Jumat, 31 Januari 2020

Mengikuti Kebiasaan Nenek Moyang

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 06 Jumada Al-Akhir 1441 H / 31 Januari 2020 M
👤 Ustadz Ammi Nur Baits, ST., BA.
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 65 | Mengikuti Kebiasaan Nenek Moyang
🔄 Unduh : bit.ly/NasihatSingkatBiAS-65
〰〰〰〰〰〰〰

🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :

| BNI Syariah
| Kode Bank (427)
| Nomor Rekening : 8145.9999.50
| a.n Yayasan Bimbingan Islam
| Konfirmasi klik https://bimbinganislam.com/konfirmasi-donasi/
__________________

Kamis, 30 Januari 2020

Hadits Tentang Bagaimana Kehidupan Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa Sallam

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 04 Jumada Al-Akhir 1441 H / 29 Januari 2020 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 51 | Hadits Tentang Bagaimana Kehidupan Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa Sallam
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-51
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله
الْحَمْدُ لله، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رسول الله، وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القيامة، أَمَّا بَعْدُ:

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati Allāh Ta'āla dan semoga selalu diluaskan rejekinya, dimudahkan segala urusannya.

Alhamdulillāh pada pertemuan ke-51 ini, In syā Allāh kita akan membaca hadīts nomor 71 yang ada di dalam Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyah karya Imām At Tirmidzī rahimahullāh.

Hadīts ini merupakan hadīts pertama dari dua hadīts yang akan dibawakan oleh Imam At-Tirmidzī dalam bab ke-9. Tentang "Bagaimana kehidupan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam”.

Imam At-Tirmidzī menamakan bab ini dengan mengatakan,

باب ما جاء في عيش رسول الله ﷺ

Bab tentang kehidupan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Menurut Syaikh Abdurrazaq, 'Aisy (عيش) disini diartikan seperti makanan dan semisalnya (apa yang dimakan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam).

Bab ini terdapat dua hadīts:

Hadīts Pertama | Hadīts dari Muhammad bin Sirīn (salah seorang tābi'in).

Beliau mengatakan:

كُنَّا عِنْدَ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ مُمَشَّقَانِ مِنْ كَتَّان فَتَمَخَّطَ في أحدهما. فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: بَخْ بَخْ يَتَمَخَّطُ أَبُو هُرَيْرَةَ فِى الْكَتَّانِ. لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَإِنِّى لأَخِرُّ فِيمَا بَيْنَ مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وحُجْرَةِ عَائِشَةَ رضي الله عنها مَغْشِيًّا عَلَيَّّ، فَيَجِىءُ الْجَانِى فَيَضَعُ رِجْلَهُ عَلَى عُنُقِى، يُرَى أَنّ بِي جْنُونٌا، وَمَا بِي جُنُونٍ، ومَا هو إِلاَّ الْجُوعُ.

"Dulu kita pernah berada di sisi Abū Hurairah, ketika itu beliau sedang memakai dua kain yang berwarna dari كَتَّان (linen, diartikan), lalu beliau mengusap air hidungnya dengan salah satu kain tersebut.

Lalu beliau mengatakan,'بَخْ بَخْ' (eh..eh..eh), "Abū Hurairah sekarang mengusap air hidungnya saja pakai kain كَتَّان".

Dan sungguh aku dulu pernah mengalami atau pernah tersungkur jatuh di antara mimbar dan kamar dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā (pingsan). Lalu ada seseorang datang dan meletakkan kakinya dileherku. Dia menyangka aku sedang gila, padahal aku tidak gila (kata Abū Hurairah). Ketika itu aku tidak sakit akan tetapi aku lapar."

(Hadīts ini shahīh, dan Imam Al-Bukhāri meriwayatkan hadīts ini dengan nomor 7324 )

Pesan hadīts ini adalah:

Abū Hurairah sedang terheran-heran dengan keadaan dirinya sendiri, dimana dulu ia pernah kelaparan karena tidak ada sesuatu yang bisa dimakan sehingga dia pingsan. Dan sekarang untuk mengusap air hidung saja beliau menggunakan kain linen (sebuah kain yang cukup bagus).

Yang menggelitik dalam benak kita, Imam At-Tirmidzī mengatakan bahwa bab ini menjelaskan tentang kehidupan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Tetapi mengapa yang disebutkan adalah Abū Hurairah yang kelaparan?

Ini menjadi sesuatu yang menggelitik di benak kita. Bagaimana kita menjawab ini?

Jawabannya adalah:

Keadaan Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu yang  kelaparan sampai beliau pingsan. Menunjukkan bagaimana sempitnya kehidupan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Karena, seandainya kehidupan beliau lapang, (beliau memiliki makanan) tentu beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam akan memberikan makanan untuk Abū Hurairah. Dan tidak akan membiarkan Abū Hurairah sampai pingsan gara-gara kelaparan.

Seperti itulah hubungan dari hadīts ini dengan kehidupan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam secara tidak langsung.

Perlu kita ketahui bahwasanya Abū Hurairah adalah seorang muslim yang masuk Islām sekitar tahun ke-7 Hijriyyah dan hanya membersamai Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam (kurang lebih) sekitar 4 tahun saja.

Ini menunjukkan kehidupan Nabi pada tahun-tahun itu, di tahun-tahun akhir keberadaan beliau di dunia, beliau tetap sederhana bahkan tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan untuk menghilangkan rasa lapar dari sahabatnya.

نسأل الله السلامة

Hendaknya kita di zaman ini banyak bersyukur, karena sepertinya jarang dari kita yang kehidupannya seperti apa yang dialami para sahabat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam di awal-awal keislāman mereķa.

Semoga pembahasan ini bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb.

وصلى الله على نبينا محمد
____________________

Hadits Tentang Dua Jenis Pakaian Yang Pernah Dipakai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (lanjutan)

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 03 Jumada Al-Akhir 1441 H / 28 Januari 2020 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 50 | Hadits Tentang Dua Jenis Pakaian Yang Pernah Dipakai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (lanjutan)
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-50
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله
الْحَمْدُ لله، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رسول الله، وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القيامة، أَمَّا بَعْدُ:

Sahabat Bimbingan Islām yang semoga selalu dirahmati Allāh dan semoga selalu diluaskan rejekinya dan diberkahi umurnya.

Alhamdulillāh kita memuji Allāh Subhānahu wa Ta'āla atas kemudahan yang dilimpahkan kepada kita semua, hingga pada kesempatan hari ini kita sudah menginjak pada pertemuan yang ke-50.

Pada pertemuan ini, In syā Allāh kita melanjutkan pembacaan hadīts-hadīts yang ada di dalam Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyah karya Imām At Tirmidzī rahimahullāh yaitu hadīts ke-69 dan 70.

Dua hadīts ini merupakan hadīts terakhir dalam bab pakaian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Pada dua hadīts ini kita akan mengetahui dua jenis pakaian yang pernah dipakai oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

▪Pakaian Pertama | Mirthun (مرط)

Mirthun (مرط) adalah selembar kain yang digunakan sebagai sarung.

Dan Mirthun ini bersifat murahal yang artinya ada gambar pelana unta. Itu salah satu arti dari kata murahal. Menurut Al-Khatabi, makna murahal adalah kain yang bergaris-garis (seperti lurik).

Sedangkan menurut Syaikh Al-Albāniy rahimahullāh, kain Mirthun ini biasanya terbuat dari wool, rambut atau nilen.

Berikut hadītsnya:

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ غَدَاةٍ، وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مِنْ شَعَرٍ أَسْودَ.

Āisyah radhiyallāhu 'anhā berkata, "Pada suatu pagi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah keluar dalam keadaan beliau menggunakan Mirthun yang terbuat dari rambut hitam."

▪Pakaian Kedua | Jubah Rumiyyah.

Jubah Rumiyyah ini berasal dari negara Romawi karena Rumiyyah ini merupakan penisbatan kepada bangsa Roem.

Perawi yang meriwayatkan hadīts ini mengatakan bahwa Jubah Rumiyyah yang dipakai Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ketika itu adalah Jubah yang lengannya sempit.

⇒ Jubah adalah pakaian yang dipakai setelah gamis atau kemeja.

Berikut hadītsnya:

عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، لَبِسَ جُبَّةً رُومِيَّةً، ضَيِّقَةَ الْكُمَّيْنِ.

Dari Al-Mughīrah bin Syu’bah, beliau berkata: "Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah memakai jubah Rumiyyah yang lengannya sempit”.

Kedua hadīts di atas merupakan hadīts yang shahīh yang dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albāniy rahimahullāh dalam Mukhtashar Asy Syamāil.

Ketika menutup pembahasan bab ini Syaikh Abdurrazaq Al-Badr mengatakan, yang maknanya adalah: "Setelah memperhatikan bab ini dan hadīts-hadīts yang dibawakan oleh penulis, kita menjadi tahu bahwa pakaian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam itu berbagai macam.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah memakai Izar dan Ridā' (sarung dan selendang atas sebagaimana saat kita berihram), terkadang Qisa memakai selembar kain, terkadang memakai gamis, dan macam-macam yang lainnya.

Beliau mengatakan, ini semua menunjukkan bahwa permasalahan pakaian adalah permasalahan yang berhukum longgar dan menunjukkan bahwa hukum asal segala jenis pakaian adalah halal dengan catatan selama tidak ada dalīl yang mengharamkannya.

Contoh pakaian yang diharamkan:

√ Pakaian yang Isbal untuk laki-laki.
√ Baju yang Sughrah.
√ Baju yang Tasyabbuh dengan orang-orang kafir (misalnya) baju laki-laki tasyabbuh dengan wanita, demikian pula yang wanita.
√ Pakaian Sutra untuk laki-laki.
√ Dan lain sebagainya.

Selama tidak ada dalīl-dalil yang melarang seperti ini maka hukum asalnya adalah boleh.

Inilah ringkasan yang disampaikan oleh beliau untuk menutup pembahasan bab ini.

Semoga pembahasan ini bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb.

وصلى الله على نبينا محمد
____________________

Senin, 27 Januari 2020

Hadits Lalat

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 29 Jumada Al-Ula 1441 H / 24 Januari 2020 M
👤 Ustadz Abul Aswad Al-Bayaty
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 64 | Hadits Lalat
🔄 Unduh : bit.ly/NasihatSingkatBiAS-64
〰〰〰〰〰〰〰

🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :

| BNI Syariah
| Kode Bank (427)
| Nomor Rekening : 8145.9999.50
| a.n Yayasan Bimbingan Islam
| Konfirmasi klik https://bimbinganislam.com/konfirmasi-donasi/
__________________

Hadits Tentang Salah Satu Pakaian Yang Pernah Dipakai Rasūlullāh

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 02 Jumada Al-Akhir 1441 H / 27 Januari 2020 M
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamāil Muhammadiyah
🔊 Halaqah 49 | Hadits Tentang Salah Satu Pakaian Yang Pernah Dipakai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (lanjutan)
⬇ Download audio: bit.ly/SyamailMuhammadiyah-49
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله
الْحَمْدُ لله، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رسول الله، وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القيامة، أَمَّا بَعْدُ:

Sahabat Bimbingan Islām rahīmaniy wa rahīmakumullāh, yang semoga selalu dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla, diluaskan rejekinya dan diberkahi umurnya.

Alhamdulillāh pada pertemuan yang ke-49 ini, kita bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla karena kita diberikan kesempatan oleh Nya untuk melanjutkan pembacaan hadīts-hadīts yang ada di dalam Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyah karya Imām At Tirmidzī rahimahullāh.

In syā Allāh, kita akan membahas hadīts nomor 67 dan 68, pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pakaian Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Dua hadīts yang akan kita baca, berkenaan tentang warna pakaian yang dianjurkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam agar kita memakainya. Baik saat seseorang hidup maupun saat seseorang telah meninggal dunia (mayit) sebagai kain kafan.

Hadīts ini diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Abbas radhiyallāhu 'anhumā, yang mana beliau adalah Turjumanul Qur'ān (penerjemah Al-Qur'an) yang sangat ulung.

Beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْبَيَاضِ مِنَ الثِّيَابِ، لِيَلْبِسْهَا أَحْيَاؤُكُمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، فَإِنَّهَا مِنْ خِيَارِ ثِيَابِكُمْ

"Atas kalian yang masih hidup untuk memakai pakaian yang berwarna putih dan kafanilah mayit kalian dengan kafan yang berwarna putih, karena pakaian berwarna putih merupakan sebaik-baik pakaian."

(Hadīts ini shahīhkan oleh Syaikh  Al-Albāniy  rahimahullāh dalam Mukhtashar Asy Syamāil)

Pelajaran yang bisa kita ambil adalah:

⑴ Pakaian berwarna putih merupakan pakaian yang disunnahkan (dianjurkan) untuk dikenakan, BUKAN wajib.

⑵ Pakaian berwarna putih dianjurkan dan disunnahkan bagi orang yang masih hidup maupun untuk mengkafani mayit.

⑶ Pakaian berwarna putih dianjurkan untuk laki-laki, sedangkan wanita apabila di dalam rumah diperbolehkan bahkan dianjurkan.

Apakah pakaian berwarna putih ini dianjurkan dipakai oleh wanita di luar rumah?

Jawabannya, adalah:

Melihat situasi dan kondisi masyarakat setempat, apabila masyarakat menganggap biasa pakaian berwarna putih, dalam artian mereka tidak menganggap pakaian berwarna putih sebagai pakaian untuk berhias, maka dibolehkan untuk digunakan.

Namun apabila masyarakat menganggap pakaian berwarna putih adalah pakaian untuk berhias, maka ini tidak diperbolehkan. Sehingga warna pakaian untuk wanita adalah bebas selama tidak menunjukkan tabarruj atau makna berhias dengan warna tersebut.

⇒ Ini perlu digaris bawahi, bahwa pakaian wanita adalah bebas (warnanya) selama tidak menunjukkan tabarruj atau makna berhias dengan warna tersebut.

Para wanita pun boleh menggunakan warna-warna lain selain warna hitam saat keluar rumah, selama pakaian tersebut tidak dianggap masyarakat sebagai warna untuk berhias.

Hal ini disampaikan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullāh. Beliau pernah ditanya, memakai pakaian berwarna hijau, kuning atau selainnya bagi wanita saat berhaji bagaimana hukumnya wahai syaikh?

Beliau menjawab, "Tidak mengapa”, maksudnya tidak mengapa seorang wanita memakai pakaian dengan warna apapun, kecuali dengan pakaian yang berwarna yang ia dianggap bertabarruj atau berhias. Maka yang seperti ini tidak boleh dikenakan oleh mereka.

Kemudian beliau memisalkan pakaian putih di adat kebiasaan masyarakat beliau.

Beliau mengatakan,"Pakaian putih (misalkan) dalam adat-istiadat masyarakat kami, dianggap sebagai pakaian yang digunakan untuk berhias dan untuk mempercantik diri. Sehingga (hendaknya) mereka tidak memakai pakaian berwarna putih saat ihram”.

Dari penjelasan dari Syaikh ini kita tahu, bahwa memakai pakaian berwarna putih atau warna lain bagi wanita harus memperhatikan kondisi masyarakat setempat. Apakah mereka menganggapnya sebagai pakaian untuk berhias dan mempercantik diri atau tidak. Jika jawabannya tidak maka boleh dikenakan oleh mereka.

Kenapa pakaian berwarna putih dianjurkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam?

Jawabannya adalah hadīts nomor 68 yang dibawakan oleh Imam At-Tirmidzī di sini, hadīts dari Samurah bin Jundub radhiyallāhu 'anhu.

Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

الْبَسُوا الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا أَطْهَرُ وَأَطْيَبُ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ.

"Pakailah pakaian putih, karena pakaian putih itu lebih suci dan lebih bersih dan kafanilah mayat kalian dengan warna tersebut.”

(Hadīts ini dinyatakan shahīh oleh Syaikh Al- Albāniy rahimahullāh ta'āla)

Pelajaran dari hadīts ini adalah:

Kita dianjurkan untuk memakai pakaian putih karena pakaian putih lebih suci dan bersih.

Kenapa pakaian putih suci dan bersih?

Karena pakaian putih apabila ada noda sedikit saja langsung terlihat, berbeda dengan warna lainnya.

Oleh karena itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam meminta dalam do'a Iftitah beliau, beliau meminta kepada Allāh agar kesalahan-kesalahan beliau dibersihkan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari noda. Hal tersebut mengandung arti bahwasanya beliau meminta kepada Allāh agar Allāh membersihkan kesalahan beliau sebersih-bersihnya, sehingga tidak tertinggal noda kesalahan sedikit pun.

Inilah pembahasan kita pada kali ini semoga bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb.

وصلى الله على نبينا محمد
________

Rabu, 22 Januari 2020

ZAKĀT FITHR (الفطر) - BAGIAN 2

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 27 Jumada Al-Ula 1441 H / 22 Januari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Zakat
🔊 Kajian 89 | Zakat Fithr (bagian 2)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H089
〰〰〰〰〰〰〰

*ZAKĀT FITHR (الفطر) - BAGIAN 2*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Pada pertemuan kita kali ini, kita akan membahas tentang zakāt fitri (masih meneruskan yang kemarin).

Dan kemarin sudah kita bahas tentang hukum zakāt (yaitu) wajib. Dan syarat-syarat wajibnya zakāt yaitu:

⑴ Seorang Muslim atau Islām.
⑵ Dia mendapati dua waktu (yaitu) waktu Ramadhān dan waktu Syawwāl ditandai dengan masuknya atau وبغروب الشمس , tenggelamnya matahari, di akhir hari di bulan Ramadhān.
⑶ Orang tersebut, dia memiliki makanan pokok yang mencukupi untuk dirinya dan mencukupi untuk keluarganya pada hari tersebut (istri, anak-anaknya dan yang wajib dia nafkahi).

Dan kita masuk pada pembahasan kita yang ketiga (yaitu) siapa yang wajib dizakāti.

Berkata penulis rahimahullāh:

((ويزكي عن نفسه وعمن تلزمه نفقته من المسلمين))

_((Dan dia wajib menzakāti dirinya.))_

Sebagaimana tadi sudah disebutkan di awal bahwa zakāt fitrah terkait dengan zakāt badan, tidak terkait dengan harta seseorang,  sehingga tidak ada kaitannya dengan nishāb.

Jadi seorang yang mungkin dia faqīr tidak memiliki harta tetapi dia memiliki makanan pokok untuk hari tersebut lebih dari kebutuhannya pada hari tersebut saja, maka dia wajib untuk zakāt fitrah (menzakāti dirinya sendiri).

((وعمن تلزمه نفقته من المسلمين))

_((Dan orang-orang yang wajib dia nafkahi dari kalangan kaum muslimin.))_

Jadi istrinya, anak-anaknya yang wajib dia nafkahi dan belum bisa bekerja (memiliki penghasilan sendiri) wajib dinafkahi.

Adapun anak-anak yang dia sudah bisa mendapatkan penghasilan sendiri maka tidak boleh dizakāti kecuali dengan izin anak tersebut. Dan apabila anak tersebut lain agama (misalnya) maka ini juga tidak wajib dizakāti.

Berapa kadarnya ?

((صاعا من قوت بلده))

_((Kadarnya adalah satu shā' dari makanan pokok yang dimakan dinegeri tersebut.))_

⇒ Shā' adalah ukuran takaran pada zaman Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam. Dan shā' yang dimaksud di sini adalah shā' yang digunakan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Takaran shā' sekitar 4 (empat) mud dan disebutkan di dalam Lajnah Daimah bahwa ukuran shā' jika ditimbang kira-kira sekitar 3 Kg (untuk memudahkan dalam penakaran).
Walaupun takaran atau ukuran aslinya adalah berupa takaran yaitu satu shā'.

Seorang mengeluarkan zakāt sesuai dengan makanan pokok yang dimakan, jadi kalau di Indonesia makanan pokoknya beras, maka yang dikeluarkan untuk zakāt fitrah adalah beras.

Kalau ditempat lain yang makanan pokoknya gandum maka yang dikeluarkan untuk zakāt fitrah adalah gandum. 

Apabila makanan pokoknya lebih dari satu maka boleh salah satunya tetapi lebih aula adalah sesuai dengan yang disebutkan di dalam hadīts, secara derajat kekuatannya maka diutamakan hithah (gandum) terlebih dahulu.

((وقدره خمسة أرطال وثلث بالعراقي))

_((Kadarnya adalah lima arthāl dan sepertiganya.))_

⇒ Arthāl (أرطال), 'irāqī (عراقي) biasa digunakan untuk menakar secara wazan (berat) oleh para fuqahā'.

Dan tadi sudah dijelaskan oleh para ulamā, kira-kira setiap jenis makanan pokok berbeda-beda dan disebutkan oleh Lajnah Daimah diperkirakan sekitar 3 Kg berlaku untuk semua.

Demikian yang bisa disampaikan halaqah ini dan kita akan lanjutkan pada pertemuan berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

___________________

ZAKĀT FITHR (الفطر) - BAGIAN 1

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 26 Jumada Al-Ula 1441 H / 21 Januari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Zakat
🔊 Kajian 88 | Zakat Fithr (bagian 1 )
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H088
〰〰〰〰〰〰〰

*ZAKĀT FITHR (الفطر) -  BAGIAN 1*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita lanjutkan pelajaran kita dan kita masuk pada permasalahan (fasal) tentang zakāt al fithr (الفطر) atau zakāt fitrah. 

Apabila Ramadhān telah selesai (dengan tenggelamnya matahari) kemudian masuk pada 'Iedul Fithr maka wajib bagi setiap muslim untuk mengeluarkan satu kadar tertentu dari makanan pokoknya yang disebut sebagai zakāt fitrah (zakāt badan).

Kenapa disebut zakāt badan?

Karena zakāt ini tidak terkait dengan harta seseorang tetapi justru terkait dengan dzat seseorang (badan seseorang).

Oleh karena itu seseorang mungkin memiliki atau tidak memiliki nishāb, dia seorang faqīr, tapi dia tetap wajib untuk menunaikan zakāt fitrah manakala telah sesuai dengan syaratnya.

Jadi tidak disyaratkan bahwasanya dia adalah orang yang memiliki nishāb dalam harta, tapi selama dia seorang muslim dan memiliki syarat-syarat yang nanti akan disebutkan, maka dia wajib untuk menunaikan zakāt fitrah.

Berkata penulis rahimahullāh:

(فصل)
(وتجب زكاة الفطر بثلاثة أشياء: الإسلام وبغروب الشمس من آخر يوم من شهر رمضان ووجود الفضل عن قوته وقوت عياله في ذلك اليوم))

_“Wajib zakat fitrah karena tiga hal, Islam, terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, adanya kelebihan dari makanan keluarga untuk hari raya itu.”_

وتجب زكاة الفطر

_"Bahwasanya wajib zakāt fitrah."_

Pembahasan pertama bahwasanya hukum dari zakāt fitrah adalah wajib, berdasarkan keumuman dari Al Kitāb (Al Qur'ān) maupun dari hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, begitu juga ijmā' para ulamā.

Diantaranya Allāh Ta'āla berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَن تَزَكَّىٰ

_"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang berzakāt."_

(QS A'la: 14)

Di dalam sunnah di antaranya adalah hadīts dari Ibnu Abbās radhiyallāhu ta'āla 'anhumā, beliau berkata:

فَرَضَ رَسُوْلُ الله زَكَاةَ الفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِّلْمَسَاكِيْنِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ – أَيْ صَلاَةِ العِيْدِ- فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

_"Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan zakāt fitrah sebagai pembersih bagi orang-orang yang berpuasa dibulan Ramadhān dari perbuatan yang lalai maupun berbuatan yang rafāts (buruk) dan sebagai makanan bagi orang-orang yang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalāt 'Ied maka dia terhitung sebagai zakāt fitrah yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikan setelah shalāt maka dia terhitung sebagai sedekah dari sedekah biasa lainnya (tidak ada nilai zakāt fitrah)."_

(Hadīts riwayat Abū Dāwūd, ibnu Majah, Al Hakīm dan dishahīhkan oleh beliau)

Kemudian ijmā' para ulamā (para ulamā telah sepakat sebagaimana disebutkan oleh Imām Ibnu Mundzir:

وأجمعوا على أن صدقة الفطر تجب على المرء

_"Bahwasanya sedekah / zakāt fitri itu wajib."_

Dan ini ijmā' (bahwa kewajiban bagi setiap insan).

وأجمع علي أنّ صدقة الفطر..........

_"Sedekah fitrah atau zakāt fitrah adalah wajib."_

Berkata penulis rahimahullāh:

بثلاثة أشياء
_"Dengan tiga syarat."_

Pembahasan berikutnya tentang syaratnya, kata beliau, "Dengan tiga syarat," (walaupun di sana ada syarat yang tidak disebutkan oleh penulis yaitu al hurriyyah (الحرية).

3 (tiga) syarat tersebut adalah:

⑴ Islām ( الإسلام)

Orang-orang yang bukan Islām tidak diwajibkan untuk menunaikan zakāt. Mereka berdosa karena tidak berzakāt walaupun mereka kāfir. Mereka tetap menanggung dosanya akan tetapi tidak diwajibkan kepada mereka (artinya tidak diminta) zakāt dari mereka, sehingga syarat pertama adalah Islām.

⑵ Sudah tenggelam matahari (terbenam matahari dibulan Ramadhān) dan masuk pada bulan Syawwāl (وبغروب الشمس من آخر يوم من شهر رمضان).

Akhir yaum, karena pergantian hari ditanggalan hijriyyah atau qamariyyah adalah setelah tenggelamnya matahari (sudah masuk hari berikutnya).

Jadi tanggal 30 Ramadhān akhirnya adalah pada tenggelamnya matahari di hari tersebut dan mulai masuk tanggal 01 Syawwāl adalah setelah Maghrib.

√ Seorang yang dia mendapatkan dua waktu bulan Ramadhān dan bukan Syawwāl maka dia wajib untuk menunaikan zakāt fitrah.

√ Seorang yang meninggal sebelum bulan Syawwāl artinya dia meninggal sebelum selesai bulan Ramadhān maka tidak wajib zakāt fitrah.

√ Seorang yang lahir dibulan Syawwāl dan dia tidak menemukan waktu Ramadhān maka dia tidak wajib untuk menunaikan zakāt fitrah.

Di antara kewajibannya adalah tatkala dia menemui waktu ini.

Dan di sana ada pembahasan dari para ulamā kapan waktu yang baik untuk menunaikan zakāt fitri (in syā Allāh nanti kita akan bahas).

⑶ Orang tersebut, dia memiliki makanan pokok yang mencukupi untuk dirinya dan mencukupi untuk keluarganya pada hari tersebut ( وجود الفضل عن قوته وقوت عياله في ذلك اليوم).

Jadi pada hari tersebut di mulai pada waktu Maghrib (masuk tanggal 01 Syawwāl) dan dilihat, apabila dia memiliki makanan yang cukup pada hari itu maka wajib bagi dia untuk menzakātkan kelebihan dari makanan yang dia miliki.

Mungkin seseorang pada malam tersebut tidak memiliki makanan cukup, sehingga malam tersebut dia mendapatkan zakāt dari orang lain.

Tatkala dia mendapatkan makanan yang cukup walaupun sumbernya dari zakāt maka pada saat itu dia harus menunaikan zakāt (dari apa yang dia dapatkan).

Ini adalah tiga syarat dan disana ada syarat yang ke-4 yaitu Al Hurriyyah (seorang yang merdeka).

Seorang budak tidak diwajibkan zakāt karena kewajiban itu adalah bagi tuannya (bagi pemiliknya).

Demikian yang bisa disampaikan pada halaqah ini dan kita akan lanjutkan pada pertemuan berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

___________________

Senin, 20 Januari 2020

ZAKĀT PERDAGANGAN (عروض التجارة), BAGIAN 2 DARI 2

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 25 Jumādâ Al-Ūlā 1441 H | 20 Januari 2020 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Zakat
🔊 Kajian 87 | Zakat Khilthah (bagian 2 dari 2)
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H087
〰〰〰〰〰〰〰

*ZAKĀT PERDAGANGAN (عروض التجارة), BAGIAN 2 DARI 2*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para shahābat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita masuk pada pembahasan tentang: عروض التجارة , zakāt pada barang-barang perdagangan atau barang-barang yang didagangkan.

⑶ Zakāt diwajibkan setiap tahun, ini pendapat jumhur dan Imām Asy Syāfi'i rahimahullāh.

Artinya apabila barang tersebut diniatkan untuk jual beli walaupun mungkin tidak terjual selama bertahun-tahun maka setiap tahunnya harus dizakāti.

Misalnya:

Seseorang jual beli tanah, dia membeli tanah (selama bertahun-tahun tidak terjual) maka setiap tahunnya dia harus membayar zakāt untuk tanah tersebut.

⑷ Digabungkan antara nilai barang dagangan dan nilai harta yang dia punya dari harta-harta yang dia miliki.

Misalnya:

Seseorang memiliki barang dagangan dengan nilai 30 juta kemudian dia punya uang cash senilai 40 juta, maka orang tersebut harus membayar zakāt dari nilai uang 70 Juta.

Apabila masing-masing tidak sampai pada nishābnya, contohnya:

Seseorang memiliki barang dagangan senilai 30 Juta dan uang cash 30 Juta (masing-masing tidak sampai nishābnya), karena nishāb emas 85 gram jika diperkirakan harga per gram emas 500 ribu maka totalnya sekitar 42.500.000 dan ini tidak sampai nishābnya, walaupun tidak mencapai nishāb akan tetapi pemiliknya satu, maka digabungkan.

Sebaliknya apabila pemiliknya berbeda, walaupun barang dagangan itu sama atau disatukan maka kembali kepada masing-masing pemiliknya.

Kalau digabungkan totalnya 60 Juta, tetapi 30 Juta milik si A dan 30 Juta milik si B, sehingga tidak sampai nishāb, maka tidak wajib dizakāti.

Kemudian, bagaimana seseorang yang berjual beli mengeluarkan zakātnya dari: عروض التجارة (barang dagangannya)?

Maka boleh dari jenis barang tersebut dan boleh juga ditaksir dengan nilainya.

Karena yang dituju pada: عروض التجارة adalah nilai dari barang dagangan tersebut, bukan pada barangnya.

Kemudian berkata penulis rahimahullāh:

((ويُخْرج من ذلك ربع العشر))

_"Dan dikeluarkan zakātnya 2.5%."_

Ini adalah zakāt: عروض التجارة apabila telah mencapai syarat-syaratnya.

((ومستخرج من معادن و الذهب والفضة يخرج منه ربع العشر في الحال))

_"Ini terkait dengan zakāt ma'ādin (barang tambang) yang dikeluarkan, apabila seseorang memiliki tambang, baik tambang emas atau perak maka tatkala dikeluarkan dia wajib dizakāti pada saat dikeluarkan  2.5% atau dua seperempat persepuluh."_

Ini seperti zakāt: الزروع والثمار , yaitu pada saat dipanen, sehingga zakāt barang tambang ini adalah saat dikeluarkan.

Ini berbeda kasusnya antara:  الذهب والفضة (emas dan perak), yang dimiliki dengan emas dan perak sebagai bahan tambang yang dikeluarkan dari muka bumi.

Emas dan perak, الذهب والفضة , maka ini adalah jenis harta yang dikeluarkan zakatnya apabila telah mencapai nishāb dan haul. Adapun: معادن , tatkala dikeluarkan zakatnya dia tidak melihat kepada haulnya, tetapi pada saat dikeluarkan dari tambangnya. 

((وما يوجد من الركاز ففيه الخمس في الحال))

_"Dan zakāt الركاز (barang-barang yang tersimpan di bawah tanah), tatkala menemukan barang temuan dan kita tahu bahwasanya itu milik orang-orang kufar atau orang jāhilīyyah maka zakāt nya adalah 1/5 atau 20%."_

⇒ Ar rikāz ( الركاز ) adalah barang-barang milik jāhilīyyah yang ditanam atau disimpan di bawah tanah atau disebut juga dengan harta karun.

Adapun apabila kita mengetahui bahwasanya barang yang terpendam tersebut milik orang yang hidup maka tidak boleh, barang ini harus dikembalikan kepada pemiliknya.

Apabila kita temukan harta karun tersebut di dalam tanah yang diwaqafkan maka ini harus diberikan atau dikonsumsi atau digunakan untuk kemaslahatan waqaf.

Atau mungkin jika ada orang-orang yang mengakuinya maka dikembalikan kepada pemiliknya.

Yang dimaksud dengan ar rikāz adalah barang temuan milik orang-orang zaman dahulu dari kalangan jāhilīyyah.

Demikian yang bisa disampaikan halaqah ini dan kita akan lanjutkan pada pertemuan berikutnya.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_____________________

Rabu, 15 Januari 2020

DI ANTARA KASIH SAYANG RASŪLULLĀH ﷺ KEPADA ANAK KECIL

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 20 Jumada Al-Ula 1441 H / 15 Januari 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 37 | Di Antara Kasih Sayang Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam Kepada Anak Kecil
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-37
~~~~~~~~~~~~

*DI ANTARA KASIH SAYANG RASŪLULLĀH ﷺ KEPADA ANAK KECIL*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، ولاحول ولا قوة إلا بالله أما بعد

Ma'asyiral mustami'in, para pendengar, pemirsa rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-37 dari kitāb  Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

و من رحمة الرسول ﷺ بالصغارأيضا

DI ANTARA KASIH SAYANG RASŪLULLĀH ﷺ KEPADA ANAK KECIL

Di antara akhlak Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah memiliki sifat rahmah tidak kecuali kepada anak kecil.

Al Bukhāri dan Muslim meriwayatkan hadīts dari Al Bara bin 'Azib radhiyallāhu 'anhu, ia berkata:

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَالْحَسَنُ عَلَى عَاتِقِهِ يَقُولُ "اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ ".

_Aku melihat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, sedangkan Hasan bin Āli ada dipundaknya. Beliau berkata, "Ya Allāh, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah ia."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 3749 dan Muslim 2422)

Hadīts yang lain dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu, ia berkata:

خَرَجَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي طَائِفَةِ النَّهَارِ لاَ يُكَلِّمُنِي وَلاَ أُكَلِّمُهُ حَتَّى أَتَى سُوقَ بَنِي قَيْنُقَاعَ، فَجَلَسَ بِفِنَاءِ بَيْتِ فَاطِمَةَ فَقَالَ " أَثَمَّ لُكَعُ أَثَمَّ لُكَعُ ". فَحَبَسَتْهُ شَيْئًا فَظَنَنْتُ أَنَّهَا تُلْبِسُهُ سِخَابًا أَوْ تُغَسِّلُهُ، فَجَاءَ يَشْتَدُّ حَتَّى عَانَقَهُ وَقَبَّلَهُ، وَقَالَ "اللَّهُمَّ أَحْبِبْهُ وَأَحِبَّ مَنْ يُحِبُّهُ"

_Pada suatu hari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam pergi, Beliau tidak berbicara kepadaku dan akupun tidak berbicara kepadanya, sehingga kami sampai di pasar Bani Qainuqa'. Kemudian Beliau duduk di serambi rumah Fāthimah. Beliau berkata, "Apakah di sana ada si kecil ?" Ibunya menahan beberapa saat. Menurutku ibunya sedang memaķaikan kalung untuknya atau memandikannya. Tidak lama kemudian  dia datang dengan cepat, sehingga Rasul memeluknya dan menciumnya, Beliau berkata, "Ya Allāh, cintailah dia dan cintailah orang yang mencintainya."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 2122 dan Muslim nomor 2421)

Hadīts yang lain dari Abū Bakar Ash Shiddīq radhiyallāhu 'anhu, ia berkata:

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ، يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً، وَيَقُولُ  " ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ"

_Aku mendengarkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang berdiri berkhutbah di atas mimbar, sedang Al Hasan berada di sebelahnya. Terkadang Beliau melihat kepada orang-orang dan terkadang Beliau memandang Al Hasan, dan Beliau berkata, "Cucuku ini adalah pemimpin. Semoga Allāh mendamaikan dengannya antara dua kelompok yang bersengketa dari kaum muslimin."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 3746)

Dan ini terjadi (mukzijat nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam) ketika Al Hasan bin Āli bin Abī Thālib mengundurkan diri dari kekhilafahan dan saat itu kepemimpinan diberikan kepada Muawiyyah bin Abī Sufyan radhiyallāhu 'anhu.

Dan di antara rahmat Beliau kepada anak kecil adalah Beliau pernah menggendong Umāmah binti Zainab (cucu Beliau yang wanita) ketika shalāt. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al Bukhāri dan Muslim, dari Abū Qatadah Al Anshari, ia berkata:

"Bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam melakukan shalāt sambil menggendong Umamah puteri Zainab binti Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dari suaminya Abul 'Ash bin Ar Rabi' bin Abdisy Syams. Jika Beliau sujud, maka Beliau meletakkannya. Dan jika berdiri Beliau menggendongnya."

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 516 dan Muslim II/181)

Ketika Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengimami shalāt berjama'ah kemudian Beliau mendengar tangisan anak kecil, maka Beliau meringankan shalātnya.

Sebagaimana hadīts yang diriwayatkan oleh Al Bukhāri dan Muslim dari Anas Mālik radhiyallāhu 'anhu, ia berkata:

إِنِّي لأَدْخُلُ فِي الصَّلاَةِ وَأَنَا أُرِيدُ إِطَالَتَهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي مِمَّا أَعْلَمُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ مِنْ بُكَائِهِ

_"Sesungguhnya ketika aku akan melaksanakan shalāt dan hendak memanjangkannya, tiba-tiba aku mendengar tangisan seorang anak, akhirnya aku ringankan shalāt karena aku tahu kegelisahan sang ibu karena tangisan anaknya."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 709 dan Muslim nomor 3430)

Demikian, In syā Allāh nanti kita lanjutkan pada halaqah berikutnya masih berkaitan dengan masalah ini.

Semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_______________

Selasa, 14 Januari 2020

RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALAM PERNAH BERCANDA DENGAN ANAK YANG MASIH KECIL

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 19 Jumada Al-Ula 1441 H / 14 Januari 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 36 | Rasulullah Shallallahu 'alayhi wa Sallam Pernah Bercanda Dengan Anak Yang Masih Kecil
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-36
~~~~~~~~~~~~

*RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALAM PERNAH BERCANDA DENGAN ANAK YANG MASIH KECIL*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امور الدنيا والدين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين نبينا محمد وعلى آله وصحبه اجمعين ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين أما بعد

Ma'asyiral mustami'in, para pendengar, pemirsa yang semoga senantiasa di muliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Alhamdulillāhi Rabbil'ālamīn.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-36 dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

الرسول ﷺ يداعب طفلة صغيرة

_RASŪLULLĀH SHALLALLĀHU 'ALAYHI WA SALAM PERNAH BERCANDA DENGAN ANAK PEREMPUAN YANG MASIH KECIL_

Di sini penulis membawakan hadīts yang diriwayatkan oleh Al Bukhāri, dari Ummu Khalid binti Khalid radhiyallāhu 'anhā, ia berkata:

أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ " مَنْ تَرَوْنَ نَكْسُو هَذِهِ ". فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ " ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ ". فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ " أَبْلِي وَأَخْلِقِي ". وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ " يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ ". وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ

_Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah diberi kain yang di dalamnya ada satu kain kecil dari sutera atau wol bercorak hitam, lalu Rasul berkata:_

_"Siapakah yang pantas memakai kain ini?"_

_Semua terdiam, Rasul berkata: "Bawakan kepadaku Ummu Khalid!"_

_Lalu Ummu Khalid digendong kepada beliau, beliau mengambil kain sutera tersebut dan memakaikan kain tersebut kepadanya, beliau berkata:_

_"Kenakanlah pakaian ini sampai rusak dan lusuh."_

_Di dalam kain tersebut ada tanda hijau dan kuning, selanjutnya Rasul berkata:_

_"Wahai Ummu Khalid kain ini bagus."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 5823)

Inilah salah satu akhlak Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, beliau mencandai anak kecil (Ummu Khalid).

BELIAU SHALLALLĀHU ALAYHI WA SALAM BERCANDA DENGAN MENYEMBURKAN AIR KE MUKA ANAK KECIL

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bercanda dengan menyemburkan air di muka anak kecil yang lain.

Al Bukhāri meriwayatkan dari hadīts Mahmud bin Ar Rabi' radhiyallāhu 'anhu, dia berkata:

عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ.

_"Aku ingat sekali dari Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah semburan air dari mulutnya ke wajahku, yang beliau ambil dari sebuah ember, kala itu aku berumur lima tahun."_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 77)

Para ulama menafsirkan, semburan yang dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam jaraknya jauh karena: المج , artinya semburan air dari mulut. Dan tidak dikatakan: المج , kecuali jika disamburkan dari jauh.

Dan ungkapan ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Fathul Bāri I/172. Beliau menjelaskan apa yang dilakukan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan Mahmud masuk ke dalam kategori bercanda atau sesuatu yang dilakukan oleh Beliau untuk memberikan keberkahan seperti yang dilakukan Beliau kepada putera sahabat yang lain.

Dua hadīts di atas berkenaan dengan candaan dan akhlak mulia Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  kepada anak-anak kecil.

In syā Allāh kita lanjutkan kembali pada halaqah yang berikutnya masih berkaitan dengan contoh-contoh akhlak Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terkhusus kepada anak kecil.

Demikian para pendengar rahīmakumullāh semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_______________

HADĪTS: "WAHAI ABŪ 'UMAIR, APA YANG DILAKUKAN OLEH AN NUGHAIR (BURUNG KECIL)?

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 18 Jumada Al Ula 1441 H / 13 Januari 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu AlbAbnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath Athibbāi
🔊 Halaqah 35 | Hadits: “Wahai Abu ‘Umair, Apa Yang Dilakukan Oleh An-l Nughair (Burung Kecil) ?”
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-35
~~~~~~~~~~~~

*HADĪTS: "WAHAI ABŪ 'UMAIR, APA YANG DILAKUKAN OLEH AN NUGHAIR (BURUNG KECIL)?”*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، ولاحول ولا قوة إلا بالله أما بعد

Ma'asyiral Mustami'in, para pemirsa rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-35 dari kitāb  Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.

حدث يا أبا عمير ما فعل النغير وبعض ما فيه من فوائد

_▪HADĪTS: "WAHAI ABŪ 'UMAIR, APA YANG DILAKUKAN OLEH AN NUGHAIR (BURUNG KECIL)?” DAN BERBAGAI PELAJARAN YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA_

Lihatlah, bagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bercanda dengan anak kecil (shahabat yang masih kecil saat itu), dan bagaimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menanyakan burung yang menjadi permainannya.

Dari hadīts Anas bin Mālik radhiyallāhu 'anhu, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، لَيُخَالِطُنَا حَتَّى يَقُولَ لأَخٍ لِي صَغِيرٍ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟

_Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bergaul dengan kami sampai-sampai Beliau berkata kepada saudaraku yang masih kecil, "Wahai Abū 'Umair apa yang dilakukan oleh an nughair (burung kecil)?"_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 6129 dan Muslim nomor 2150)

Dalam riwayat Ahmad, disebutkan Abū Umair sedih karena burung itu mati, sehingga sebelum Beliau bertanya tentang burung itu Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mencandai Abū 'Umair terlebih dahulu.

Kemudian Beliau bertanya:

يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟

_"Wahai Abū 'Umair apa yang dilakukan oleh an nughair (burung kecil)?"_

Dari sini beberapa ulama memberikan kesimpulan atau beberapa faedah yang bisa kita ambil.

Di antaranya :

⑴ Bolehnya memberikan kun-yah kepada anak kecil. Sebagaimana sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

يَا أَبَا عُمَيْرٍ

_"Wahai Abū 'Umair."_

Jika laki-laki depannya: Abū, jika wanita: Ummu.

⑵ Bolehnya mencandai anak kecil. Sebagian ulama mengatakan hukumnya sunnah bukan hanya sekedar rukhsah, terkhusus anak kecil yang belum tamyiz (mumayiz) supaya mereka senang dan tidak sedih.

⑶ Bolehnya berlemah-lembut dengan teman kecil atau besar, bertanya tentang keadaannya, akrab dengan anak kecil dan menghibur mereka.

⑷ Bolehnya anak kecil bermain-main dengan burung dan kedua orangtua boleh membiarkan anaknya bermain dengan sesuatu yang diperbolehkan. Dan ulama memberikan satu kesimpulan bolehnya memelihara burung dalam sangkar selama dipelihara dengan baik, diberi makanan dan minuman.

⑸ Berbicara dengan anak kecil disesuaikan dengan kemampuan akal mereka.

Demikianlah para pendengar rahīmakumullāh semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_____

Rabu, 08 Januari 2020

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 50

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 13 Jumada Al-Ula 1441 H / 08 Januari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 052 | Hadits 50
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H052
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 50*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-52, dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita membahas hadīts yang ke-50 yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu, beliau mengatakan: Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ

_"Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jikalau dia membenci dari wanita tersebut sebuah akhlak niscaya dia juga ridhā akhlak lain dari wanita tersebut."_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim)

Di dalam hadīts mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberi kita petunjuk, lebih khusus memberikan petunjuk kepada seorang suami dalam mempergauli istrinya.

Yang mana petunjuk Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) ini merupakan sebab terbesar dan faktor yang sangat kuat untuk bisa membawa seorang suami dalam mempergauli istrinya dengan cara yang baik (husnil 'isyrah).

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam melarang seorang mukmin berperilaku buruk  kepada istrinya (suil 'isyrah).

Sesuatu yang dilarang oleh Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menuntut kita untuk melakukan hal sebaliknya, yaitu kita diperintahkan untuk berperilaku yang baik (husnil 'isyrah) kepada para istrinya.

Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan agar para suami memandang kepada akhlak-akhlak indah yang ada pada istrinya dan perkara-perkara yang dia sukai dari istrinya. Serta dia jadikan hal-hal tersebut sebagai pembanding atas hal-hal yang dia tidak sukai dari istrinya.

Karena seorang suami apabila dia perhatikan sesuatu yang ada pada istrinya yang berupa akhlak yang indah dan kebaikan-kebaikan yang dia sukai, kemudian dia melihat kepada sebab yang selama ini menjadikan dia bersikap tidak suka kepada istrinya, tentunya dia akan melihat satu atau dua hal saja dari hal-hal yang tidak dia sukai dari istrinya. Karena dia akan melihat kepada akhlak dan kebaikan istrinya yang  tentunya lebih banyak.

Apabila seorang suami bersikap adil, dia akan menutup matanya dari keburukan-keburukan yang ada pada istrinya.

Karena keburukan tersebut sudah tenggelam di dalam kebaikan-kebaikan yang begitu banyak yang ada pada istrinya. Sehingga kebersamaan di antara mereka berdua tetap langgeng dan hak-hak pun bisa digunakan dengan baik.

Baik hak-hak yang wajib maupun hak-hak yang mustahab. Bahkan bisa jadi sang istri akan berusaha untuk merubah sesuatu yang tidak disenangi oleh suaminya tersebut.

Adapun orang yang menutup mata dari kebaikan-kebaikan yang ada pada istrinya dan hanya melihat kepada keburukan-keburukan dari istrinya, maka orang seperti ini adalah orang yang tidak adil dan hampir-hampir dia tidak akan bahagia bersama istrinya.

Maka orang dalam hal ini terbagi menjadi 3 (tiga) kategori :

⑴ Orang yang paling mulia dalam hal ini.

Yaitu orang yang memperhatikan atau memandang kepada akhlak yang baik dan kebaikan-kebaikan yang ada pada istrinya dan dia menutup mata dari kejelekan-kejelekan yang ada pada istrinya secara total, sehingga dia melupakan kejelekan-kejelekan yang ada pada istrinya.

⑵ Orang yang paling sedikit diberikan taufīq dan sedikit akhlak yang mulia yang ada pada dirinya.

Yaitu orang yang merupakan kebalikan dari orang yang pertama yang dia menyia-nyiakan kebaikan yang ada pada istrinya meskipun kebaikan sang istri begitu banyak. Dan dia senantiasa menjadikan kejelekan-kejelekan atau keburukan-keburukan itu terus ada di hadapan matanya bahkan diperpanjang dan diperlebar. Serta dia tafsirkan dengan prasangka-prasangka dan takwilan-takwilan yang tentunya prasangka-prasangka dan takwilan-takwilan itu akan menjadikan kejelekan yang sedikit berubah menjadi banyak.

⑶ Orang yang memandang kepada dua hal tadi, kebaikan dan keburukan.

Dia melihat kebaikan dan keburukan, kemudian dia menimbang di antara keduanya dan dia perlakukan istrinya sesuai dengan takaran dari masing-masingnya. Seperti orang yang adil namun tidak sesempurna dari orang yang pertama.

Demikianlah adab yang diajarkan oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam kepada seorang suami dan tentunya hal ini patut untuk dia amalkan dan bukan hanya kepada seorang istri namun hal ini berlaku kepada semua orang yang kita diperintahkan untuk muasyarah bil ma'ruf, bergaul dengan mereka dengan cara yang baik. Sehingga hal bisa menjadikan dia menunaikan hak-hak yang wajib dan mustahab.

Demikian penjelasan hadīts yang mulia ini.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa berlaku adil (inshaf) dalam bermuamalah, di dalam menggauli orang-orang yang kita diperintahkan untuk bergaul dengan cara yang baik kepada mereka sehingga tercipta keharmonisan, tercipta kebaikan dan pergaulan yang baik di tengah-tengah kehidupan kita.

Wallāhu Ta'āla A'lam

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

________

Selasa, 07 Januari 2020

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 49 BAGIAN KE-2

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 12 Jumada Al-Ula 1441 H / 07 Januari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 051-a | Hadits 49 (lanjutan)
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H051a
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 49 BAGIAN KE-2*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-49 dalam kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Maksud dari hadīts Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam ini (يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ) adalah orang-orang yang menjadi mahram yang disebabkan adanya sebab melahirkan, hubungan kekerabatan atau nasab, maka orang-orang tersebut apabila diposisikan dalam persusuan, maka orang-orang itupun menjadi mahram bagi anak yang disusuinya.

Adapun kerabat dari anak susuan tadi, dia tidak menjadi mahram bagi ibu susuannya karena persusuan ini hanya dari sisi ibu susuan. Adapun dari sisi anak yang menyusu dari ibu susuan tadi hukum hanya berlaku bagi dia dan keturunannya saja.

Sedangkan bapak bayi tadi tidak menjadi mahram bagi ibu susuannya, begitu pula saudara anak tadi tidak menjadi mahram bagi ibu susuannya. Karena mereka tidak berkaitan dengan ibu susuan dalam hal persusuan.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan suatu kaidah di dalam menghukumi siapa yang menjadi mahram yang disebabkan adanya hubungan persusuan ketika bayi menyusu minimal 5 kali susuan dan di umur yang belum melebihi 2 tahun.

▪ Mahram Karena Hubungan Pernikahan

Selain dari hal-hal tersebut (dari orang-orang tadi) ada juga orang-orang yang menjadi mahram disebabkan sesuatu yang lain yaitu disebabkan adanya hubungan pernikahan.

Siapa saja mereka?

⑴ Ibunya istri, termasuk nenek-neneknya.
⑵ Anak-anaknya istri, dengan syarat istri yang sudah dinikahi tadi sudah terjadi hubungan suami istri, sehingga anak dari si istri bisa menjadi mahram bagi laki-laki tersebut.
⑶ Istri dari bapak-bapaknya, maksudnya apabila bapaknya menikah lagi maka istri bapaknya menjadi mahramnya. Termasuk juga Istri dari kakek-kakeknya, karena istilah aba atau bapak dalam bahasa Arab mencakup bapak yang lebih tinggi secara garis keturunan yaitu kakek.
⑷ Istri dari anak-anak, termasuk juga di dalamnya cucu.

⇒ Semua itu menjadi mahram karena pernikahan.

Apabila anak atau istri yang dia nikahi merupakan anak susuannya maka ibu susuannya menjadi mahramnya begitu pula anak susuannya menjadi mahramnya.

Misalkan :

Dia mempunyai bapak sepersusuan maka istri-istri dari bapak sepersusuan itu pun menjadi mahramnya.

Seorang wanita yang memiliki anak susuan atau laki-laki dia memiliki anak sepersusuan dari istrinya, maka istri dan anak-anaknya pun menjadi mahram baginya.

Berdasarkan kaidah ini, seandainya berdasarkan kerabat menjadi mahram, maka begitu pula orang yang menjadi anak dari sisi sepersusuan akan menjadi mahram pada hubungan yang lainnya.

Begitu pula di dalam masalah menjamak atau menggabungkan dua orang yang tidak boleh digabung dalam satu pernikahan. Apabila ada seorang perempuan dia memiliki saudari maka tidak boleh dinikahi bersama-sama.

Contoh :

Seseorang menikahi dua wanita yang mereka merupakan saudara, atau seseorang menikahi seorang wanita dengan bibinya, maka hal itu tidak boleh.

Begitu juga di dalam persusuan.

Misalnya :

Seorang menikah dengan seorang wanita dan wanita ini memiliki seorang saudari sepersusuan, meskipun bukan saudari senasab maka laki-laki ini tidak boleh menikahi saudari sepersusuan dari istrinya selama dia berstatus sebagai suami wanita tersebut.

Begitu juga dengan bibi sepersusuannya.

Semua itu berlaku sebagaimana berlaku pada hubungan nasab.

Demikian permasalahan yang bisa kita simpulkan dari hadīts yang mulia ini, dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam memberikan kepada kita suatu kaidah yang penting di dalam mengetahui siapa yang menjadi mahram dikarenakan adanya hubungan persusuan.

Demikian penjelasan hadīts ini.

Wallāhu Ta'āla A'lam

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

________

Senin, 06 Januari 2020

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 49

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 11 Jumada Al-Ula 1441 H / 06 Januari 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 051 | Hadits 49
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H051
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 49*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Kita lanjutkan pembahasan hadīts yang ke-49 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Hadīts yang diriwayatkan oleh Āisyah radhiyallāhu 'anhā. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلاَدَةِ

_"Menjadikan mahram dikarenakan adanya hubungan persusuan (terhadap) orang-orang yang menjadi mahram dikarenakan adanya hubungan kelahiran."_

(Hadits riwayat Imam Al Bukhāri dan Muslim)

Di dalam hadīts mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan tentang kaidah di dalam mengetahui mahram yang disebabkan karena adanya persusuan yang dilakukan oleh seorang anak bayi yang belum melebihi umur dua tahun. Yang dia menyusu kepada selain ibunya dengan batasan bayi itu telah menyusu sebanyak minimal 5 kali susuan.

Di dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan bahwa orang-orang yang menjadi mahramnya dikarenakan adanya sebab persusuan adalah sama sebagaimana orang-orang yang menjadi mahram di dalam kekerabatan atau di dalam sebab melahirkan.

Kalau di dalam kekerabatan atau nasab, orang-orang atau golongan yang merupakan mahram ada 7 (tujuh) yaitu :

⑴ Al Ummahāt (الأمهات), ibu

Termasuk dalam kategori ibu adalah nenek-neneknya, baik nenek dari pihak bapak ataupun dari pihak ibu.

⑵ Al Banat (البنات), anak perempuan

Termasuk dalam kategori ini adalah cucu-cucu perempuannya.

⑶ Al Akhawāt (الأخوات), saudari-saudarinya

Baik saudari kandung, saudari sebapak maupun saudari seibu, semua merupakan mahram.

⑷ Banatul Ikhwāh (بنات الإخوة)

Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan perempuan) mereka adalah mahram.

⑸ Banātul Akhawāt (بنات الأخوات)

Anak perempuan dari saudari-saudarinya (keponakan) mereka adalah mahram. Termasuk dalam kategori ini adalah cucu-cucu perempuan dari saudarinya tersebut.

⑹ Al 'Amāt (العمات)

Saudari dari pihak bapak atau kakeknya.

⑺ Khālāt (الخالات)

Saudari dari pihak ibu atau nenek.

Tujuh golongan ini merupakan mahram bagi seorang anak laki-laki yang disebabkan adanya wilādah (ولادة) atau sebab hubungan darah atau kerabat. Selain dari 7 golongan ini bukan merupakan mahram.

Siapa saja mereka ?

Yaitu :

Anak perempuan paman atau bibi (sepupu), meskipun mereka memiliki hubungan kerabat atau memiliki hubungan darah (sepupu bukanlah mahram).

Dari 7 golongan yang disebutkan di atas, apabila hal itu ditempatkan atau dimisalkan sebagai anak dari persusuan, maka 7 golongan itu menjadi mahram bagi anak yang menyusu kepada mereka.

Contoh :

Anak bayi ketika dia berumur belum lebih dari 2 tahun, yang dia menyusu kepada selain ibunya sebanyak 5 kali atau lebih, maka anak ini diistilahkan sebagai anak susuan.

Anak bayi ini diposisikan sebagai anak yang lahir dari rahim ibunya, sehingga kerabat-kerabat ibunya. Apabila di lihat dari sisi anak merupakan saudara. Sehingga paman atau bibinya menjadi mahram bagi dirinya.

Berarti dari sini  kita tahu bahwasanya,

√ Ibu susuannya itu merupakan mahram.

√ Nenek yang merupakan orang tua dari ibu susuannya adalah mahram.

√ Saudara-saudara sepersusuan atau anak-anak yang pernah menyusu kepada ibu tersebut, meskipun tidak ada hubungan kerabat dengan bayi tadi semua itu menjadi mahramnya.

√ Begitu juga suami ibu tersebut, ketika menyusui bayi tersebut merupakan suaminya dan diistilahkan sebagai shahihul laban, maka suami ibu tersebut merupakan mahram bagi anak bayi itu.

√ Saudara-saudara atau saudari-saudari dari ibu susunya (bibi sepersusuannya).

√ Saudari dari bapak sepersusuannya dan bibi sepersusuannya.

√ Begitu juga anak-anak dari saudara maupun saudari sepersusuanya, itupun menjadi mahram bagi bayi tadi.

Wallāhu Ta'āla A'lam

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

________

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits