Selasa, 30 Juli 2019

MEMBERI KUN-YAH KEPADA ANAK KECIL DAN MEMANGGILNYA DENGAN "ANAKKU"

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 27 Dzulqa’dah 1440 H / 30 Juli 2019 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 23 | Memberi Kun-yah Kepada Anak Kecil Dan Memanggilnya Dengan “Anakku”
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-23
~~~~~~~~~~~~

*MEMBERI KUN-YAH KEPADA ANAK KECIL DAN MEMANGGILNYA DENGAN "ANAKKU"*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ الْأَنْبِيَاءِ والْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصَحابِهِ أَجْمَعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أما بَعْدُ

Ma'āsyiral mustami'in para pendengar rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-23, dari kitāb  Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.

Pada sesi ini kita membahas satu sub judul yaitu:

▪ MEMBERIKAN KUN-YAH KEPADA ANAK KECIL

Kun-yah adalah sebutan atau gelar nama. Jika anak laki-laki maka diawali dengan Abū, (misalnya) Abū Fulān dan bila anak wanita diawali dengan Ummu (misalnya) Ummu Fulān.

Tidak mengapa seorang anak laki-laki ataupun wanita dipanggil dengan kun-yahnya meskipun mereka masih kecil.

Misalnya:

√ Anak laki-laki, kita panggil, "Yā, Aba Fulān!"

√ Ana wanita, kita panggil, "Yā, Umma Fulān! "

Ini telah dipraktekan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Beliau pernah memanggil saudara Annas bin Mālik yang saat itu usianya masih kecil (baru disapih ibunya).

Beliau bersabda:

يَا أَبَا عُنَيرِ مَا فَعَلَ النُّغَيرُ

_"Wahai Abū ‘Umair ! Apakah yang dilakukan oleh an nughair (burung kecil)?"_

Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) juga pernah berkata kepada seorang anak perempuan yang masih kecil.

Beliau bersabda:

يَا أُمَّ خَالِدِ هذا سنه

_"Wahai Ummu Khālid, ini adalah pakaian yang bagus."_

Ini menunjukkan memanggil anak-anak dengan kun-yah tidak masalah jika hal ini membuat anak-anak kita senang (dalam bab becanda dengan mereka).

Kemudian sub judul berikutnya adalah:

▪ SESEORANG BOLEH MENGATAKAN, "WAHAI ANAKKU" KEPADA SELAIN ANAKNYA

Seseorang boleh mengatakan, "Wahai anakku," kepada selain anaknya. Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam sebuah hadīts shahīh yang diriwayatkan oleh Muslim dari Annas bin Mālik radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau (radhiyallāhu ta'āla 'anhu) berkata:

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memanggilku dengan sebutan, "Wahai anakku!"

Dan ini bukan berarti penisbatan diri secara nasab kepada kita yang memanggilnya, akan tetapi ini merupakan panggilan kasih sayang kepada anak tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

________________________

HENDAKNYA KITA MEMILIH NAMA YANG BAIK UNTUK ANAK KITA.

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 26 Dzulqa’dah 1440 H / 29 Juli 2019 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath Athibbāi
🔊 Halaqah 22 | Hendaknya Kita Memilih Nama Yang Baik Untuk Anak Kita
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-22
~~~~~~~~~~~~

*HENDAKNYA KITA MEMILIH NAMA YANG BAIK UNTUK ANAK KITA*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، ولاحول ولا قوة إلا بالله أما بعد

Ma'āsyiral mustami'in para pendengar rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-22, dari kitāb  Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan sub judul berikutnya, yaitu: HENDAKNYA MEMILIH NAMA YANG BAIK BAGI ANAK.

Ini adalah hak seorang anak yang wajib kita penuhi. Kita harus memberi mereka nama yang baik, jangan memberinya nama yang jelek (bermakna tidak baik) sehingga orang-orang akan mengejek atau mencemoohkan mereka (karena sebab kita selaku orang tua memberi mereka nama-nama yang tidak baik). 

Berilah anak-anak kita nama yang baik yang mengandung makna yang baik atau indah. Berilah mereka nama-nama orang shālih, nama-nama nabi. Bahkan di antara ulamā ada yang membolehkan memberikan nama anak-anak kita dengan nama malāikat.

Karena nama para nabi, nama orang shālih dan nama hamba-hamba Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang bertakwa mengandung makna yang baik, (in syā Allāh) menjadi makna yang optimis dan baik juga.

Bahkan disebutkan dalam kitāb, bahwa:

والاسم الطيب له مدلول طيب حتى في الرؤيا

_"Nama yang baik akan mengandung arti dan makna yang baik, bahkan dalam mimpi sekalipun."_

Disebutkan dalam satu hadīts riwayat Muslim, Abū Dāwūd dan yang lainnya, dari hadīts Anas bin Mālik radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

رَأَيْتُ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ كَأَنَّا فِي دَارِ عُقْبَةَ بْنِ رَافِعٍ فَأُتِينَا بِرُطَبٍ مِنْ رُطَبِ ابْنِ طَابٍ فَأَوَّلْتُ الرِّفْعَةَ لَنَا فِي الدُّنْيَا وَالْعَاقِبَةَ فِي الآخِرَةِ وَأَنَّ دِينَنَا قَدْ طَابَ

_"Pada suatu malam aku melihat sesuatu yang biasa dilihat oleh seseorang yang sedang tidur (bermimpi), seakan-akan kami berada di dalam rumah 'Uqbah bin Rāfi', lalu dibawakan kepada kami kurma Ibnu Thāb. Selanjutnya kami menafsirkan mimpi tersebut dengan kedudukan yang tinggi di dunia, tempat yang baik di akhirat dan sesungguhnya agama kami telah sempurna."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim no 2270 dan Abū Dāwūd nomor 5025)

⇒ Kurma Ibnu Thāb adalah jenis kurma yang bagus, terkenal dikalangan penduduk Madīnah. Jenis kurma yang dinisbatkan kepada Ibnu Thāb.

Dalam riwayat lain, hadīts dari Al Bukhāri dari jalur Sa'id bin Al Musayyib dari bapaknya:

Sesungguhnya bapak beliau datang kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, lalu beliau bertanya:

"Siapa namamu?"
"Hazan (sulit, sedih)," jawabnya.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

"Namamu adalah Sahl (mudah)."

Dia berkata:

"Aku tidak akan pernah merubah nama yang telah diberikan oleh bapak kami."

Ibnul Musayyib berkata:

"Senantiasa kesulitan menimpa kami setelah itu."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6190)

⇒ Dengan sebab nama akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam banyak merubah nama para shahābat radhiyallāhu ta'āla 'anhum. Yang semula namanya bermakna buruk, Beliau rubah menjadi makna yang baik.

Diriwayatkan di dalam Shahīh Al Bukhāri dengan sanad yang mursal, dari jalan 'Ikrimah, beliau berkata:

Ketika Suhail bin 'Amr datang, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

"Semoga urusan kalian menjadi mudah."

Jadi berilah anak-anak kita nama yang baik, dari nama-nama orang-orang shālih yang memiliki keutamaan. Dan hindari memberi mereka nama-nama orang kāfir dan para pelaku maksiat karena akan memberi pengaruh buruk pada kehidupan mereka.

Di antara nama-nama yang baik adalah,  Muhammad (nama Nabi kita shallallāhu 'alayhi wa sallam), Maryam puteri 'Imrān dan saudaranya Hārun. Demikian pula dengan Mūsā saudaranya Hārun. Akan tetapi Maryam bukan saudara perempuan Mūsā, karena keduanya terpisah dalam kurun waktu yang lama (Nabi Mūsā berada sebelum Nabi Īsā).

Ketika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya tentang hal ini, Beliau menjawab:

إِنّّهُم كَانُوا يُسَمُّونَ بِأَنْبِيَائِهِم و الصّالِحِينَ قَبْلَهُم

_"Sesungguhnya mereka menamakan anak-anak mereka dengan nama para nabi dan orang-orang shālih sebelum mereka."_

(Hadīts riwayat Muslim nomor 2135, hadīts dari Al Mughirah bin Syu'bah).

Kemudian dari hadīts Abdullāh bin 'Umar, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إنَّ أَحَبَّ أَسمَائكم إلَى الله عبد الله و عبد الرّحمن

_"Sesudahnya nama yang paling Allāh cintai adalah 'Abdullāh dan 'Abdurrahmān."_

(Hadīts riwayat Muslim nomor 2132)

√ 'Abdullāh mengandung makna hamba Allāh.
√ 'Abdurrahmān mengandung makna hamba Allāh yang maha penyayang.

Kemudian dari hadīts Jābir bin 'Abdillāh radhiyallāhu ta'āla 'anhu secara marfu', Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

تَسَمُّوا بِاسْمِي ولا تَكْتَنُوا بِكُنيَتِي

_"Berilah nama dengan namaku dan janganlah memberi kun-yah dengan kun-yahku (Abu Qasim)."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6187,Muslim nomor 2133)

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan kita memberi nama anak-anak laki-laki kita dengan nama (seperti) Muhammad. Kebanyakan orang Indonesia selalu menambah banyak nama pada anak-anak mereka, padahal nama itu bukan nama ayahnya atau kakeknya.

⇒ Nama yang syari' cukup dengan satu suku kata saja (Muhammad, misalnya)

Bahkan putera Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau beri nama Ibrāhīm. Namun putera beliau tidak sampai dewasa, ketika bayi meninggal dunia (radhiyallāhu ta'āla 'anhu).

Diriwayatkan di dalam Shahīhain, dari hadīts Abū Mūsā radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata:

"Aku dikaruniai seorang anak, kemudian aku mendatangi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Beliau menamakan anak itu dengan nama Ibrāhīm."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6198 dab Muslim nomor 2145)

Oleh karena itu perhatikan masalah ini.

Ada nasehat dalam satu kitāb "Tasmiyatul Maulūd" yang ditulis oleh Syaikh Bakar bin Abdillāh Abū Zaid, beliau menasehati tentang pentingnya memberi nama yang baik pada anak-anak dan menghindarkan nama-nama yang buruk untuk mereka.

Syaikh Bakar bin Abdillāh Abū Zaid, berkata: 

إن الاسم عنوان المسمى فإذا كان الكتاب يقرأ من عنوانه فإن المولود يعرف من اسمه

_"Sesungguhnya sebuah nama adalah judul atau ciri seseorang, sebagaimana sebuah buku dilihat dari judulnya. Demikian pula seseorang diketahui keyakinan dan sudut pandang pemikirannya dari namanya.”_

Bahkan keyakinan orang yang memilih baginya sebuah nama bisa diketahui dari nama yang ia berikan.

Oleh karena itu perhatikan, ketika memberi nama untuk anak-anak kita!

Berilah anak-anak kita nama orang-orang shālih yang jelas telah Allāh puji di dalam Al Qurān maupun sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Demikian semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

________________________

Senin, 29 Juli 2019

HENDAKNYA KITA MEMILIH NAMA YANG BAIK UNTUK ANAK KITA

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 26 Dzulqa’dah 1440 H / 29 Juli 2019 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath Athibbāi
🔊 Halaqah 22 | Hendaknya Kita Memilih Nama Yang Baik Untuk Anak Kita
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-22
~~~~~~~~~~~~

*HENDAKNYA KITA MEMILIH NAMA YANG BAIK UNTUK ANAK KITA*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، ولاحول ولا قوة إلا بالله أما بعد

Ma'āsyiral mustami'in para pendengar rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-22, dari kitāb  Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan sub judul berikutnya, yaitu: HENDAKNYA MEMILIH NAMA YANG BAIK BAGI ANAK.

Ini adalah hak seorang anak yang wajib kita penuhi. Kita harus memberi mereka nama yang baik, jangan memberinya nama yang jelek (bermakna tidak baik) sehingga orang-orang akan mengejek atau mencemoohkan mereka (karena sebab kita selaku orang tua memberi mereka nama-nama yang tidak baik). 

Berilah anak-anak kita nama yang baik yang mengandung makna yang baik atau indah. Berilah mereka nama-nama orang shālih, nama-nama nabi. Bahkan di antara ulamā ada yang membolehkan memberikan nama anak-anak kita dengan nama malāikat.

Karena nama para nabi, nama orang shālih dan nama hamba-hamba Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang bertakwa mengandung makna yang baik, (in syā Allāh) menjadi makna yang optimis dan baik juga.

Bahkan disebutkan dalam kitāb, bahwa:

والاسم الطيب له مدلول طيب حتى في الرؤيا

_"Nama yang baik akan mengandung arti dan makna yang baik, bahkan dalam mimpi sekalipun."_

Disebutkan dalam satu hadīts riwayat Muslim, Abū Dāwūd dan yang lainnya, dari hadīts Anas bin Mālik radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

رَأَيْتُ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِيمَا يَرَى النَّائِمُ كَأَنَّا فِي دَارِ عُقْبَةَ بْنِ رَافِعٍ فَأُتِينَا بِرُطَبٍ مِنْ رُطَبِ ابْنِ طَابٍ فَأَوَّلْتُ الرِّفْعَةَ لَنَا فِي الدُّنْيَا وَالْعَاقِبَةَ فِي الآخِرَةِ وَأَنَّ دِينَنَا قَدْ طَابَ

_"Pada suatu malam aku melihat sesuatu yang biasa dilihat oleh seseorang yang sedang tidur (bermimpi), seakan-akan kami berada di dalam rumah 'Uqbah bin Rāfi', lalu dibawakan kepada kami kurma Ibnu Thāb. Selanjutnya kami menafsirkan mimpi tersebut dengan kedudukan yang tinggi di dunia, tempat yang baik di akhirat dan sesungguhnya agama kami telah sempurna."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim no 2270 dan Abū Dāwūd nomor 5025)

⇒ Kurma Ibnu Thāb adalah jenis kurma yang bagus, terkenal dikalangan penduduk Madīnah. Jenis kurma yang dinisbatkan kepada Ibnu Thāb.

Dalam riwayat lain, hadīts dari Al Bukhāri dari jalur Sa'id bin Al Musayyib dari bapaknya:

Sesungguhnya bapak beliau datang kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, lalu beliau bertanya:

"Siapa namamu?"
"Hazan (sulit, sedih)," jawabnya.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

"Namamu adalah Sahl (mudah)."

Dia berkata:

"Aku tidak akan pernah merubah nama yang telah diberikan oleh bapak kami."

Ibnul Musayyib berkata:

"Senantiasa kesulitan menimpa kami setelah itu."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6190)

⇒ Dengan sebab nama akan berpengaruh terhadap kehidupan seseorang.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam banyak merubah nama para shahābat radhiyallāhu ta'āla 'anhum. Yang semula namanya bermakna buruk, Beliau rubah menjadi makna yang baik.

Diriwayatkan di dalam Shahīh Al Bukhāri dengan sanad yang mursal, dari jalan 'Ikrimah, beliau berkata:

Ketika Suhail bin 'Amr datang, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:

"Semoga urusan kalian menjadi mudah."

Jadi berilah anak-anak kita nama yang baik, dari nama-nama orang-orang shālih yang memiliki keutamaan. Dan hindari memberi mereka nama-nama orang kāfir dan para pelaku maksiat karena akan memberi pengaruh buruk pada kehidupan mereka.

Di antara nama-nama yang baik adalah,  Muhammad (nama Nabi kita shallallāhu 'alayhi wa sallam), Maryam puteri 'Imrān dan saudaranya Hārun. Demikian pula dengan Mūsā saudaranya Hārun. Akan tetapi Maryam bukan saudara perempuan Mūsā, karena keduanya terpisah dalam kurun waktu yang lama (Nabi Mūsā berada sebelum Nabi Īsā).

Ketika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ditanya tentang hal ini, Beliau menjawab:

إِنّّهُم كَانُوا يُسَمُّونَ بِأَنْبِيَائِهِم و الصّالِحِينَ قَبْلَهُم

_"Sesungguhnya mereka menamakan anak-anak mereka dengan nama para nabi dan orang-orang shālih sebelum mereka."_

(Hadīts riwayat Muslim nomor 2135, hadīts dari Al Mughirah bin Syu'bah).

Kemudian dari hadīts Abdullāh bin 'Umar, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إنَّ أَحَبَّ أَسمَائكم إلَى الله عبد الله و عبد الرّحمن

_"Sesudahnya nama yang paling Allāh cintai adalah 'Abdullāh dan 'Abdurrahmān."_

(Hadīts riwayat Muslim nomor 2132)

√ 'Abdullāh mengandung makna hamba Allāh.
√ 'Abdurrahmān mengandung makna hamba Allāh yang maha penyayang.

Kemudian dari hadīts Jābir bin 'Abdillāh radhiyallāhu ta'āla 'anhu secara marfu', Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

تَسَمُّوا بِاسْمِي ولا تَكْتَنُوا بِكُنيَتِي

_"Berilah nama dengan namaku dan janganlah memberi kun-yah dengan kun-yahku (Abu Qasim)."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6187,Muslim nomor 2133)

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menganjurkan kita memberi nama anak-anak laki-laki kita dengan nama (seperti) Muhammad. Kebanyakan orang Indonesia selalu menambah banyak nama pada anak-anak mereka, padahal nama itu bukan nama ayahnya atau kakeknya.

⇒ Nama yang syari' cukup dengan satu suku kata saja (Muhammad, misalnya)

Bahkan putera Rasulullah shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau beri nama Ibrāhīm. Namun putera beliau tidak sampai dewasa, ketika bayi meninggal dunia (radhiyallāhu ta'āla 'anhu).

Diriwayatkan di dalam Shahīhain, dari hadīts Abū Mūsā radhiyallāhu ta'āla 'anhu, beliau berkata:

"Aku dikaruniai seorang anak, kemudian aku mendatangi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan Beliau menamakan anak itu dengan nama Ibrāhīm."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6198 dab Muslim nomor 2145)

Oleh karena itu perhatikan masalah ini.

Ada nasehat dalam satu kitāb "Tasmiyatul Maulūd" yang ditulis oleh Syaikh Bakar bin Abdillāh Abū Zaid, beliau menasehati tentang pentingnya memberi nama yang baik pada anak-anak dan menghindarkan nama-nama yang buruk untuk mereka.

Syaikh Bakar bin Abdillāh Abū Zaid, berkata: 

إن الاسم عنوان المسمى فإذا كان الكتاب يقرأ من عنوانه فإن المولود يعرف من اسمه

_"Sesungguhnya sebuah nama adalah judul atau ciri seseorang, sebagaimana sebuah buku dilihat dari judulnya. Demikian pula seseorang diketahui keyakinan dan sudut pandang pemikirannya dari namanya.”_

Bahkan keyakinan orang yang memilih baginya sebuah nama bisa diketahui dari nama yang ia berikan.

Oleh karena itu perhatikan, ketika memberi nama untuk anak-anak kita!

Berilah anak-anak kita nama orang-orang shālih yang jelas telah Allāh puji di dalam Al Qurān maupun sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Demikian semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

________________________

Kamis, 18 Juli 2019

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 39

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 14 Dzulqa’dah 1440 H / 17 Juli 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 042 | Hadits 39
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H042
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 39*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-42 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-39, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Amr bin 'Auf Al Muzaniy radhiyallāhu ta'āla 'anhu. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

 الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا وأَحَلَّ حَرَامًا، وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا وَأَحَلَّ حَرَامًا.

_"Melakukan shulh (perdamaian) boleh dilakukan di antara sesama kaum muslimin,  kecuali berdamai yang di dalamnya terkandung mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram. Dan kaum muslimin wajib untuk diberikan sesuai dengan apa yang mereka syaratkan kecuali apabila syarat tersebut mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram."_

(Hadīts shahīh riwayat At Tirmidzī)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini berisi tentang dua perkara penting di dalam bermuamalah.

Hadīts ini mencakup:

√ Perkara shulh (perdamaian) dan syarat melakukan perdamaian antara kedua belah pihak tatkala mereka bersengketa.

√ Perkara mengajukan syarat di dalam melakukan suatu akad.

⑴ Perkara shulh (perdamaian)

Shulh adalah perdamaian atau menempuh jalan damai tatkala berselisih atau bermusuhan.

Shulh merupakan sesuatu yang baik dan dianjurkan oleh syar'iat.

Apabila perdamaian tersebut mengharuskan salah satu atau kedua belah pihak merelakan haknya maka ini boleh dilakukan.

Selama hal itu tidak berupa mengharamkan apa yang halal seperti mengambil hak orang lain dengan tanpa izin, dan tidak pula menghalalkan sesuatu yang diharamkan seperti terjerumus ke dalam perbuatan riba (misalnya) merelakan haknya untuk menbayarkan riba.

Maka hal ini tidak diperbolehkan karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam di dalam hadīts ini mensyaratkan, "Bolehnya melakukan perdamaian selama tidak mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan yang haram."

Dibawakan beberapa contoh dalam permasalahan ini.

Contoh:

• Permasalahan shulh (berdamai) yang boleh.

Si A meminjamkan uang pada si B dan si B (peminjam) mengakui memiliki hutang kepada si A, maka boleh si A (pemilik uang) merelakan sebagian uangnya atau merelakan semua uangnya tidak dibayar oleh si B (ini termasuk shulh)

Atau seandainya si B (yang berhutang) dia mengingkari bahwasanya dia memiliki hutang kepada si A, maka tidak mengapa si A (yang meminjamkan uang) merelakan hutangnya tidak dibayar oleh si B, daripada harus bertengkar dan bermusuhan gara-gara si B (yang berhutang) mengingkari kalau dia memiliki hutang kepada si A.

• Permasalahan dalam rumah tangga

Begitu juga di dalam kehidupan rumah tangga, boleh bagi suami istri untuk melakukan shulh (berdamai) tatkala mereka bersengketa dalam suatu hak, boleh merelakan beberapa hak dari masing-masing.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman: 

فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيرٌ

_"Maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”_

(QS. An Nissā': 128)

• Perdamian dalam hukum had

Melakukan shulh dalam permasalah hak yang harus ditunaikan dalam hukuman had.

Misalkan:

Pihak korban menggantinya dengan diyat pembayaran atas qishāsh (ganti qishāsh) atau atas luka yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut maka ini termasuk hal yang boleh dilakukan oleh kedua belah pihak. 

Dan ini masuk dalam sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa salaam:

الصُّلْحُ جَائِزٌ

_"Melakukan perdamaian itu boleh. "_

⑵ Mengajukan syarat di dalam melakukan suatu akad.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا وَأَحَلَّ حَرَامًا

_"Dan kaum muslimin wajib untuk diberikan sesuai dengan apa yang mereka syaratkan kecuali apabila syarat tersebut mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram."_

Contoh:

Misalkan dalam syarat akad terdapat kelebihan riba, maka itu tidak diperbolehkan.

Syarat tersebut merupakan syarat yang bathil karena di dalam syarat tersebut, "menghalalkan apa yang haram".

Namun jika terlepas dari hal tersebut, (mengharamkan apa yang halal atau menghalalkan apa yang haram) maka pada asalnya syarat tersebut boleh dan wajib untuk ditunaikan.

Contoh:

Misalkan pada transaksi jual beli, si pembeli mensyaratkan adanya sifat-sifat tertentu yang telah disebutkan di dalam akad, maka penjual wajib memenuhi syarat yang telah diajukan tersebut.

Misalkan sang pembeli mensyaratkan penundaan pembayaran setelah beberapa waktu dengan tempo yang telah ditentukan, maka syarat ini boleh untuk disepakati dan penjual wajib untuk memberikan tenggang hingga batas waktu yang telah disepakati.

Atau sebaliknya,

Misalnya penjual dia mensyaratkan untuk memakai barangnya terlebih dahulu selang beberapa waktu setelah terjadinya akad (dengan ditentukan waktunya) maka ini juga boleh dilakukan.

Contoh:

Penjual akan menjual rumahnya namun mensyaratkan rumah tersebut baru akan diserahkan kepada pembeli setelah satu bulan terjadinya akad, maka ini juga boleh dilakukan.

Dari hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan kepada kita faedah yang penting di dalam melakukan perdamaian dan di dalam mengajukan syarat di dalam bermuamalah sesama manusia.

Demikian beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadīts yang mulia ini.

Semoga ini bisa memberikan kepada kita pencerahan tentang bagaimana mengajukan atau melakukan perdamaian di dalam bersengketa dengan orang lain dan juga mengajukan syarat di dalam bermuamalah dengan orang lain.

Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah  kali ini.

In syā Allāh akan kita lanjutkan pembahasan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________________

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 38

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 13 Dzulqa’dah 1440 H / 16 Juli 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 041 | Hadits 38
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H041
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 38*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-41 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-38, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ .

_"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang jual beli hashāt dan jual beli gharar.”_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1513)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini merupakan ungkapan yang jami', (yaitu) satu ungkapan yang maknanya menyeluruh bagi semua gharar.

Di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang semua jual beli yang di dalamnya terdapat unsur gharar.

Gharar adalah:  المخاطرة و جهله , ketidakjelasan dan adanya kondisi untung rugi yang tidak bisa diprediksi.

Contoh:

√ Seseorang menjual barang dan barang tersebut tidak bisa diketahui, apakah bisa diperoleh oleh pembeli atau tidak.

Misalnya:

Membeli seorang budak yang telah kabur dari penjualnya, sehingga pembeli tidak tahu apakah bisa menangkapnya (mendapatkan budak tersebut) atau tidak. 

√ Menjual barang yang telah diambil (dibeli) oleh orang lain. Jadi dijual lagi barang tersebut.

Pembeli tidak mengetahui apakah barang yang sudah dia beli bisa diperoleh kembali atau tidak. Disini ada ketidakjelasan dalam untung atau rugi.

Kalau barang tersebut bisa pembeli dapatkan maka pembeli beruntung, tetapi jika barang tersebut tidak bisa didapatkan maka pembeli rugi karena dia telah membayar (menyerahkan uang) untuk barang yang dia tidak dapatkan.

Maka ini diistilahkan sebagai: بَيْعِ الْغَرَرِ , yaitu jual beli yang di dalamnya terdapat unsur ketidakjelasan dalam untung atau rugi. 

Jual beli gharar ini banyak bentuknya. Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mencontohkan di dalam hadīts ini dengan; بَيْعِ الْحَصَاةِ , yang diartikan kerikil.

Namun maknanya adalah seseorang menjual barang dengan mengatakan kepada pembeli;

√ Silahkan kamu melempar dengan kerikil ini kearah barang mana saja, nanti barang yang terkena lemparan, barang itu akan menjadi milikmu (pembeli).

√ Dia menjual tanah dengan mengatakan kepada pembelinya, "Silahkan melempar dengan kerikil ini." dan tanah yang akan diserahkan kepada pembeli tersebut sejauh lemparan kerikilnya (pembeli).

Tidak peduli apakah dibayarkan dengan harga yang tinggi atau harga yang rendah yang jelas akan diserahkan sesuai dengan sejauh mana kerikil itu jatuh, maka ini ada unsur gharar (ketidakjelasan).

Dimana pembeli bisa mendapatkan barang lebih banyak dari harga yang dia bayarkan atau barang yang dia dapatkan lebih sedikit dari uang yang dia serahkan. Dia berada dalam kondisi untung atau rugi dan ini serupa dengan maysir (perjudian).

Oleh karena itu Syaikh di sini mengatakan:

"Bahwasanya gharar masuk dalam kategori maysir (perjudian).”

Kenapa?

Karena di dalam gharar tersebut ada unsur ketidakjelasan dalam jual beli, dalam untung atau rugi. Ibarat orang yang berjudi, dia tidak tahu apakah dia akan menang atau kalah.

Di antara hikmah yang diberikan oleh syariat ini ketika melarang jual beli gharar adalah agar tidak menimbulkan permusuhan di antara penjual dan pembeli, karena seandainya salah satu dari mereka merasa dirugikan tentunya mereka akan menuntut kepada pihak lain, karena salah satu dari mereka merasa dirugikan sehingga akan terjadi perdebatan, persengketaan di antara keduanya. Oleh karena itu jual beli gharar dilarang.

Dan para ulamā telah mensyaratkan beberapa hal di dalam transaksi jual beli, di antaranya:

⑴ Jual beli harus jelas bentuk, sifat dan harga barang yang akan dijual, karena jika tidak jelas maka termasuk gharar.

⑵ Orang yang melakukan transaksi jual beli harus memiliki kriteria cakap dalam bertransaksi, diizinkan dalam bertransaksi secara syar'iat. Yaitu terpenuhi usia (bāligh, berakal) serta memiliki kecakapan dalam mengelola keuangan.

⑶ Harus jelas batas waktu pembayaran harga dan penyerahan barang yang akan dijualbelikan.

Seandainya barang dijanjikan untuk diserahkan dikemudian hari atau dibayar kemudian hari, maka jatuh temponya harus jelas. Harus disepakati di awal akad, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Kesimpulannya:

Jual beli gharar termasuk jual beli yang dilarang dan bentuk-bentuknya beraneka ragam di antaranya adalah:

⑴ Menjual barang yang belum ada atau barang yang tidak ada dan tidak disifatkan barangnya.

⑵ Menjual barang yang sebenarnya ada tetapi tidak bisa diperoleh (seperti) budak yang telah kabur sehingga pembeli harus menangkap (mencari) sendiri budak tersebut.

⑶ Menjual barang yang tidak diketahui sifat, jenis dan dzatnya.

Syar'iat telah menetapkan ketentuan-ketentuan agar jual beli yang dilakukan merupakan jual beli yang didasari atas keridhāan dan tidak menimbulkan kemudharatan.

Demikian yang bisa kita bahas pada halaqah  kali ini.

In syā Allāh akan kita lanjutkan pembahasan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________________

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 37

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 12 Dzulqa’dah 1440 H / 15 Juli 2019 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 040 | Hadits 37
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H040
〰〰〰〰〰〰〰

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 37

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-40 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhyār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada pembahasan hadīts yang ke-37, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hazām radhiyallāhu ta'āla 'anhu.

Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا {متفق عليه}

"Dua orang yang melakukan jual beli mereka masih memiliki khiyār selama mereka belum berpisah, jika keduanya jujur di dalam jual beli tersebut dan menjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan apa yang patut untuk dijelaskan, maka jual beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Akan tetapi jika keduanya berbohong dan menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disampaikan, maka keberkahan akan dihapuskan dari transaksi jual belinya."

(Hadīts riwayat Al Bukhāri dan Muslim)

Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'dī rahimahullāh menjelaskan bahwa hadīts ini termasuk salah satu hadīts pokok yang menjelaskan tentang jual beli yang bermanfaat dan mudharat.

Karena jika seseorang bermuamalah (transaksi jual beli),

√ Ada kalanya transaksi yang dia lakukan merupakan transaksi yang bermanfaat dan mendatangkan keuntungan duniawi dan ukhrawi.

√ Ada kalanya muamalah yang dia lakukan memudharati dirinya sendiri, baik di dunia maupun di akhiratnya.

Apa yang menentukan muamalah itu bermanfaat atau tidak?

⇒ Disebutkan dalam hadīts yang mulia ini adalah sifat jujur dalam melakukan muamalah tersebut.

Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sebutkan:

"Jika dia jujur maka dia akan mendapatkan keberkahan, jika dia berbohong maka akan dihapuskan keberkahan darinya"

Barangsiapa jujur di dalam bermuamalah (misalnya) ketika sedang bermuamalah dia menjelaskan semua hal-hal yang harus dan perlu dijelaskan kepada pihak lawannya (pembeli) baik itu aib, kekurangan dan lainnnya dengan tujuan pembeli ridhā dengan apa yang dia beli maka ini merupakan bentuk jual beli yang bermanfaat di dunia dan di akhirat.

√ Bermanfaat di dunia karena dengan jujur dia telah menjalankan perintah Allah dan Rasūl Nya (yaitu) untuk jujur dalam bermuamalah, dengan jujur dia akan selamat dari dosa dan akan turun keberkahan didalam muamalahnya.

√ Bermanfaat di ākhirat, karena dengan jujur dia akan mendapatkan pahala dan selamat dari iqab kelak yang mengancam orang yang tidak jujur dalam muamalah.

Sebaliknya barangsiapa dia berdusta dan menyembunyikan aib di dalam transaksi jual beli (tidak transparan) tidak menjelaskan apa yang perlu diketahui pembeli, padahal itu sesuatu yang penting untuk dijelaskan, maka muamalah seperti ini akan menjadi mudharat baginya.

Di dunia dia mendapatkan dosa dari muamalah tersebut dan akan dihapuskan keberkahan padanya, jikalau keberkahan telah dihapus dan diangkat dari suatu muamalah maka orang yang melakukan muamalah tersebut akan rugi dunia akhirat.

Kemudian beliau rahimahullāh juga menjelaskan bahwasanya dari hadīts ini kita mengetahui;

⑴ Haramnya Tadlis

Haramnya melakukan penipuan di dalam bermuamalah, baik dengan cara menyembunyikan aib barang atau dengan cara penipuan dengan metode yang bermacam-macam (seperti) mengurangi timbangan atau takaran maupun dengan berbohong terhadap barang yang akan dijual.

⑵ An Najsy (tanajusy)

An nasjsy yaitu tawar menawar palsu (merekayasa penawaran) dengan tujuan untuk menaikan harga ketika ada pembeli.

⑶ Talaqqil Jalab

Talaqqil jalab yaitu orang yang membeli barang atau menjual barang sebelum sampai di tempat pemasaran secara umum, sehingga dia mendapat harga yang lebih murah dengan menipu pembeli atau penjualnya.

Karena pembeli dan penjual tidak tahu harga pasaran, maka yang seperti ini termasuk jual beli yang haram (mudharat bagi pelakunya)

Kemudian beliau rahimahullāh menjelaskan dhabitnya yaitu yang menjadi tolak ukur kapan jual beli itu dikatakan jual beli yang bohong atau menyembunyikan sesuatu dari pembeli adalah jikalau dia melakukan sesuatu dalam muamalah yang dia sendiri tidak senang diperlakukan dengan cara tersebut, maka itu berarti dia pun tidak boleh melakukan dengan cara tersebut.

Kemudian di dalam hadīts ini juga kita bisa mengambil satu faedah yaitu tentang hukum khiyār majlis yaitu bolehnya penjual dan pembeli untuk memilih apakah ingin melanjutkan akad atau membatalkan akad selama keduanya masih berada di tempat transaksi.

Sebagaimana sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam,

البيعان بالخيار ما لم يتفرقا

"Dua orang yang melakukan jual beli mereka masih memiliki khiyār selama mereka belum meninggalkan tempat transaksi.”

Maksudnya adalah seorang melakukan transaksi jual beli ternyata dia berubah pikiran dan ingin membatalkan akadnya. Selama mereka masih di tempat transaksi, maka masing-masing boleh membatalkan baik penjual maupun pembeli.

Demikian beberapa faedah yang bisa kita ambil dari hadīts ini dan hadīts ini termasuk di antara hadīts-hadīts pokok yang berkenaan dengan masalah jual beli.

Cukup sampai disini halaqah kita kali ini.

In syā Allāh akan kita lanjutkan pembahasan hadīts berikutnya pada halaqah yang akan datang.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_________________________

Jumat, 12 Juli 2019

NasihatSingkatBIAS-38

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 09 Dzulqa'dah 1440 H / 12 Juli 2019 M
👤 Ustadz Abdullah Taslim, Lc., M.A.
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 38 | Semua Perintah Allah Adalah Kebaikan
🔄 Unduh : bit.ly/NasihatSingkatBIAS-38
〰〰〰〰〰〰〰

🔜 *Jangan lupa untuk muroja'ah materi & mengerjakan Kuis Evaluasi Pekanan Bimbingan Islam, klik  https://evaluasi.bimbinganislam.com/index.php/login !!!*

_______________

Rabu, 10 Juli 2019

HADĪTS YANG BERKAITAN DENGAN MENYEMIR RAMBUT RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 07 Dzulqa’dah 1440 H / 10 Juli 2019 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 33 | Hadits Yang Berkaitan Dengan Menyemirn Rambut Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-33
〰〰〰〰〰〰〰

*HADĪTS YANG BERKAITAN DENGAN MENYEMIR RAMBUT RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM*

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ وَالْأَخْلَاقَ وَالْأَرْزَاقَ وَالْأَفْعَالَ، وَلَهُ الشُّكْرُ عَلَى إِسْبَاغِ نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِالْإِفْضَالِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُولِهِ الْمُخْتَصِّ بِحُسْنِ الشَّمَائِلِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَوْصُوفِينَ بِالْفَوَاضِلِ وَالْفَضَائِلِ، وَعَلَى أَتْبَاعِهِ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِمَا ثَبَتَ عَنْهُ بِالدَّلَائِلِ. أما بعد

Sahabat BiAS rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Ada banyak nikmat yang perlu kita syukuri di antara nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat menuntut ilmu.

Dan pada kesempatan kali ini (pertemuan ke-33) in syā Allāh, kita melanjutkan pembahasan Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah, karya Imām Abū Īsā At Tirmidzī rahimahullāhu ta'āla.

Hari ini kita akan melanjutkan pembahasan hadīts yang berkaitan tentang, "Apakah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambut atau kah tidak”.

Yang mana hal tersebut diperselisihkan para ulamā bahkan juga diperselisihkan oleh para syahādat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Di antara hadīts yang membahas hal ini adalah hadīts Jahdamah radhiyallāhu ta'āla 'anhā.

Tentang hadīts ini, Imām At Tirmidzī berkata,

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ هَارُونَ قَالَ: أَنْبَأَنَا النَّضْرُ بْنُ زُرَارَةَ، عَنْ أَبِي جَنَابٍ، عَنْ إِيَادِ بْنِ لَقِيطٍ، عَنِ الْجَهْدَمَةِ، امْرَأَةِ بِشْرِ ابْنِ الْخَصَاصِيَّةِ، قَالَتْ: «أَنَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْتِهِ يَنْفُضُ رَأْسَهُ وَقَدِ اغْتَسَلَ، وَبِرَأْسِهِ رَدْعٌ مِنْ حِنَّاءٍ» أَوْ قَالَ: «رَدْغٌ» شَكَّ فِي هَذَا الشَّيْخُ

_Memberikan hadīts kepadaku Ibrāhīm ibnu Hārun, Ibrāhīm ibnu Hārun berkata: memberikan hadīts kepadaku An Nadhr ibnu Zurārah dari Abū Janāb dari Iyād bin Laqīth dari Al Jahdamah istri dari Bisyr bin Al Khashāshiyyah._

_Al Jahdamah berkata:_

_"Aku melihat Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam keluar dari rumahnya dengan mengusap air sisa mandi dari kepalanya. Saat itu ada sisa-sisa bahan semir di kepala Beliau._

Pada hadits tersebut ada kata رَدْعٌ dan رَدْغٌ kita artikan dengan sisa-sisa bahan semir di kepala Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Namun jika kita artikan secara detail, رَدْعٌ adalah semir dari bahan za’faran dan wars.

Apa itu za’faran dan wars?

Za’faran dan wars keduanya adalah jenis tumbuhan, yang bisa memberikan warna kuning, mungkin kalau di Indonesia seperti kunir dan sejenisnya, Wallāhu A’lam.

Adapun رَدْغٌ adalah sisa-sisa henna.

Apa itu henna ?

Henna adalah sejenis tumbuhan, bahasa ilmiyahnya adalah Lawsonia inermis atau bahasa kita adalah pacar kuku.

Dari dua definisi tersebut kita artikan bahwa Jahdamah melihat di atas kepala Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ada bahan yang biasa dipakai oleh orang arab untuk mewarnai rambut mereka.

Hadīts ini dikatakan oleh Syaikh Albāniy sebagai hadīts yang dhaif (lemah)  karena dua rawi yang bermasalah.

Yaitu:

⑴ Nadhr ibnu Zurārah, beliau dianggap mastur.

Mastur dalam istilah hadīts memiliki arti bahwa rawi tersebut (belum diketahui keadaannya secara pasti baik berkaitan dengan kekuatan hafalan atau kejujuran atau faktor lainnya.

⑵ Abū Janāb yang bernama Yahyā bin Abī Hayyah, beliau adalah mudallis.

Mudallis dalam ilmu hadīts adalah seorang yang suka menggunakan kata-kata yang terkadang mengecoh pendengar baik yang berkaitan dengan nama guru, nama tempat, bahkan terkadang seorang mudallis bisa menghilangkan guru aslinya dari sanad,  karena guru tersebut lemah hafalannya, agar hadīts yang disampaikan tidak ditinggalkan oleh pendengarnya.

Ini salah satu ciri-ciri mudallis (ini dipelajari dalam musthalah hadīts, tidak bisa diterangkan di sini)

Dari dua sebab itulah, Syaikh Albāniy mendhaif-kan hadīts ini (ini terkait derajat hadītsnya).

Jika hadīts ini dianggap shahīh maka tidak mengharuskan bahwa Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambutnya, karena kita ingat bahwa uban Beliau sangat sedikit sekali, hanya sekitar dua puluh helai saja, bahkan ada yang mengatakan kurang.

Sehingga Syaikh Abdurrazaq mengatakan yang maknanya, "Bisa jadi Beliau meletakan bahan semir seperti za’faran atau henna atau yang lainnya dalam rangka pengobatan atau pendinginan kepala atau semisalnya, bukan dalam rangka menyemir."

Kesimpulannya adalah:

"Hadīts ini dhaif dan andai saja hadīts ini shahīh masih mengandung kemungkinan-kemungkinan."

Itulah kesimpulan yang bisa kita ambil dari pembahasan hadīts tersebut.

Wallāhu Ta'āla A'lam.

وصلى الله على نبينا محمد

____________

Selasa, 09 Juli 2019

HADĪTS YANG BERKAITAN DENGAN MENYEMIR RAMBUT RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 06 Dzulqa’dah 1440 H / 09 Juli 2019 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 32 | Hadits Yang Berkaitan Dengan Menyemir Rambut Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-32
〰〰〰〰〰〰〰

*HADĪTS YANG BERKAITAN DENGAN MENYEMIR RAMBUT RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM*

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ وَالْأَخْلَاقَ وَالْأَرْزَاقَ وَالْأَفْعَالَ، وَلَهُ الشُّكْرُ عَلَى إِسْبَاغِ نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِالْإِفْضَالِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُولِهِ الْمُخْتَصِّ بِحُسْنِ الشَّمَائِلِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَوْصُوفِينَ بِالْفَوَاضِلِ وَالْفَضَائِلِ، وَعَلَى أَتْبَاعِهِ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِمَا ثَبَتَ عَنْهُ بِالدَّلَائِلِ. أما بعد

Sahabat BiAS rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Ada banyak nikmat yang perlu kita syukuri di antara nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat menuntut ilmu.

Dan pada kesempatan kali ini (pertemuan ke-32) in syā Allāh, kita melanjutkan pembahasan Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah, karya Imām Abū Īsā At Tirmidzī rahimahullāhu ta'āla.

Kali ini kita akan membahas tentang biografi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Dan pada kesempatan kali ini kita meneruskan pembacaan hadīts yang berkaitan tentang, apakah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambut ataukah tidak.

Yang mana hal tersebut diperselisihkan oleh para ulamā bahkan para shahābat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

In syā Allāh  ini adalah hadīts nomor 46 dari kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah, yang ditulis oleh Imām At Tirmidzī rahimahullāhu.

Imām At Tirmidzī berkata :

حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي

_"Sufyān bin Wakī' memberikan hadīts kepadaku, dia mengatakan ayahku memberikan hadīts."_

Ibnu Hajar berkata tentang Wakī' bin Al Jarrah ini (ayah dari Sufyān bin wakī'):

"Beliau  terpercaya, penghafal hadīts (hafidz) dan seorang ahli ibadah."

Imām Ahmad berkata :

"Wakī'  adalah imam kaum muslimin pada masanya.”

Marwan bin Muhammad Ath Thathari berkata :

"Aku tidak pernah melihat orang yang lebih khusyu' dari Wakī'. Dan biasanya ketika ada seorang yang diceritakan kepadaku, pasti ku dapati orang tersebut lebih buruk dari pada ceritanya, kecuali Wakī'. Aku melihatnya ia lebih baik dari pada cerita-cerita yang sampai kepadaku.”

Kemudian Imām Wakī' juga pernah mengatakan :

"Seorang tidak akan sempurna, sampai ia mau belajar dengan orang yang lebih utama, dengan orang yang sama, dan dengan orang yang lebih rendah darinya.”

Imām Wakī', berkata:

عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ مَوْهَبٍ قَالَ: سُئِلَ أَبُو هُرَيْرَةَ

_Dari Syarīk, dari Utsmān bin Mauhab, dia berkata Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu pernah ditanya,_

Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu adalah seorang shahābat yang paling banyak meriwayatkan hadīts, beliau meriwayatkan sekitar 5374 hadīts. Walaupun beliau adalah seorang yang tidak begitu lama kebersamaannya bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Karena beliau masuk Islām sekitar tahun 7 Hijriyyah dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam meningal tahun 11 Hijriyyah hanya. Sekitar 3 atau 4 tahun saja kebersamaannya bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Lalu kenapa beliau bisa meriwayatkan hadīts sebanyak itu, padahal shahābat yang lain tidak bisa meriwayatkan hadīts sebanyak itu ?

Setidaknya ada tiga jawaban, yaitu:

⑴ Beliau adalah orang yang semangat untuk belajar kepada Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Imām Al Bukhāri pernah meriwayatkan sebuah hadīts dari shahābat Abū Hurairah ketika beliau bertanya tentang, "Siapakah orang yang paling bahagia dengan syafā'atmu wahai Rasūlullāh?"

Sebelum Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab pertanyaan dari Abī Hurairah, Beliau mengatakan, "Wahai Abū Hurairah, aku sudah menyangka bahwa tidak akan ada orang yang mendahuluimu bertanya tetang hal ini, karena aku melihat engkau sangat semangat untuk belajar hadīts.”

Lalu Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam baru menjawab pertanyaan Abī Hurairah terkait siapakah orang yang paling bahagia dengan syafā'at Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam.

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri nomor 99 dan nomor 6570)

⑵ Karena beliau (Abī Hurairah) mendapatkan do'a dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam agar kuat hafalannya.

Beliau pernah mengatakan:

Aku pernah mengadu:

"Wahai Rasūlullāh, aku mendengar banyak hadīts dari mu, hanya saja aku lupa."

Maka Beliaupun (shallallāhu 'alayhi wa sallam) meminta agar Abū Hurairah membentangkan kain baju atasnya. Setelah dibentangkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam seakan-akan menuangkan sesuatu pada kain tersebut. Lalu Beliau memerintahkan Abū Hurairah untuk mendekap kain itu.

Setelah itu Abū Hurairah berkata:

"Setelah kejadian tersebut, aku tidak lupa satu hadīts pun dari Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam).”

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri nomor 3648 dan Muslim nomor 2493)

⑶ Karena beliau (Abū Hurairah) selalu bersama Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dan hanya makan sebatas kenyang saja, beliau tidak sibuk dengan dunia tetapi fokus dengan belajar.

Dikatakan dalam sebuah hadīts:

"Abū Hurairah memiliki hadīts yang banyak, karena dia adalah seorang yang selalu membersamai Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan mencukupkan diri untuk makan secukupnya saja dan selalu menghadiri apa yang tidak dihadiri shahābat yang lain dan menghafal apa yang tidak dihafal shahābat yang lain."

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri nomor 118)

Inilah alasan kenapa beliau menjadi istimewa dan bisa meriwayatkan banyak hadīts, bahkan menjadi shahābat yang paling banyak meriwayatkan hadīts (sekitar 5374 hadīts).

Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu pernah ditanya :

هَلْ خَضَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ: «نَعَمْ»
قَالَ أَبُو عِيسَى: " وَرَوَى أَبُو عَوَانَةَ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ، فَقَالَ: عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ "

_"Apakah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambutnya?" Beliau menjawab, "Iya."_

_Berkata Abū Īsā (At Tirmidzī):_

_Abū 'Awānah meriwayatkan hadīts ini dari Utsmān bin Abdillāh bin Mauhab, beliau mengatakan dari Ummi Salamah._

Hadīts ini dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh dan hadīts ini menunjukkan bahwa Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu termasuk shahābat yang berpendapat bahwa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambutnya.

Dan Imām At Tirmidzī mengisyaratkan ada riwayat lain yang mendukung hal ini, yaitu riwayat dari Ummu Salamah istri Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dan sebagian ulamā berpendapat dengan pendapat yang lain, ketika Imām At Tirmidzī mengatakan bahwa Abū 'Awānah meriwayatkan hadīts ini dari Utsmān bin Abdillāh bin Mauhab dan beliau mengatakan dari Ummu Salamah, maka Imām At Tirmidzī mengisyaratkan bahwa Ummu Salamah yang meriwayatkan hadīts Abū Hurairah tadi bukan Abū Hurairah.

Ini sebagian pendapat.

Di antara yang menguatkan pendapat kedua ini adalah Utsmān bin Mauhab pernah masuk menemui Ummu Salamah, lalu beliau (Ummu Salamah) menunjukan salah satu rambut Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah disemir.

(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri nomor 5897)

Dari hadīts di atas, dapat kita simpulkan bahwa ada sebagian shahābat yang berpendapat bahwa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memang menyemir rambutnya, baik hadīts yang kita sebutkan tadi diriwayatkan oleh dari Abū Hurairah atau yang benar dari Ummu Salamah.

Pelajaran yang kita dapat ada shahābat yang menyatakan bahwa Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam itu menyemir rambutnya.

Inilah pelajaran kita kali ini tentang hadīts di atas. Dan semoga bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam.

وصلى الله على نبينا محمد

____________

Senin, 08 Juli 2019

HADĪTS YANG BERKAITAN MENYEMIR RAMBUT RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 05 Dzulqa’dah 1440 H / 08 Juli 2019 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 31 | Hadits Yang Berkaitan Dengan Menyemir Rambut Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-31
〰〰〰〰〰〰〰

*HADĪTS YANG BERKAITAN MENYEMIR RAMBUT RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALLAM*

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ وَالْأَخْلَاقَ وَالْأَرْزَاقَ وَالْأَفْعَالَ، وَلَهُ الشُّكْرُ عَلَى إِسْبَاغِ نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِالْإِفْضَالِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُولِهِ الْمُخْتَصِّ بِحُسْنِ الشَّمَائِلِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَوْصُوفِينَ بِالْفَوَاضِلِ وَالْفَضَائِلِ، وَعَلَى أَتْبَاعِهِ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِمَا ثَبَتَ عَنْهُ بِالدَّلَائِلِ. أما بعد

Sahabat BiAS rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Ada banyak nikmat yang perlu kita syukuri. Diantara nikmat-nikmat tersebut adalah nikmat menuntut ilmu.

Dan pada kesempatan kali ini (pertemuan ke-31), in syā Allāh kita melanjutkan pembahasan Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah karya Imām Abū Īsā At Tirmidzī rahimahullāhu ta'āla.

Beliau rahimahullāh berkata:

بَابُ مَا جَاءَ فِي خِضَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

_Bab tentang hadīts-hadīts yang berkaitan dengan: خِضَابِ (menyemir rambut) Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam._

Syaikh Abdurrazzaq berkata :

"Imam At Tirmidzī membawakan bab ini dengan maksud ingin menjelaskan, apakah Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambut beliau atau tidak.”

Beliau juga menjelaskan bahwa hal ini diperselisihkan oleh para ulamā, bahkan diperselisihkan oleh para shahābat radhiyallāhu ta'āla 'anhum.

Menurut pendapat shahābat;

√ Anas bin Mālik radhiyallāhu ta'āla 'anhu mengatakan, "Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) tidak menyemir rambutnya."

√ Abū Hurairah radhiyallāhu ta'āla 'anhu mengatakan, "Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) menyemir rambutnya.”

Imām Nawawi mengatakan :

"Bahwa Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam  menyemir rambutnya sesekali dan hal tersebut tersirat pada hadīts Ibnu Umar dalam Shahīh Al Bukhāri dan Muslim. Namun, seringnya Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) tidak menyemir rambutnya. Dan semua shahābat mengabarkan sesuai dengan ilmunya, benar serta jujur dalam pengabarannya, Wallāhu a’lam."

(Ini pendapat Imām An Nawawi, yang dinukil Syaikh Albāniy dalam Mukhtashar Syamāil)

Dan ada juga yang mengatakan bahwa Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak menyemir rambutnya sama sekali dan rambut Beliau berubah warna bukan karena semir, akan tetapi karena Beliau sering memakai parfum atau minyak wangi pada rambutnya.

Berikut hadīts-hadīts yang diriwayatkan oleh Imām At Tirmidzī pada bab ini.

Imam At Tirmidzī rahimahullāh dalam hadīts nomor 45.

Beliau berkata :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ

_"Telah memberikan hadits kepadaku, Ahmad bin Mani', beliau berkata: Telah memberikan hadits kepadaku, Husyaim._

Beliau adalah Husyaim bin Basyir, seorang yang pernah dilarang oleh ayahnya untuk menuntut ilmu. Sampai saat Husyaim sakit, ada seorang qadhi (hakim kota) tersebut menjenguknya. Sejak saat itulah Husyaim bin Basyir diperbolehkan oleh ayahnya untuk menuntut ilmu.

Ketika Husyaim telah menjadi guru, beliau sangat berwibawa.

Imām Ahmad pernah bercerita:

"Aku menuntut ilmu kepada Husyaim selama 4 atau 5 tahun, aku tidak pernah bertanya kepadanya suatu masalah kecuali 2x saja, dan hal tersebut dikarenakan kewibawaan yang beliau miliki.”

Tentang kekuatan hafalannya, Ibnul Mubarak berkata:

"Kalau orang-orang melemah hafalan ketika umur bertambah, maka itu tidak terjadi pada Husyaim.”

Tentang keshālihannya, Abū Hatim berkata :

"Masalah kejujuran, sikap amanah dan keshālihan, maka Husyaim tidak usah diragukan lagi.”

Selain unggul dalam bidang hadīts, beliau juga luar biasa dalam hal ibadah.

Diceritakan oleh Imām Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala juz 8 hal 290,

"Bahwa sejak 20 tahun sebelum beliau meninggal, beliau selalu shalāt shubuh dengan wudhū'nya ketika shalāt isya.”

Maksudnya adalah beliau tidak batal dan tidak tidur antara dua waktu tersebut, karena kita tahu bahwa tidur itu membatalkan wudhū'.

(Keterangan ini bisa dilihat dalam Siyar A’lam An Nubala juz 8 halaman 290, tentang biografi Husyaim bin Basyir)

Husyaim bin Basyir berkata:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عُمَيْرٍ

_"Memberikan hadīts kepadaku, Abdul Mālik bin 'Umayr (seorang hakim di kota kufah)."_

عَنِ إِيَادِ بْنِ لَقِيطٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو رِمْثَةَ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ ابْنٍ لِي

_Dari Iyād bin Laqīth, dia berkata: Abū Rimtsah berkata:_

_"Aku mendatangi Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersama anakku."_

Syaikh Abdurrazaq pernah membawakan beberapa pelajaran pada kalimat ini, beliau menyatakan bahwa pada kalimat ini menunjukan, "Anjuran untuk membawa anak-anak hadir di majelis para ulamā, agar mereka mencintai ulamā, mencintai majelis ilmu dan agar mereka terjaga dari segala hal yang membuat lalai dari agama."

Apalagi pada masa-masa kita ini, banyak sekali faktor yang bisa menyebabkan seorang terlalaikan dari majelis ilmu.

فَقَالَ: «ابْنُكَ هَذَا؟» فَقُلْتُ: نَعَمْ أَشْهَدُ بِهِ، قَالَ: «لَا يَجْنِي عَلَيْكَ، وَلَا تَجْنِي عَلَيْهِ»

_Kemudian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bertanya kepada Abū Rimtsah, "Apakah ini anakmu?"_

_Abū Rimtsah pun menjawab, "Iya, aku bersaksi bahwasanya dia adalah anakku."_

_Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Ketika anakmu berbuat dosa maka engkau tidak menanggungnya dan ketika engkau berbuat dosa anakmu tidak menanggungnya."_

Pada kalimat ini ada isyarat tentang firman Allāh Ta'āla,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌۭ وِزْرَ أُخْرَىٰ

_"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”_

(QS. Al Isrā': 15)

قَالَ: وَرَأَيْتُ الشَّيْبَ أَحْمَرَ

_"Kemudian Abū Rimtsah mengatakan: "Dan dan aku melihat uban Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berwarna merah.”_

Kalimat inilah yang menjadi isyarat penting pada pembahasan kita ini bahwa Abū Rimtsah mengatakan bahwa uban Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam berwarna merah.

Dan dari sini pula, para ulamā berbeda pendapat, apakah warna merah itu karena semir atau karena seringnya Beliau memakai minyak wangi pada rambutnya.

Dan itu diperselisihkan oleh para ulamā.

قَالَ أَبُو عِيسَى: "هَذَا أَحْسَنُ شَيْءٍ رُوِيَ فِي هَذَا الْبَابِ، وَأَفْسَرُ؛ لِأَنَّ الرُّوَايَاتِ الصَّحِيحَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَبْلُغِ الشَّيْبَ.

_Berkata Abu Īsā (Imām At Tirmidzī): "Hadīts ini adalah hadīts terbaik dalam bab ini (Syaikh Albāniy menshahīhkan hadīts ini) dan yang paling jelas, karena riwayat-riwayat yang shahīh, bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak membutuhkan semir rambut (karena kita tahu bahwa jumlah uban beliau sedikit antara 12 hingga 20 helai saja).”_

Perkataan Imām At Tirmidzī ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) tidak menyemir rambutnya.

وَأَبُو رِمْثَةَ اسْمُهُ: رِفَاعَةُ بْنُ يَثْرِبِيٍّ التَّيْمِيُّ

_Dan Abū Rimtsah namanya adalah Rifā'ah ibnu Yatsribiy At Taimiy._

Dan di sana ada pendapat lain tentang nama beliau ini.

Jadi kesimpulan dari hadīts ini adalah:

"Kita tahu bahwa di sana ada perbedaan pendapat di kalangan para ulamā tentang permasalahan apakah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menyemir rambutnya ataukah tidak? Namun secara hukum fiqih seorang boleh saja menyemir rambutnya, asalkan tidak dengan warna hitam atau dengan warna lain yang dianggap buruk oleh masyarakat.”

Itulah kesimpulan kita semoga bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam.

وصلى الله على نبينا محمد

____________

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits