-Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
_"Tidak dipersyaratkan menggosok badan saat mandi junub. Karena di dalam hadits tidak disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menggosok badannya. Namun jika dia merasa khawatir andaikata air tidak merata ke seluruh tubuh; sepantasnya dia ratakan dengan tangannya hingga dia merasa yakin."_
 (Fath Dzil Jalali wal Ikram, I/610)

7⃣ *HARUSKAH MERUTINKAN DALAM MEMBASUH KAKI SELESAI MANDI JUNUB*
• Asy-Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
_"Mencuci kedua kaki setelah mandi junub hanya dilakukan saat diperlukan. Karena dalam riwayat Al Bukhari tidak ada penyebutan bahwa beliau ﷺ mencuci kedua kakinya seusai mandi junub._
_Sehingga yang nampak -wallahu a'lam-, bahwa hal ini hanya dilakukan ketika perlu. Di mana Rasulullah ﷺ terkadang mencuci kakinya setelah mandi junub dan terkadang tidak."_
 (Fath Dzil Jalali wal Ikram, I/610)

8⃣ *MANDI JUNUB SUDAH MEWAKILI WUDHU SELAMA DIA TIDAK BERHADATS KEMBALI*
• Imam Syafi'i rahimahullah menyatakan :
وَلَوْ بَدَأَ فَاغْتَسَلَ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ فَأَكْمَلَ الْغُسْلَ أَجْزَأَهُ مِنْ وُضُوئِهِ لِلصَّلَاةِ
_"Bila seseorang langsung mandi junub tanpa berwudhu, lalu selesai dari mandinya; maka itu telah mewakili wudhunya untuk shalat. Karena bersuci dengan cara mandi lebih banyak daripada wudhu atau semisalnya."_
(Al Umm, II/89 Cet. Darul Wafa')
• Imam Nawawi rahimahullah mengatakan :
حْدَثَ الْمُغْتَسِلُ فِي أَثْنَاءِ غُسْلِهِ لَمْ يُؤَثِّرْ ذَلِكَ فِي غُسْلِهِ بَلْ يُتِمُّهُ وَيُجْزِيه فَإِنْ أَرَادَ الصَّلَاةَ لَزِمَهُ الْوُضُوءُ
_"Bila seseorang berhadats pada saat mandi junub; maka itu tidak memengaruhi mandinya. Tetap dia selesaikan dan mandinya sah. Namun bila dia ingin shalat; harus berwudhu kembali."_
(Mukhtashar Al Majmu', II/109)
• Mirip dengan penjelasan Imam Syafi'i di atas, Asy-Syaikh Al 'Utsaimin rahimahullah berkata :
_"Apabila seseorang mandi junub; maka itu sudah mewakili wudhunya. Dan dia boleh langsung shalat meskipun tidak berwudhu."_
(Fatawa Nur 'alad Darb, III/232)
• Di tempat lain, Asy-Syaikh Al 'Utsaimin menyatakan :
_"Mandi junub telah mewakili wudhu. Baik dia berniat wudhu sekalian maupun tidak._
Berdasarkan firman Allah ta'ala :
وَإِن كُنتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ
_"Dan jika kamu junub maka bersucilah (mandi)."_
( QS. Al Ma'idah : 6 )
(Dalam ayat ini) Allah tidak menyebutkan wudhu." (Idem, III/232)
Meskipun tentu saja, mengawali mandi junub dengan wudhu ialah hal yang lebih utama.

✅ *UCAPAN SYUKUR*
Dengan ini selesai sejumlah pembahasan mandi Junub yang nampaknya layak untuk diketahui oleh setiap kita. Segala puji bagi Allah di awal dan di akhir.
________________

┏••••••••••❁✿❁••••••••••┓
📔Ukhuwah fil Hijrah📔
┗••••••••••❁✿❁••••••••••┛
✿Join Group WA klik ⤵:
bit.ly/2Eadm-akhwat1
✿Telegram Chanel : t.me/ukhuwahfilhijrah
✿Website      :   https://ukhuwahfillhijrah.com
✿Twitter        : twitter.com/UkhuwahFil
✿Instagram  : instagram.com/ukhuwahfilhijrah
✿Facebook   : facebook.com/ukhuwahfilhijrah
✿Fanpage     : facebook.com/ufha.ufhi/
✿Line             : line.me/ti/p/%40usu4871y

13 ADAB DALAM BERDOA


         13 ADAB  DALAM BERDOA

Bismillah
Inilah beberapa Adab berdoa yang di contohkan dan di tuntunkan Rasulullah Shalallahu 'Alayhi Wassalam :
🔴 1. MENCARI WAKTU YANG MUSTAJAB
Di antara waktu yang mustajab adalah hari Arafah, Ramadhan, sore hari Jumat, dan waktu sahur atau sepertiga malam terakhir.
◼Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ينزل الله تعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الأخير فيقول عز وجل: من يدعونى فأستجب له، من يسألنى فأعطيه، من يستغفرنى فأغفر له
“Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku kabulkan, siapa yang meminta, akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampunan pasti Aku ampuni’.” (HR. Muslim)

🔴 2. MEMANFAATKAN KEADAAN YANG MUSTAJAB UNTUK BERDOA
Di antara keadaan yang mustajab untuk berdoa adalah: ketika perang, turun hujan, ketika sujud, antara adzan dan iqamah, atau ketika puasa saat sahur dan menjelang berbuka.
◼ Abu Hurairah radhiallahu’anhu mengatakan, "Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka ketika jihad fi sabillillah sedang berkecamuk, ketika turun hujan, dan ketika iqamah shalat wajib. Manfaatkanlah untuk berdoa ketika itu.”. (Syarhus Sunnah al-Baghawi, 1: 327)
◼ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, , “Doa antara adzan dan iqamah tidak tertolak.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, dan Tirmidzi)
◼ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keadaan terdekat antara hamba dengan Tuhannya adalah ketika sujud. Maka perbanyaklahberdoa.” (HR. Muslim)

🔴 3. MENGHADAP KIBLAT DAN MENGANGKAT TANGAN
◼Dari Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Padang Arafah, beliau menghadap kiblat, dan beliau terus berdoa sampai matahari terbenam. (HR. Muslim)
◼ Dari Salman radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya Tuhan kalian itu Malu dan Maha Memberi. Dia malu kepada hamba-Nya ketika mereka mengangkat tangan kepada-Nya kemudian hambanya kembali dengan tangan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan beliau hasankan)
➡CARA MENGANGKAT TANGAN:
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa, beliau menggabungkan kedua telapak tangannya dan mengangkatnya setinggi wajahnya (wajah menghadap telapak tangan). (HR. Thabrani)

🔴 4  DENGAN SUARA LIRIH DAN TIDAK DIKERASKAN
◼ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Janganlah kalian mengeraskan doa kalian dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Zakariya ‘alaihis salam, yang berdoa dengan penuh khusyu’ dan suara lirih.
ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّا (2) إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
“(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria,
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 2–3)
◼ Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf: 55)
Dari Abu Musa radhiallahu’anhu bahwa suatu ketika para sahabat pernah berdzikir dengan teriak-teriak. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ، ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا ، إِنَّهُ مَعَكُمْ ، إِنَّهُ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
“Wahai manusia, kasihanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak menyeru Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya Allah bersama kalian, Dia Maha mendengar lagi Maha dekat.”  (HR. Bukhari)

🔴 5 TIDAK DIBUAT BERSAJAK
DOA YANG TERBAIK ADALAH DOA YANG ADA DALAM AL-QUR'AN DAN AS-SUNAH.
◼ Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”. (QS. Al-A’raf: 55)
Ada yang mengatakan: maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam membuat kalimat doa, dengan dipaksakan bersajak.

🔴 6 KHUSYU', MERENDAHKAN HATI, DAN PENUH HARAP
◼Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoakepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya’: 90)

🔴. 7 MEMANTAPKAN HATI DALAM BERDOA DAN BERKEYAKINAN UNTUK DIKABULKAN
◼ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يقل أحدكم إذا دعا اللهم اغفر لي إن شئت اللهم ارحمني إن شئت ليعزم المسألة فإنه لا مُكرِه له
“Janganlah kalian ketika berdoa dengan mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau mau. Ya Allah, rahmatilah aku, jika Engkau mau’. Hendaknya dia mantapkan keinginannya, karena tidak ada yang memaksa Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
◼ Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Apabila kalian berdoa, hendaknya dia mantapkan keinginannya. Karena Allah tidak keberatan dan kesulitan untuk mewujudkan sesuatu.”
 (HR. Ibn Hibban dan dishahihkan Syua’ib Al-Arnauth)
Di antara bentuk yakin ketika berdoa adalah hatinya sadar bahwa dia sedang meminta sesuatu. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادعوا الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه
“Berdoalah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai, dan lengah (dengan doanya).”  (HR. Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani)
Banyak orang yang lalai dalam berdoa atau bahkan tidak tahu isi doa yang dia ucapkan. Karena dia tidak paham bahasa Arab, sehingga hanya dia ucapkan tanpa direnungkan isinya.

🔴 8 MENGULANG-ULANG DOA DAN MERENGEK-RENGEK DALAM BERDOA
Mislanya, orang berdoa: Yaa Allah, ampunilah hambu-MU, ampunilah hambu-MU…, ampunilah hambu-MU yang penuh dosa ini. ampunilah ya Allah…. Dia ulang-ulang permohonannya. Semacam ini menunjukkan kesungguhhannya dalam berdoa.
Ibn Mas’ud mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila beliau berdoa, beliau mengulangi tiga kali. Dan apabila beliau meminta kepada Allah, beliau mengulangi tiga kali. (HR. Muslim)

🔴  9 TIDAK TERGESA-GESA AGAR SEGERA DIKABULKAN, DAN MENGHINDARI PERASAAN: "Mengapa doaku tidak dikabulkan atau kalihatannya Allah tidak akan mengabulkan doaku."
◼ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُولُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِى
“Akan dikabulkan (doa) kalian selama tidak tergesa-gesa. Dia mengatakan, ‘Saya telah berdoa, namun belum saja dikabulkan‘.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sikap tergesa-gesa agar segera dikabulkan, tetapi doanya tidak kunjung dikabulkan, menyebabkan dirinya malas berdoa.
◼Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدعاء يستجاب للعبد ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم، ما لم يستعجل، قيل: يا رسول الله وما الاستعجال؟ قال: يقول قد دعوت وقد دعوت فلم أر يستجيب لي، فيستحسر عند ذلك ويدع الدعاء رواه مسلم
“Doa para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdoa yang isinya dosa atau memutus silaturrahim, selama dia tidak terburu-buru.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud terburu-buru dalam berdoa?” Beliau bersabda, “Orang yang berdoa ini berkata, ‘Saya telah berdoa, Saya telah berdoa, dan belum pernah dikabulkan’. Akhirnya dia putus asa dan meninggalkan doa.”  (HR. Muslim dan Abu Daud)
Sebagian ulama mengatakan: “Saya pernah berdoa kepada Allah dengan satu permintaan selama dua puluh tahun dan belum dikabulkan, padahal aku berharap agar dikabulkan. Aku meminta kepada Allah agar diberi taufiq untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak penting baguku.”

🔴 10 MEMULAI DOA DENGAN MEMUJI ALLAH DAN BERSHALAWAT KEPADA NABI SHALLALLAHU 'ALAYHI WA SALLAM
Bagian dari adab ketika memohon dan meminta adalah memuji Dzat yang diminta. Demikian pula ketika hendak berdoa kepada Allah. Hendaknya kita memuji Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang mulia (Asma-ul husna).
◼Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar ada orang yang berdoa dalam shalatnya dan dia tidak memuji Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, “Orang ini terburu-buru.” kemudian beliau bersabda,
إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميد ربه جل وعز والثناء عليه ثم ليصل على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بما شاء
“Apabila kalian berdoa, hendaknya dia memulai dengan memuji dan mengagungkan Allah, kemudian bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian berdoalah sesuai kehendaknya.”
(HR. Ahmad, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani)

🔴  11 MEMPERBANYAK TAUBAT DAN MEMOHON AMPUN KEPADA ALLAH
Banyak mendekatkan diri kepada Allah merupakan sarana terbesar untuk mendapatkan cintanya Allah. Dengan dicintai Allah, doa seseorang akan mudah dikabulkan.
Di antara amal yang sangat dicintai Allah adalah memperbanyak TAUBAT dan ISTIGHFAR.
◼ Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ….، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Tidak ada ibadah yang dilakukan hamba-Ku yang lebih Aku cintai melebihi ibadah yang Aku wajibkan. Ada hamba-Ku yang sering beribadah kepada-Ku dengan amalan sunah, sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka …jika dia meminta-Ku, pasti Aku berikan dan jika minta perlindungan kepada-KU, pasti Aku lindungi..”
 (HR. Bukhari)
Diriwayatkan bahwa ketika terjadi musim kekeringan di masa Umar bin Khatab, beliau meminta kepada Abbas untuk berdoa. Ketika berdoa, Abbas mengatakan,  “Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun musibah dari langit kecuali karena perbuatan dosa. dan musibah ini tidak akan hilang, kecuali dengan taubat…”

🔴 12 HINDARI MENDOAKAN KEBURUKAN, BAIK UNTUK DIRI SENDIRI, ANAK, MAUPUN KELUARGA
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, mencela manusia yang berdoa dengan doa yang buruk,
وَيَدْعُ الإِنسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاءهُ بِالْخَيْرِ وَكَانَ الإِنسَانُ عَجُولاً
“Manusia berdoa untuk kejahatan sebagaimana ia berdoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra’: 11)
وَلَوْ يُعَجِّلُ اللَّهُ لِلنَّاسِ الشَّرَّ اسْتِعْجَالَهُم بِالْخَيْرِ لَقُضِيَ إِلَيْهِمْ أَجَلُهُمْ
“Kalau sekiranya Allah menyegerakan keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pastilah diakhiri umur mereka (binasa).” (QS. Yunus: 11)
Ayat ini berbicara tentang orang yang mendoakan keburukan untuk dirinya, hartanya, keluarganya, dengan doa keburukan.
◼ Dari Jabir radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تدعوا على أنفسكم، ولا تدعوا على أولادكم، ولا تدعوا على خدمكم، ولا تدعوا على أموالكم، لا توافق من الله ساعة يسأل فيها عطاء فيستجاب لكم
“Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian, jangan mendoakan keburukan untuk anak kalian, jangan mendoakan keburukan untuk pembantu kalian, jangan mendoakan keburukan untuk harta kalian. Bisa jadi ketika seorang hamba berdoa kepada Allah bertepatan dengan waktu mustajab, pasti Allah kabulkan.” (HR. Abu Daud)
◼ Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يزال الدعاء يستجاب للعبد ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم
“Doa para hamba akan senantiasa dikabulkan, selama tidak berdoa yang isinya dosa atau memutus silaturrahim.” (HR. Muslim dan Abu Daud)

🔴 13 MENGHINDARI MAKANAN DAN HARTA HARAM
Makanan yang haram menjadi sebab tertolaknya doa.
▪Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) ». ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyib (baik). Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin seperti yang diperintahkan-Nya kepada para Rasul. Firman-Nya, ‘Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan’. Dan Allah juga berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu’. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang seroang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya. Sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku’. Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah Allah akan mengabulkan do’anya?”
(HR. Muslim)
Allahu a’lam.
_________________
 [http://islamino.net]
Oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel dinukil dari http://www.KonsultasiSyariah.com
.

Rabu, 14 November 2018

PARA NABI TIDAK MEMILIKI HIDAYAH TAUFIK

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 06 Rabi’ul Awwal 1440H / 14 November 2018M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 03| Para Nabi Tidak Memiliki Hidayah Taufiq
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-03
〰〰〰〰〰〰〰
 
*PARA NABI TIDAK MEMILIKI HIDAYAH TAUFIK*

بسم اللّه الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ لله وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، ولا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا باللَّهِ، أَمَّا بَعْدُ

Para pendengar rahimakumullāh.
Pada kesempatan kali ini  (pertemuan ke-3),  kita akan memasuki pembahasan dari kitāb  Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.
Dengan sub judul: وحتى الأنبياء لا يملكون هداية التوفيق لأحد  , "Para nabi sekalipun mereka tidak memiliki hidayah taufīq".
Karena hidayah itu ada dua macam,
⑴ Hidayah petunjuk untuk sekedar menunjukkan dan membimbing.
⇒ Hidayah ini dimiliki oleh para nabi dan rasūl, kita semua dan orang-orang yang ingin menunjukkan kepada orang lain kebenaran (sekedar menunjukkan dan membimbing saja).
Jika kita berilmu dan ingin mengajak orang lain mendapatkan ilmu kita bisa melakukan itu.
⑵ Hidayah taufīq
Hidayah taufīq hanya dimiliki Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Allāh menunjukkan hatinya. Berapa banyak orang yang sudah diberikan ilmu, penjelasan, akan tetapi yang satu beriman yang satunya tidak, yang satu paham yang satunya tidak (berpaling), inilah yang dimaksud bahwa para nabi sekali pun tidak memiliki hidayah taufīq untuk seseorang, karena hidayah taufīq di tangan Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Dalam hal ini Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman tentang Nabi Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam surat Al Qashash ayat 56:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
_"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allāh memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk."_
⇒ Maksud 'orang yang engkau kasihi' adalah paman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yaitu Abū Thālib.
Dalam hal ini terdapat satu hadīts yang berkaitan dengan ayat di atas yaitu hadīts dari Saīd bin Al Musayib dari ayahnya, beliau mengatakan tatkala Abū Thālib sudah diambang kematian, maka beliau didatangi oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam namun di sana telah ada Abū Jahal dan Abdullāh bin Abī Ubayah bin Mughīrah (tokoh musyrikin Quraisy).
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berbicara kepada pamannya (Abū Thālib), "Wahai pamanku, ucapkanlah 'Lā ilāha illallāh, satu kalimat yang bisa membela mu disisi Allāh."
Akan tetapi syaithān tidak berhenti menggoda manusia sampai di akhir hidup pun (menjelang kematian) Abū Jahal dan Abdullāh bin Abī Umayyah tetap menarik agar Abū Thālib tetap pada agama mereka (musyrik).
Mereka mengatakan, "Wahai Abū Thālib, apakah engkau benci, engkau tidak suka terhadap agama Abdul Muthālib?"
Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terus membimbing pamannya untuk mengucapkan "Lā ilāha illallāh" dan mengulang-ulang sampai akhirnya Abū Thālib tidak mau dan dia (Abū Thālib) meninggal dalam kondisi memeluk agama nenek moyangnya (Abdul Muthālib).
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan, "Demi Allāh, saya akan tetap memohonkan ampun untukmu selama aku belum dilarang."
Akan tetapi Allāh Subhānahu wa Ta'āla melarang sebagaimana disebutkan di dalam surat At Tawbah ayat 113.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
_"Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allāh) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabat(nya), setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam."_
Dan Allāh turunkan pula ayat yang berhubungan dengan ayat di atas dalam surat Al Qashash ayat 56.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
_"Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allāh memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk."_
Demikian untuk satu kisah Nabi kita Muhammad shallallāhu 'alayhi wa sallam, bahwa nabi sekalipun tidak memiliki hidayatul taufīq untuk siapapun.
Demikian.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________
🏦 *Donasi Dakwah BiAS* dapat disalurkan melalui :
• *Bank Mandiri Syariah* (Kode : 451)
• *No. Rek : 710-3000-507*
• *A.N : YPWA Bimbingan Islam*
📲 Konfirmasi donasi ke :  *0878-8145-8000*
▪ *Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
📝 Cantumkan kode angka 700 di akhir nominal transfer Anda...

Selasa, 13 November 2018

YANG MAHA MEMBERI PETUNJUK HANYALAH ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 05 Rabi’ul Awwal 1440H / 13 November 2018M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 02| Yang Maha Memberi Petunjuk Hanyalah Allāh
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-02
〰〰〰〰〰〰〰

*YANG MAHA MEMBERI PETUNJUK HANYALAH ALLĀH*


بسم اللّه الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ لله وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ، ولا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا باللَّهِ، أَمَّا بَعْدُ

Kaum muslimin rahimakumullāh.

Pada kesempatan kali (pertemuan ke-2) ini kita akan kembali melanjutkan pembahasan awal kitāb tentang pendidikan anak dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nasha'ihi Al Athibbāi tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh membawakan sub judul: الهادي هو الله ، والمهتدي من هداه الله , "Yang Maha memberikan petunjuk hanyalah Allāh dan orang yang mendapatkan petunjuk adalah siapa yang Allāh berikan hidayah atau petunjuk itu sendiri"

Maka ketahuilah wahai Ayah, wahai Ibu, dengan pengetahuan yang baik dan yakinlah dengan keyakinan yang sempurna bahwasanya benar-benar yang memberikan petunjuk itu adalah Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Allāh sajalah yang memberikan hidayah kepada kita dan juga anak-anak kita. Seandainya kita berusaha mendidik anak-anak kita dan mereka tumbuh berkembang menjadi anak-anak yang shālih dan shālihah, maka semua itu semata-mata karena petunjuk dari Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Karena Allāh lah yang yang Maha memberikan petunjuk, sebagaimana Allāh Subhānahu wa Ta'āla berkehendak untuk menyesatkan seorang hamba (na'ūdzu billāhi), maka tidak ada yang bisa memberikannya petunjuk.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman dalam surat Al 'Arāf ayat 178:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

_"Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allāh, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa disesatkan Allāh, maka merekalah orang-orang yang rugi."_

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  juga berfirman dalam surat Fāthir ayat 8:

فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۖ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ

_"Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Maka jangan engkau (Muhammad) biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka."_

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  pun berfirman di dalam surat As Sajdah ayat 13:

وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا

_"Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk (bagi) nya."_

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  juga berfirman di dalam surat Yūnus ayat 99:

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا

_"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya."_

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman dalam surat An Nūr ayat 35:

يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ

_"Allāh memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki."_

Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman dalam surat An Nūr ayat 46:

 وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

_"Dan Allah memberi petunjuk siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus."_

Kemudian juga didalam surat Al An'ām ayat 149, Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ ۖ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ

_Katakanlah (wahai Muhammad), “Alasan yang kuat hanya pada Allāh. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk."_

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman tentang perkataan Nabi Nūh 'alayhissallām sebagaimana di dalam surat Hūd ayat 34.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

وَلَا يَنْفَعُكُمْ نُصْحِي إِنْ أَرَدْتُ أَنْ أَنْصَحَ لَكُمْ إِنْ كَانَ اللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يُغْوِيَكُمْ ۚ هُوَ رَبُّكُمْ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

_"Dan nasihatku tidak akan bermanfaat bagimu sekalipun aku ingin memberi nasihat kepadamu, kalau Allāh hendak menyesatkan kamu. Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan."_

Dan juga perhatikan perkataan Nabi Īsā 'alayhissallām, sebagiamana di dalam surat Maryam 30 sampai 32, Allāh katakan tentang perkataan nabi Īsā 'alayhissallām:

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا ۞ وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۞ وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا

_Dia (Īsā) berkata, "Sesungguhnya aku hamba Allāh , Dia memberiku Kitāb (Injīl ) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) shalāt dan (menunaikan) zakāt selama aku hidup. Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka."_

Maka perhatikan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla di atas (QS Maryam 30-32), Allāh Subhānahu wa Ta'āla katakan tentang perkataan Nabi Īsā 'alayhissallām:

⑴ Sesungguhnya aku hamba Allāh, Allāh memberiku Kitāb (Injīl), Allāh jadikan aku nabi.

⑵ Allāh menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada

⑶ Allāh tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

Yang melakukan ini semua tentunya Allāh Subhānahu wa Ta'āla, padahal Nabi Īsā 'alayhissallām ketika itu masih digendong oleh ibunya (Maryam).

Jadi kesimpulannya, Allāh lah yang Maha memberikan petunjuk sebagiamana Allāh pula yang memberikan kesesatan jika Allāh berkendak.

Dan lihat pula kebalikannya.

Firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dalam surat Al Ahqāf ayat 17 dan 18, Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman tentang anak yang celaka (durhaka) kepada kedua orang tuanya.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla  berfirman:

وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا أَتَعِدَانِنِي أَنْ أُخْرَجَ وَقَدْ خَلَتِ الْقُرُونُ مِنْ قَبْلِي وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ وَيْلَكَ آمِنْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَيَقُولُ مَا هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ ۞ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ حَقَّ عَلَيْهِمُ الْقَوْلُ فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ إِنَّهُمْ كَانُوا خَاسِرِينَ

_Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya 'ah', "Apakah kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan (dari kubur), padahal beberapa umat sebelumku telah berlalu?" Lalu kedua orang tuanya itu memohon pertolongan kepada Allāh (seraya berkata), "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allāh itu benar." Lalu dia (anak itu) berkata, "Ini hanyalah dongeng orang-orang dahulu."_

_Mereka itu orang-orang yang telah pasti terkena ketetapan (adzāb) bersama umat-umat dahulu sebelum mereka, dari (golongan) jin dan manusia. Mereka adalah orang-orang yang rugi._

√ Siapa yang menyesatkannya?

√ Siapa yang membuatnya menyimpang?

Padahal kedua orang tuanya beriman kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Maka kita berdo'a kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

_"Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama Mu."_

(Hadīts shahīh riwayat At Tirmidzī nomor 3522)

اَللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ، صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

_"Yā Allāh, Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 2654)

Demikian.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_____________________
🏦 *Donasi Dakwah BiAS* dapat disalurkan melalui :

• *Bank Mandiri Syariah* (Kode : 451)
• *No. Rek : 710-3000-507*
• *A.N : YPWA Bimbingan Islam*

📲 Konfirmasi donasi ke :  *0878-8145-8000*

▪ *Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal*

📝 Cantumkan kode angka 700 di akhir nominal transfer Anda...

Senin, 12 November 2018

Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi MUQADDIMAH

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 04 Rabi’ul Awwal 1440H / 12 November 2018M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 01| Muqaddimah
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-01
〰〰〰〰〰〰〰


*MUQADDIMAH*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحبِهِ أَجْمَعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَبَعْدُ
Kaum muslimin rahimakumullāh.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas satu kitāb tentang pendidikan anak dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nasha'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan sebagian nasehat para dokter dalam hal ini, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh Ta'āla. Kitāb ini kami ambil dari penerbit Daru majid Ushaili, percetakan yang pertama tahun 1419 Hijriyyah (1998 Masehi).
Setelah penulis membawakan khutbatul hajjah mulai dari:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ........
_"Bahwasanya segala puji bagi Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya dan kita memohon ampunan-Nya...... "_
Kemudian setelah itu bersyahadat bahwasanya: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ( _Tidak ada sesembahan yang berhaq untuk disembah kecuali Allāh_) dan bersyahadat:  مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ ( _bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allāh Subhānahu wa Ta'āla_).
Dan membawakan beberapa ayat yang berkaitan dengam muqaddimah ini,
Kemudian penulis membawakan pengantar bahwa Allāh Subhānahu wa Ta'āla  menciptakan kita (manusia) sekaligus Allāh pun memuliakan kita. Dan Allāh mudahkan mereka semua untuk mendapatkan rejeki yang baik. Dan Allāh utamakan manusia di atas makhluk yang lain.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  tidak menciptakan manusia dalam keadaan sia-sia dan Allāh Maha Suci dari penciptaan yang sia-sia.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla pun tidak membiarkan mereka (makhluknya) begitu saja dan tidak mungkin bagi haq Allāh Subhānahu wa Ta'āla membiarkan begitu saja.  
Allāh Subhānahu wa Ta'āla ciptakan kita semua adalah dengan tujuan, dengan syari'at yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla bebankan kepada kita semua.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla perintahkan kita, 
Allāh Subhānahu wa Ta'āla larang kita,
Allāh Subhānahu wa Ta'āla berikan kita anjuran-anjuran (wasi'at-wasi'at),
Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan kita ujian-ujian (musibah) dan hal lainnya.
Kemudian kelak nanti pada hari kiamat Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan mengumpulkan kita semua (jin dan manusia) untuk meminta pertanggung jawaban terhadap apa yang telah Allāh Subhānahu wa Ta'āla bebankan kepada kita.
Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan bertanya tentang apa yang telah kita lakukan dari perintah-perintah-Nya dan kenapa kita melanggar dari larangan-larangannya. Semua akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.
Kemudian Allāh Subhānahu wa Ta'āla  pun akan bertanya, apakah kita bersabar terhadap ujian-ujian dan musibah yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla timpakan kepada kita atau tidak?
Di antara hal yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla bebankan kepada kita di dunia ini adalah dalam mendidik dan membimbing keturunan kita dan bagaimana caranya memperbaiki keturunan kita dan berusaha untuk menjaga kondisi yang baik dan menyelamatkan anak keturunan kita dari siksa neraka Jahannam.
Dalam hal ini Allāh Subhānahu wa Ta'āla telah berfirman di dalam surah At Tahrīm ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
_"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malāikat-malāikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allāh terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."_
Allāh Subhānahu wa Ta'āla  pun berfiman didalam surah An Nissā' ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ
_"Allāh telah wasiatkan kepada kalian tentang anak-anak kalian."_
⇒ Maksudnya adalah Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengamanahkan anak-anak kita kepada diri kita.
Ditafsirkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam sebagaimana dalam Shahīh Bukhāri dan Muslim. Dari Abdullāh bin 'Umar radhiyallāhu ta'āla 'anhumā, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا 
_"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala Negara) adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut.”_
(Hadīts riwayat Bukhāri nomor 2409 dan Muslim nomor 1829)
Dan sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam shahīh Muslim:
أَنَّ لِوَالِدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا.
_"Dan sesungguhnya anakmu memiliki hak atasmu."_
(Hadīts riwayat Muslim nomor 1159)
⇒ Maksudnya anak memiliki haq untuk dipelihara dibimbing dan dididik dengan. pendidikan Islām yang baik.
Maka anak yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla rejekikan kepada kita ini bisa menjadi kesenangan dan juga bisa menjadi fitnah (ujian atau cobaan) yang dengannya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menguji seluruh hamba-Nya.
√ Apakah mereka semua akan melaksanakan kewajiban mereka terhadap anak-anak mereka berupa mensyukuri nikmat Allāh dengan diberikannya keturunan (anak-anak) untuk mereka
√ Apakah kita menegakkan hukuman-hukuman dan batasan-batasan syari'at Allāh kepada anak-anak kita bila mereka melampaui batas.
√Apakah kita akan menempuh syarat-syarat dan syari'at yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla  terangkan kepada kita dalam Al Qur'ān maupun sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam terhadap anak-anak kita.
Ini semua tentunya bagi kita (orang yang ingin selamat) terhadap agama dan dunianya memperhatikan masalah ini dan betul-betul mengindahkan perintah Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan sebaik-baiknya.
Maka in syā Allāh Subhānahu wa Ta'āla dalam kitāb ini penulis akan membahas sejumlah fiqih dan hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan terhadap anak berupa adab, akhlaq, kemudian bagaimana cara berinteraksi dan bergaul bersama anak-anak kita.
Ini semua akan dijelaskan dalam kitāb ini (Fiqhu Tarbiyatul Abnā) yang tentunya tidak lepas dari dalīl-dalīl yang jelas dan benar dari Al Qur'ān dan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Dan bagaimana petunjuk Beliau dan para shahābat Beliau (radhiyallāhu ta'āla 'anhumu ajma'īn).
Ini sesi pertama yang bisa kami sampaikan semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_____________________
🏦 *Donasi Dakwah BiAS* dapat disalurkan melalui :
• *Bank Mandiri Syariah* (Kode : 451)
• *No. Rek : 710-3000-507*
• *A.N : YPWA Bimbingan Islam*
📲 Konfirmasi donasi ke :  *0878-8145-8000*
▪ *Format Donasi :  DONASIDAKWAHBIAS#Nama#Nominal#Tanggal*
📝 Cantumkan kode angka 700 di akhir nominal transfer Anda...

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits