Kamis, 23 Juli 2020

Keutamaan Amal Shalih Pada 10 Hari Di Awal Bulan Dzulhijjah

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 2 Dzulhijjah 1441 H / 23 Juli 2020 M
👤 Ustadz Fauzan Abdullah, S.T., M.A.
📗 Serial Bulan Dzulhijjah
🔊 Halaqah 04 | Keutamaan Amal Shalih Pada 10 Hari Di Awal Bulan Dzulhijjah
⬇ Download audio: bit.ly/Dzulhijjah1441-UF
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد الله والصلاة والسلام على رسول الله, أما بعد

Para sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Alhamdulillāh hari ini kita diberikan kesempatan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla untuk masuk pada fase (masa) yang terbaik, pada hari-hari yang terbaik yaitu 10 (sepuluh) hari di awal bulan Dzulhijjah.

Kita masuk tanggal 1 Dzulhijjah di mana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam beliau memotivasi kita semua untuk beramal shālih sebanyak-banyaknya.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ الْعَشْرِ

"Tidak ada satu hari pun di mana amalan shālih yang dikerjakan di dalamnya lebih baik dan dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla melainkan amalan-amalan yang dikerjakan pada sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah"

Maka sahabat bertanya:

فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

"Wahai Rasūlullāh, tidak juga jihād fī sabilillāh?"

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab:

وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ ‏

"Kecuali seseorang yang dia pergi berjihād fī sabilillāh membawa harta dan jiwanya kemudian tidak kembali sedikitpun keduanya (mati syahid)"

(Hadīts riwayat At-Tirmidzī nomor 757 dan Abū Dāwūd secara marfu')

Orang yang berjihād fīsabilillah kemudian dia mati syahid maka itulah yang dapat menandingi amalan-amalan shālih yang dikerjakan pada 10 (sepuluh) awal bulan Dzulhijjah.

Dari hadīts ini kita ketahui bahwasanya amalan-amalan yang dikerjakan di 10 (sepuluh) hari, awal bulan Dzulhijjah adalah amalan yang luar biasa, sehingga para sahabat sendiri merasa bahwa amalan jihād adalah yang paling besar. Sehingga mereka bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Oleh karena itu dalam satu kesempatan syaikh Utsaimin bertanya kepada hadirin, "Ada seorang yang shalāt dua raka'at di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhān dan ada seorang yang shalāt raka'at nafilah di 10 (sepuluh) hari awal bulan Dzulhijjah, mana yang lebih baik?"

Beliau (Syaikh Utsaimin) mengatakan :

"Yang lebih afdhal dan lebih baik adalah yang shalāt dua raka'at di awal 10 (sepuluh) hari bulan Dzulhijjah"

Beliau mengatakan,

"Ini adalah suatu yang aneh bagi orang-orang yang awam, akan tetapi bukan sesuatu yang aneh bagi ahli ilmu, karena mereka mengetahui tentang keutamaan 10 (sepuluh) hari awal bulan Dzulhijjah"

Oleh karena itu kata beliau,

"Oleh karena itu wajib bagi ahlul ilmi untuk terus menerangkan kepada orang-orang awam tentang keutamaan dari 10 (sepuluh) hari awal bulan Dzulhijjah, karena 10 (sepuluh) hari awal bulan Dzulhijjah lebih utama daripada 10 (sepuluh) hari di akhir bulan Ramadhān"

Walaupun di sana ada khilāf tentang malamnya akan tetapi secara umum para ulama bersepakat bahwa 10 (sepuluh) hari di awal bulan Dzulhijjah lebih utama daripada 10 (sepuluh) hari di akhir bulan Ramadhān.

Oleh karena itu para sahabat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Pada 10 (sepuluh) hari di awal bulan Dzulhijjah ini kita berlomba-lomba, kita bersegera untuk melaksanakan apa yang kita kerjakan untuk melakukan yang terbaik di 10 (sepuluh) hari di awal bulan Dzulhijjah ini dengan berbagai macam ibadah-ibadah yang Allāh Subhānahu wa Ta'āla perintahkan kepada kita.

Tatkala kita niatkan dengan ibadah dan kita sadar bahwa sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang luar biasa yang Allāh berikan kenikmatan ini kepada kita, memberikan kesempatan kepada kita semua.

Maka sangat merugi seseorang yang dia melalaikan kesempatan  yang Allāh berikan kepada kita ini.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla memberikan taufīq kepada kita semua agar kita berlomba-lomba, agar kita bersemangat, agar kita mengembalikan niat atau meniatkan segala aktifitas kita bahkan dalam pekerjaan kita, niatkan agar ia adalah ibadah.

Kita menunaikan amanah dengan sebaik mungkin, dan kita berusaha bersungguh-sungguh di semua waktu kita untuk beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, beramal shālih, bersedekah, shalāt, kita membaca Al-Qur'ān, kita bertutur kata yang baik, kita menolong orang lain, kita melakukan semua amal kebaikan.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla melipat gandakan dan menerima amalan-amalan kita semua.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

و صلى الله على نبينا محمد و على آله وصحبه و سلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Akhukum Fīllāh
Fauzan Abdullāh

____________________________

Nasihat Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-'Utsaimin rahimahullāh

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 1 Dzulhijjah 1441 H / 22 Juli 2020 M
👤 Ustadz Ratno Abu Muhammad, Lc.
📗 Serial Bulan Dzulhijjah
🔊 Halaqah 03 | Nasihat Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-'Utsaimin rahimahullāh
⬇ Download audio: bit.ly/Dzulhijjah1441-H2
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الْحَمْدُ لله، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رسول الله، وَعَلَى أله وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القيامة، أَمَّا بَعْدُ:

Sahabat Bimbingan Islām, rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Pada pertemuan ini, saya ingin mengisahkan bahwa Syaikh Muhammad bin Shālih Al 'Utsaimin rahimahullāh pernah ditanya, pertanyaannya adalah:

"Beberapa hari lagi kita akan menyambut 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, apa nasehat anda kepada kami semua agar kami bisa menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya. Saya memohon anda berkenan untuk menjelaskan keutamaan dan amalan yang di sunnahkan pada sepuluh hari ini (10 hari pertama bulan Dzulhijjah)?"

Sahabat Bimbingan Islām, rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Pertanyaan ini intinya ingin bertanya tentang apa saja amalan yang sepatutnya dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Dan jawaban Syaikh bisa di lihat di website resmi beliau yang berjudul: فضل عشر ذي الحجة (Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah).

Mari kita dengarkan jawaban beliau yang telah saya terjemahan.

Syaikh menjawab:

1. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dimulai sejak masuknya bulan dan berakhir pada hari raya Iedul Adha (sore harinya).

2. Keutamaan pada sepuluh hari tersebut, Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam telah bersabda, "Tidak ada hari yang amal shālih lebih dicintai Allāh daripada sepuluh hari ini."

Para shahabat pun bertanya, "Tidak pula jihād wahai Rasūlullāh?" Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam menjawab, "Tidak pula jihād fīsabilillāh, kecuali orang yang keluar berjihād dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak kembali sedikit pun dari keduanya."

Atas dasar ini, kata beliau (rahimahullāh):

⑴ Saya memotivasi saudara-saudaraku (kaum muslimin semua) untuk memanfaatkan kesempatan besar ini dengan sebaik-baiknya.

⑵ Saya juga mendorong mereka untuk memperbanyak amal shālih di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini (seperti) membaca Al Qur'ān, segala jenis dzikir (seperti) takbir, tahlil, tahmid dan tasbih.

√ Takbir: الله الكبر
√ Tahlil: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ
√ Tahmid: الحمد الله
√ Tasbih: سبحان الله

Memperbanyak kalimat-kalimat ini.

⑶ Kemudian beliau mengatakan demikian pula dengan bersedekah, berpuasa dan semua amal shālih lainnya. "Bersungguh-sungguhlah dalam mengusahakannya," kata beliau rahimahullāh.

⑷ Kemudian beliau rahimahullāh merasa aneh, karena sebagian orang lalai akan sepuluh hari awal  bulan Dzulhijjah ini.

"Kalian akan dapati mereka semangat beramal di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhān akan tetapi di sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hampir-hampir tidak engkau dapati seorang pun yang berusaha mengistimewakannya."

Sehingga apabila seorang manusia melakukan berbagai amal shālih pada siang hari dari sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah ini, "Sungguh ia telah menghidupkan amal shālih yang dibimbingkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam."

⑸ Kemudian kata beliau, "Apabila engkau telah masuk di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan engkau ingin berkurban maka janganlah engkau memotong rambut, memotong kuku, memotong kulit yang mengelupas (yang "sisetan" kalau dalam bahasa Jawa).

Ini semua tidak boleh diambil bagi orang yang memiliki niat untuk berkurban. Maksudnya tidak boleh mengambil rambut, mengambil kuku dan mengambil kulit yang mengelupas tadi. Adapun orang yang kurbannya diberi oleh orang lain, kata beliau: "Tidak perlu meninggalkan larangan ini."

Maksudnya bagaimana? Di kalimat berikutnya beliau rahimahullāh mengatakan:

"Atas dasar inilah apabila ada seorang yang ingin berkurban untuk dirinya sendiri dan juga keluarganya (sebagaimana sunnah yang seharusnya). Maka anggota keluarga tidak harus meninggalkan memotong rambut, tidak harus meninggalkan memotong kuku dan tidak harus meninggalkan memotong kulit yang mengelupas. Hanya yang hendak berkurban yang menjauhi larangan ini yaitu sang ayah."

Ini jawaban Syaikh rahimahullāh.

Kemudian saya pribadi ingin menambahkan, kenapa kita dilarang memotong rambut, memotong kuku atau memotong kulit yang mengelupas selama, apakah hikmahnya?

Hikmahnya disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullāh dalam kitāb beliau Al Minhaj Syarah Shahīh Muslim.

Beliau mengatakan:

"Ulama kami (Syāfi'iyyah) mengatakan: Dan hikmah larangan memotong rambut, memotong kuku dan memotong kulit yang mengelupas, agar anggota tubuh kita ini masih dalam keadaan sempurna agar nanti semuanya dibebaskan dari neraka."

Itu hikmah yang disebutkan oleh Imam An Nawawi rahimahullāh. Dan beliau menyebutkan beberapa hikmah lainnya tapi ini yang beliau disebutkan dengan: قأل , jelas shighahnya.

Semoga pembahasan ini bermanfaat dan kita akan memberikan kesimpulan. Di sini tadi Syaikh rahimahullāh menyebutkan bahwa:

⑴ Amalan di bulan Dzulhijjah ini dilipat-gandakan.

⑵ Syaikh memberikan dorongan kepada kita semua untuk memperbanyak membaca Al Qur'ān, berdzikir, takbir, tahlil tasbih, bersedekah, berpuasa dan amal shālih yang lainnya.

Syaikh merasa heran kenapa orang-orang tidak mengistimewakan hari ini sebagaimana mengistimewakan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhān.

⑶ Apabila seorang ingin berkurban maka dia jangan memotong rambut, memotong kuku dan memotong kulit yang mengelupas. Dan ini khusus untuk orang yang mempunyai niat untuk berkurban, adapun orang yang anggota keluarganya yang di ikut sertakan dalam kurban tersebut tidak perlu menjauhi larangan-larangan ini.

Semoga pembahasan ini bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb.

وصلى الله على نبينا محمد
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________________

Menggapai Kekhusyuan Di Dalam Shalat

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 30 Dzulqa’dah 1441 H / 21 Juli 2020 M
👤 Ustadz Ratno Abu Muhammad, Lc.
📗 Serial Bulan Dzuhijjah
🔊 Halaqah 02 | Menggapai Kekhusyuan Di Dalam Shalat
⬇ Download audio: bit.ly/Dzulhijjah1441-H1
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم القيامة  أما بعد

Sahabat Bimbingan Islām, rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Tidak terasa sebentar lagi kita akan memasuki bulan Dzulhijjah, salah satu dari bulan haram, salah satu dari bulan yang Allāh muliakan, yang mana amal shālih pada bulan tersebut akan dilipat-gandakan.

Bahkan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pernah bersumpah, tidak ada amal shālih yang lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla yang melebihi cinta Allāh kepada amal shālih yang dilakukan pada sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah ini.

Para sahabat pun bertanya,

وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

"Wahai Rasūlullāh, termasuk lebih utama dari jihād fīsabilillāh?”

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam  bersabda: “Termasuk jihād  fī sabilillāh tidak bisa menandingi amalan yang dilakukan di sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah".

Kemudian Beliau shallallāhu 'alayhi wa sallam mengecualikan satu, yaitu :

إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ

"Kecuali orang yang keluar berjihad di jalan Allāh, dengan membawa jiwa dan hartanya, dan tidak ada sedikitpun yang kembali (mati syahid)."

(Hadīts riwayat Al-Bukhāri)

Hanya orang yang berjihād kemudian mati syahid yang tidak bisa ditandingi dengan amalan-amalan bulan ini, artinya amalan-amalan bulan ini sangat istimewa, sangat besar sekali pahalanya.

Dan salah satu amalan yang sering kita lakukan setiap harinya adalah shalāt lima waktu.

Sahabat Bimbingan Islām, rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Syaikh Muhammad bin Shālih Al-'Utsaimin pernah menyatakan bahwa hal terpenting setelah seorang mencontoh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dalam shalātnya adalah seorang bisa fokus (khusyuk) dalam shalātnya.

Ketika dia shalāt, dia berpikir bahwa dia benar-benar sedang shalāt, pikirannya tidak pergi kemana-mana. Saat dia berdo'a, dia paham (dia sedang berdo'a apa), saat dia membaca bacaan shalāt dia paham bacaan apa yang sedang dia baca, saat dia rukuk dia paham kalau dirinya sedang rukuk, ini yang terpenting yaitu khusyuk.

Salah satu cara untuk mengetes kekhusyukan shalāt kita adalah dengan instropeksi diri, apakah kita sadar dengan do'a-do'a yang kita panjatkan saat duduk di antara dua sujud.

Saat duduk di antara dua sujud kita berdo'a:

رَبِّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاجْبُرْنِي ، وَارْفَعْنِي،  وَاهْدِنِي، وَعَافِنِي ، وَارْزُقْنِي

"Yā Allāh ampunilah aku, rahmatilah aku, tutuplah kekuranganku, tinggikanlah derajatku, berilah hidayah (petunjuk) untukku, berilah keselamatan pada diriku, hartaku, badanku, baik dunia maupun akhirat, dan berikanlah kesehatan kepadaku, dan berikanlah rezeki kepadaku."

Tapi pernahkah kita sadar, setiap kali kita selesai shalāt, kita sudah meminta tujuh hal tersebut kepada Allāh dan minimalnya sudah 17 kali dalam sehari kita berdo'a seperti  itu.

Sahabat Bimbingan Islām, rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Saya pribadi mengajak diri pribadi, begitu juga sahabat semuanya untuk instropeksi diri. Di sepuluh hari awal bulan  Dzulhijjah ini, coba kita tes seberapa besar kekhusyukan kita, seberapa paham kita dengan do'a-do'a yang kita panjatkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla dalam shalāt.

Mungkin kita sudah banyak berdo'a seperti tadi (meminta rezeki, meminta rahmat, meminta ampunan) mungkin do'a kita belum di ijabah oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Urusan kita masih susah, bisa jadi karena kita berdo'a tetapi kita tidak menghadirkan hati.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menyatakan,

إنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ

"Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla tidak akan mengijabah do'a dari hati yang lalai dan bermain-main."

(Hadīts riwayat At-Tirmidzī nomor 3479)

Sekali lagi, saya mengajak diri saya pribadi begitu juga kepada teman-teman semua sahabat Bimbingan Islām untuk instropeksi diri.

Sudahkah kita khusyuk dalam shalāt kita dan kita lihat dari do'a duduk di antara dua sujud.

Sudahkah kita paham dan saat selesai shalāt, sudahkah kita merasa berdo'a hal-hal tersebut kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Semoga di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini, di waktu yang mulia ini, di saat amalan-amalan sangat utama tidak bisa dikalahkan kecuali dengan jihād kemudian orangnya mati syahid.

Apakah kita berhasil untuk menjadikan shalāt kita, shalāt yang khusyuk?

Mari kita jadikan shalāt kita menjadi shalāt yang khusyuk tentu dengan memperbanyak do'a kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Karena diri kita lemah dan Allāh lah yang Maha Mampu.

Maka kita berdo'a,

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

”Yā Allāh, tolong aku untuk menyebut nama-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah yang baik untuk-Mu."

Semoga kita semua diberikan taufīq dan dimudahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Wallāhu Ta'āla A'lam Bishawāb.

وصلى الله على نبينا محمد
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________________

AMALAN YANG HAMPIR MENYAMAI PAHALA BERJIHAD

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 29 Dzulqa'dah 1441 H / 20 Juli 2020 M
👤 Ustadz Ratno Abu Muhammad, Lc
📗 Serial Bulan Dzulhijjah
🔊 Halaqah 01| Amalan Yang Hampir Menyamai Pahala Berjihad
⬇ Download audio: bit.ly/Djulhijjah1440-H1
〰〰〰〰〰〰〰

*AMALAN YANG HAMPIR MENYAMAI PAHALA BERJIHAD*

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد الله و صلاة و سلم على رسول الله و على أله و أصحابه ومن تبعهم بإحسان الى يوم القيامة أما بعد

Sahabat Bimbingan Islām, yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla menciptakan banyak hal yang memiliki kedudukan berbeda. Ada orang mulia, ada orang hina, ada ahli surga, ada ahli neraka, ada orang baik adapula orang jaha. Ada hari yang mulia ada juga hari yang biasa saja, ada bulan mulia ada pula bulan yang biasa saja.

Hanya saja tidak ada hari dan tidak ada bulan yang ada kesialan padanya.

Dan tidak terasa kita memasuki sebuah bulan, yang amal shālih akan lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Dan tidak terasa sebentar lagi kita akan memasuki hari-hari yang amal shālih akan lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla daripada amalan yang dilakukan pada hari-hari selainnya (yaitu) 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Kita hidup di dunia ini, ingin mencari apa?

Pasti jawaban kita,

√ Kita ingin dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

√ Kita ingin diridhāi oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Sahabat Bimbingan Islām.

Pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, kesempatan untuk dicintai dan diridhāi oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla akan menghampiri kita.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ اْلأيَّامِ الْعَشْرِ

_"Tidak ada hari yang bisa melebihi kecintaan Allāh Subhānahu wa Ta'āla pada amal shālih yang dilakukan pada 10 hari pertama dibulan Dzulhijjah."_

(Hadīts riwayat Abū Dāwūd, Ibnu Mājah, At Tirmidzī dan dishahīhkan oleh Syaikh Albāniy rahimahullāh)

Dari hadīts ini, kita mengetahui bahwa amal shālih yang dilakukan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sangat dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla. Tidak ada hari-hari yang bisa mengalahkannya.

Bahkan menurut para ulamā, 10 hari pertama bulan Dzulhijjah (yaitu) pada siang harinya tidak bisa dikalahkan dengan 10 hari siangnya bulan Ramadhān.

Perlu diingat! Yang kita bicarakan adalah siangnya, adapun malamnya maka pembahasannya berbeda.

Sehingga ketika kita bersedekah di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah dengan uang 10 ribu, maka akan lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla daripada sedekah 10 ribu diluar 10 hari ini.

Ketika kita shalāt dhuhur atau shalāt ashar di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah maka akan lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla daripada shalāt dhuhur atau shalāt ashar di luar 10 hari pertama bulan ini.

Ketika kita puasa sunnah pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah maka akan lebih dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla daripada puasa sunnah di luar 10 hari ini.

Menurut para ulamā keutamaan ini mencakup seluruh amal shālih (apapun itu) baik puasa, shalāt, sedekah, dzikir dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, ketika disampaikan hadīts ini para shahābat bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّ

_"Wahai Rasūlullāh, apakah pahala jihād fī sabīlillāh juga tidak bisa mengalahkan amal shālih pada hari ini?"_

_Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) menjawab:_

وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

_"Iya, jihād dijalan Allāh tidak bisa mengalahkannya."_

Kemudian Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) memberikan catatan tambahan:

إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ 

_"Kecuali orang yang berjihād fī sabīlillāh dengan jiwa dan hartanya kemudian tidak ada yang kembali sedikitpun (maksudnya ia mati syahīd).”_

Itulah amalan yang dapat mengalahkan kecintaan Allāh yaitu amalan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Adapun amalan yang lainnya, maka tidak bisa mengalahkannya sesuai dengan sabda Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ini.

Mari kita memperbanyak do'a.

Mari kita memperbanyak isti'ānah (meminta pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla) agar kita dimudahkan, agar kita diberikan taufik untuk menciptakan pundi-pundi pahala amal shālih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.

Semoga bermanfaat.

Wallāhu Ta'āla a'lam bishawāb

وصلى الله على نبينا محمد

_________

Jumat, 17 Juli 2020

Sabar Dalam Menghindari Maksiat

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 26 Dzulqa'dah 1441 H / 17 Juli 2020 M
👤 Ustadz Ali Ahmad -Hafizhahullah-
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 80 | Sabar Dalam Menghindari Maksiat
🔄 Download Audio: bit.ly/NasihatSingkat-80
〰〰〰〰〰〰〰

🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :

| BNI Syariah
| Kode Bank (427)
| Nomor Rekening : 8145.9999.50
| a.n Yayasan Bimbingan Islam
| Konfirmasi klik https://bimbinganislam.com/konfirmasi-donasi/
__________________

MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب), BAGIAN KETIGA

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 24 Dzulqa’dah 1441 H / 15 Juli 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 50 | Meringankan Hukuman (Bagian 03)
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-50
~~~~~~~~~~~~

*MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب), BAGIAN KETIGA*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله وصلاة و سلم على رسول الله و على آله و صحبه ومن ولاه ولاحول ولا قوة إلا بالله. اما بعد

Para pendengar rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-50 dari pembahasan kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

Masih di judul yang sama, kita melanjutkan pada kitāb dalam halaman 90.

Intinya, jika diperlukan untuk menghukum anak, maka lakukanlah dengan sewajarnya. Dan ingat, kita selaku orang tua bukanlah orang yang ma'shum (terhindar dari kesalahan).

Kita pernah menghukum anak-anak kita berlebihan atau mungkin ada perilaku kita yang tidak pantas dilakukan di depan anak-anak kita.

Misalnya:

Kita pernah menghukum mereka dengan hukuman berat atau berlebihan, kita pernah mencaci-maki mereka, mengucapkan kata-kata kasar kepada mereka.

Seharusnya kita selaku orang tua memberikan motivasi agar mereka benar dan meluruskan perbuatan atau kesalahan anak kita.

Ingat, kita orang tua pun pernah salah kepada anak-anak kita dan jangan sampai anak-anak kita terzhālimi oleh kita selaku orang tua.

Kita perhatikan firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dalam surat Al Isrā ayat 23 sampai 25.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا ۞ وَٱخۡفِضۡ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحۡمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرۡحَمۡهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرٗا ۞

_Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik._

_Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil."_

(QS Al Isrā: 23-24)

Kemudian pada ayat selanjutnya Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

رَّبُّكُمۡ أَعۡلَمُ بِمَا فِي نُفُوسِكُمۡۚ إِن تَكُونُواْ صَٰلِحِينَ فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّٰبِينَ غَفُورٗا ۞

_Rabb kalian lebih mengetahui apa yang ada dalam hati kalian; jika kalian orang yang baik, maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertaubat._

(QS Al Isrā: 25)

Tentang ayat ini, penulis mengatakan:

والله أعلم - أنه حتى أهل الصلاح الذين امتلأت قلوبهم محبة لوالديهم ،

_Wallāhu A’lam, bahkan mungkin orang shālih sekali pun yang hati mereka dipenuhi rasa cinta dan kasih sayang kepada kedua orang tua, terkadang mereka salah bersikap terhadap kedua orang tuanya._

Kemudian, jika orang tua kita pernah melakukan kesalahan kepada anak-anaknya, kita sebagai anak jangan ada dendam kepada mereka (kedua orang tua).

Maka dikatakan:

فحينئذ إذا صدرت منهم الزلات و تلك الهفوات فباب التوبة مفتوح

_Ketika mereka melakukan kesalahan dalam mendidik anak-anak mereka, maka sesungguhnya pintu untuk bertaubat masih sangat terbuka dan pintu ampunan masih lebar._

Karena di akhir ayat Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengatakan:

فَإِنَّهُۥ كَانَ لِلۡأَوَّٰبِينَ غَفُورٗا

_"Maka sungguh, Dia Maha Pengampun kepada orang yang bertaubat.”_

Siapapun pasti pernah bersalah, sebagaimana di sebutkan dalam hadīts (telah berlalu pembahasanannya),

كُلُّ بَنِى آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

_"Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat."_

Jadi ingat !

Kesalahan itu tidak selalu dari anak akan tetapi kita (orang tua) pernah melakukan kesalahan kepada mereka (anak-anak). Misalnya berlebihan dalam menghukum mereka, kasar dalam berkata-kata dan sebagainya.

Maka bertaubatlah kepada Allāh karena kesalahan itu dilakukan oleh manusia dan sebaik-baik manusia yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikian semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_______________

Rabu, 15 Juli 2020

MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب), BAGIAN KEDUA*

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 23 Dzulqa’dah 1441 H / 14 Juli 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 49 | Meringankan Hukuman (Bagian 02)
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-49
~~~~~~~~~~~~

*MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب), BAGIAN KEDUA*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَفِ  الأَنْبِيَاءِ الْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصحبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، وَبَعْدُ:

Para pendengar rahīmakumullāh.

Kita lanjutkan pembahasan kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīdzahullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-49 dari pembahasan kitāb ini.

Pada pertemuan sebelumnya kita sudah membahas sekilas, tentang kalau kita selaku orang tua ingin memghukum anak-anak, maka hukumlah mereka seperlunya (sebagiannya).

Tidak menghukum anak-anak secara keseluruhan, yang diperhitungkan dari seluruh  kesalahan anak-anak, tidak!

Dan jangan dipahami bahwa orang tua tidak boleh memberi hukuman sama sekali, karena Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam pun pernah menghukum istrinya.

Kita lihat contoh, hadīts yang diriwayatkan oleh Muslim dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā.

Āisyah mengatakan:

أَلاَ أُحَدِّثُكُمْ عَنِّي وَعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم . قُلْنَا بَلَى .

قَالَ قَالَتْ لَمَّا كَانَتْ لَيْلَتِيَ الَّتِي كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِيهَا عِنْدِي انْقَلَبَ فَوَضَعَ رِدَاءَهُ وَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عِنْدَ رِجْلَيْهِ وَبَسَطَ طَرَفَ إِزَارِهِ عَلَى فِرَاشِهِ فَاضْطَجَعَ فَلَمْ يَلْبَثْ إِلاَّ رَيْثَمَا ظَنَّ أَنْ قَدْ رَقَدْتُ

فَأَخَذَ رِدَاءَهُ رُوَيْدًا وَانْتَعَلَ رُوَيْدًا وَفَتَحَ الْبَابَ فَخَرَجَ ثُمَّ أَجَافَهُ رُوَيْدًا فَجَعَلْتُ دِرْعِي فِي رَأْسِي وَاخْتَمَرْتُ وَتَقَنَّعْتُ إِزَارِي ثُمَّ انْطَلَقْتُ عَلَى إِثْرِهِ حَتَّى جَاءَ الْبَقِيعَ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ انْحَرَفَ فَانْحَرَفْتُ فَأَسْرَعَ فَأَسْرَعْتُ فَهَرْوَلَ فَهَرْوَلْتُ فَأَحْضَرَ فَأَحْضَرْتُ فَسَبَقْتُهُ فَدَخَلْتُ

فَلَيْسَ إِلاَّ أَنِ اضْطَجَعْتُ فَدَخَلَ فَقَالَ " مَا لَكِ يَا عَائِشُ حَشْيَا رَابِيَةً " . قَالَتْ قُلْتُ لاَ شَىْءَ . قَالَ " لَتُخْبِرِينِي أَوْ لَيُخْبِرَنِّي اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ " . قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي . فَأَخْبَرْتُهُ قَالَ "فَأَنْتِ السَّوَادُ الَّذِي رَأَيْتُ أَمَامِي " . قُلْتُ نَعَمْ . فَلَهَدَنِي فِي صَدْرِي لَهْدَةً أَوْجَعَتْنِي

_"Maukah kalian aku ceritakan tentang diriku dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam?"_

_Kami menjawab, "Tentu saja."_

_Āisyah berkata:_

_Pada suatu malam Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berada di rumahku. Beliau datang dengan menyimpan selendangnya, membuka sepasang sandalnya dan meletakkan keduanya di dekat kakinya. Lalu Beliau menghamparkan ujung kainnya pada tempat tidur, kemudian Beliau membaringkan dirinya._

_Tidak lama kemudian setelah Beliau menyangka aku sudah tidur. Beliau mengambil kembali selendangnya pelan-pelan dan memakai sandal pelan-pelan pula, kemudian Beliau membuka pintu dan menutupnya dengan sangat hati-hati._

_Akhirnya aku mengambil baju dan memakainya di kepala, mengambil kerudung dan kain, selanjutnya aku mengikuti Beliau dari belakang, hingga Beliau sampai di Baqī' dan berdiri di sana. Lama beliau berdiri. Lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali._

_Selanjutnya Beliau pergi dan aku pun pergi. Beliau berjalan cepat aku pun berlari kecil. Beliau berlari kecil aku pun demikian. Dan Beliau berlari kembali aku pun berlari seperti Beliau sehingga aku mendahuluinya masuk_.

_Ketika Beliau masuk aku sedang berbaring, lalu Beliau bertanya:_

_"Apa yang terjadi dengan mu wahai Āisyah! Kenapa engkau terengah-engah?"_

_"Tidak ada apa-apa," jawabku._

_Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berkata:_

_"Beritahukanlah kepadaku atau Allāh yang Maha lembut lagi Maha Mengetahui akan memberitahukannya kepadaku."_

_Āisyah berkata, "Wahai Rasūlullāh, ibu dan bapakku sebagai tebusannya."_

_Lalu aku memberitahukannya. Rasūlullah shallallāhu 'alaihi wasallam berkata:_

_"Engkaukah bayangan hitam yang ada di depanku?"_

_"Iya, betul," jawabku._

_Lalu beliau mendorong dadaku sehingga aku merasakan (sedikit) sakit._

Poin hadīts ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menghukum Āisyah radhiyallāhu 'anhā dengan hukuman yang seperlunya, hanya sekedar mendorong, tetapi Āisyah merasakan dadanya sedikit rasa sakit.

Dan kalau kita lihat perbuatan Āisyah ini cukup menggelitik. Apalagi beliau umahatul mukminin, sifat kecemburuannya sangat luar biasa. Walaupun Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menghukum namun Beliau menghukum dengan sewajarnya.

Maka hukumlah jika itu perlu di hukum, tetapi hukumlah sewajarnya tidak berlebihan. Selama tujuan sudah tercapai yaitu dia mendapatkan nasehat dari kesalahannya tersebut (mendapatkan pelajaran dari kesalahannya itu).

Demikian semoga bermanfaat, kita lanjutkan kembali pada pertemuan berikutnya, atas segala kekurangan mohon maaf.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_______________

MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب) BAGIAN PERTAMA*

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 22 Dzulqa’dah 1441 H / 13 Juli 2020 M
👤 Ustadz Arief Budiman, Lc
📗 Kitāb Fiqhu Tarbiyatu Al-Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Ath-Athibbāi
🔊 Halaqah 48 | Meringankan Hukuman
⬇ Download audio: bit.ly/TarbiyatulAbna-48
~~~~~~~~~~~~

*MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب) BAGIAN PERTAMA*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله وصلاة و سلم على رسول الله و على آله و صحبه ومن ولاه ولاحول ولا قوة إلا بالله. اما بعد

Ma'āsyiral muslimin, ma’āsyiral mustamiin, para pemirsa rahīmakumullāh.

Ini adalah pertemuan kita yang ke-48 dari kitāb Fiqhu Tarbiyatul Abnā wa Thāifatu min Nashā'ihi Al Athibbāi, tentang fiqih mendidik atau membimbing anak-anak dan penjelasan sebagian nasehat dari para dokter, karya Syaikh Musthafa Al Adawi Hafīzhahullāh.

Kita lanjutkan pembahasan kita pada halaman 88. Di sini penulis membuat satu sub judul:

▪MERINGANKAN HUKUMAN (تخفيف العتاب)

Meringankan hukuman kepada anak-anak kita apabila mereka melakukan kesalahan, karena anak-anak memiliki kadar akal yang tidak sama dengan orang dewasa.

Sehingga bila mereka melakukan kesalahan dan mengharuskan kita orang tua menghukum mereka agar mereka paham, maka janganlah mereka dihukum dengan hukuman berat.

Dalam kitāb disebutkan:

بل إن آخذتهم فآخذهم ببعض أفعالهم وتجوز لهم عن البعض الآخر

_"Jika harus menghukum mereka, maka hukumlah dengan sebagian perbuatan mereka dan maafkan sebagian yang lain."_

Seandainya mereka melakukan lima kesalahan maka kita hukum dua saja atau maksimal tiga, jangan semua.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla di dalam surat An Nissā ayat 5 mensifati anak-anak, khususnya anak yatim dan wanita secara umum, sebagaimana diungkapkan oleh para ulama tafsir, Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَلَا تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا

_"Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allāh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."_

(QS An Nissā: 5)

Allāh sebutkan disini as sufahā' (ٱلسُّفَهَآء), maksudnya adalah orang-orang yang belum sempurna akalnya yaitu anak-anak, khususnya anak-anak yatim yang belum bāligh, dan orang dewasa, khususnya wanita, yang belum bisa mengatur hartanya.

Penulis mengatakan:

و قد ذكرت - في كتابي فقه التعامل بين الزوجين- قال الله تعالى:

_Saya telah menjelaskan di dalam kitābku Fiqhut Ta'āmul bainaz Zaujaini (Fiqih muamalat tentang suami istri) tentang firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla:_

وَإِذۡ أَسَرَّ ٱلنَّبِيُّ إِلَىٰ بَعۡضِ أَزۡوَٰجِهِۦ حَدِيثٗا فَلَمَّا نَبَّأَتۡ بِهِۦ وَأَظۡهَرَهُ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ عَرَّفَ بَعۡضَهُۥ وَأَعۡرَضَ عَنۢ بَعۡضٖۖ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِۦ قَالَتۡ مَنۡ أَنۢبَأَكَ هَٰذَاۖ قَالَ نَبَّأَنِيَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡخَبِيرُ

_Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafsah). Lalu dia menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allāh  memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan (kepada Hafsah) sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain._

_Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya (Hafsah), dia bertanya, “Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku adalah Allāh Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”_

(QS At Tahrīm: 3)

Saya telah menjelaskan di dalam kitāb tersebut surat At Tahrīm ayat 3, jika seorang wanita melakukan kesalahan sebanyak sepuluh kali, maka hukumlah mereka pada lima atau enam kesalahan mereka, atau kurang dan tinggalkanlah kesalahan yang lainnya, karena Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman tentang Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

....... عَرَّفَ بَعْضه وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْض....

_".....Lalu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allāh kepadanya) dan menyembunyikan yang sebagian lain (kepada Hafshah)...."_

(QS At Tahrīm: 3)

Kalau semua kesalahan istrinya diceritakan semua, tentunya tidak baik dan berdampak kepada psikologis wanita dan anak-anak.

Dalam kitāb disebutkan:

وايضا فالأطفال في هذا الباب كذلك

_Demikian pula terjadi pada anak-anak di dalam masalah ini._

Artinya kalau anak-anak kita melakukan satu kesalahan maka hukum lah mereka secukupnya dan maafkan sebagian yang lain.

Di dalam shahīh Al Bukhāri dan Muslim yang diriwayatkan dari hadīts Anas Mālik radhiyallāhu 'anhu, beliau menceritakan tentang pengalaman beliau ketika menjadi khadim (pelayan) yang berkhidmat kepada Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Beliau berkata:

خَدَمْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَشْرَ سِنِينَ وَاللَّهِ مَا قَالَ لِي أُفًّا قَطُّ وَلاَ قَالَ لِي لِشَىْءٍ لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَهَلاَّ فَعَلْتَ كَذَا

_Sepuluh tahun aku membantu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, demi Allāh, tidak pernah aku mendengar kata 'uff (ah)' sekalipun dari Beliau, tidak pula Beliau mengatakan, "Kenapa engkau melakukan ini?"Atau, "Kenapa engkau tidak melakukan ini?"_

Artinya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak pernah menghukum Anas bin Mālik, (mungkin) karena Anas bin Mālik memang benar perbuatannya dan tidak pernah melakukan kesalahan.

Dan ingat hadīts ini bukan dipahami bahwasanya orang tua tidak boleh menghukum anak sama sekali, ini pemahaman yang keliru.

Tetap boleh bagi orang tua menghukum anaknya, tetapi harus disesuaikan atau diringankan, karena inti dari hukuman adalah agar anak sadar dengan kesalahannya bukan agar orang tua puas melampiaskan kemarahan dan emosinya.

Hukuman diberikan agar anak mendapatkan pendidikan yang benar (maka diberikan hukuman yang secukupnya), karena anak pun berbeda-beda.

Ada anak yang dihukum sedikit kemudian dia sadar, menangis dan dia minta maaf. Sebaliknya ada juga anak yang perlu hukuman lebih.

In syā Allāh pembahasan ini kita lanjutkan pada  pertemuan yang akan datang.

Demikian semoga bermanfaat dan mohon maaf atas segala kekurangan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

_____________

Hidup Yang Berkualitas

🌍 BimbinganIslam.com
Jumat, 19 Dzulqa'dah 1441 H / 10 Juli 2020 M
👤 Ustadz Rizal Yuliar Putrananda, Lc.
📒 Nasihat Singkat Bimbingan Islam
🔊 Audio 79 | Hidup Yang Berkualitas
🔄 Download Audio: bit.ly/NasihatSingkat-79
〰〰〰〰〰〰〰

🏦 *Salurkan Donasi Dakwah Terbaik Anda* melalui :

| BNI Syariah
| Kode Bank (427)
| Nomor Rekening : 8145.9999.50
| a.n Yayasan Bimbingan Islam
| Konfirmasi klik https://bimbinganislam.com/konfirmasi-donasi/
__________________

Jumat, 10 Juli 2020

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 60

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 17 Dzulqa’dah 1441 H / 08 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 062 | Hadits 60
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H062
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 60*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-62 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-60 yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Rāfi' bin Khadīj radhiyallāhu 'anhu, ia berkata :

قُلْت: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لاَقُوا الْعَدُوِّ غَدًا وَلَيْسَ مَعَنَا مُدًى أفنذبح بالقصب؟

Aku berkata, "Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya kita akan bertemu musuh besok dan saat ini kami tidak memiliki pisau untuk menyembelih, apakah boleh kita menyembelih menggunakan rotan (bambu)".

قال: ما أنهر الدّم وذكر اسم الله عليه فكل، ليس السّنّ والظّفر

Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) menjawab, "Apa-apa saja yang dapat mengalirkan darah dan disebutkan Nama Allāh padanya (hewan sembelihan) selain (menggunakan) gigi dan kuku, maka makanlah"

وسأحدّثك عنه: أما السّنّ فعظم، وأما الظّفر فمدى الحبشة

Aku akan ceritakan alasannya kepadamu tentang ini. "Adapun gigi adalah tulang sedangkan kuku adalah pisaunya orang Habasyah".

وأصبنا نهب إبل وغنم فندّ منها بعير، فرماه رجل بسهم فحبسه

Kami pun mendapat rampasan berupa unta dan kambing. Lalu seekor unta lari dari kumpulannya dan dipanah oleh seorang laki-laki sehingga menghentikan langkahnya.

فقال رسول الله : إن لهذه أوابد كأوابد الوحش، فإذا غلبكم منها شيء فافعلوا به هكذا

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya hewan ini memiliki sifat seperti sifat binatang liar. Apabila sesuatu dari hewan-hewan tersebut menjadikan kalian tidak mampu untuk menangkapnya, kemudian disembelih maka cukup perlakukan saja seperti apa yang dilakukan orang tersebut (yaitu) dengan melukai hewan tersebut dibagian mana saja" (Muttafaq'alaih)

(Hadīts riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)

Ikhwātal Kiram A'ādzaniyallāh wa Iyyakum.

Didalam hadīts yang mulia ini, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan suatu kaidah di dalam menentukan alat apa saja yang boleh digunakan untuk menyembelih, dan bagaimana cara menyembelih hewan yang apabila hewan tersebut lari yaitu tidak mampu untuk disembelih secara normal.

⑴ Alat yang digunakan untuk menyembelih

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan di dalam hadīts ini ما أنهر الدّم alat apapun yang bisa mengalirkan darah.

Ini merupakan suatu ungkapan yang singkat namun memiliki makna dan cakupan yang luas. Sehingga para ulama menjelaskan bahwasanya alat yang boleh digunakan untuk menyembelih hewan adalah segala sesuatu yang bisa mengalirkan darah, baik itu terbuat dari besi, tembaga, kayu, atau bahkan rotan selama dia bisa untuk melukai dan mengalirkan darah maka alat itu boleh digunakan untuk menyembelih (kecuali) alat yang terbuat dari tulang atau kuku.

Karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam hadīts ini ليس السّنّ والظّفر (selama bukan menggunakan gigi dan kuku).

Dan alasan bukan menggunakan gigi, beliau sebutkan أما السّنّ فعظم (karena gigi adalah tulang). Sehingga jika alat tersebut terbuat dari tulang maka ini tidak boleh, meskipun alat tersebut bisa digunakan untuk melukai hewan.

Begitu pula apabila alat tersebut  terbuat dari kulit atau cakar maka itu pun tidak diperbolehkan. Adapun selain dari keduanya (gigi dan kuku) selama bisa untuk melukai hewan tersebut maka diperbolehkan untuk menyembelih.

⑵ Kemudian beliau sebutkan syarat kedua dalam dalam hadīts ini وذكر اسم الله عليه (ketika menyembelih menyebut nama Allāh), barulah hewan tersebut halal untuk dimakan.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengatakan فكل - ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh syari'at dalam tata cara menyembelih.

⑶ Adakalanya hewan yang ingin disembelih tidak bisa ditangkap (hewan liar, misalnya) sehingga sulit untuk ditangkap.

Kemudian disembelih dengan memotong bagian lehernya, maka syari'at memberikan kemudahan yaitu apabila hewan-hewan yang demikian tidak mampu untuk disembelih, maka cukup dengan melukai bagian mana saja dengan alat yang bisa digunakan untuk mengalirkan darah.

Dan hewan tersebut halal untuk dimakan apabila ketika kita jumpai hewan tersebut sudah mati.

Oleh karena itu Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan disini إن لهذه أوابد كأوابد الوحش (pada hewan-hewan tersebut terdapat sifat liar sebagaimana sifat pada hewan liar)

Apabila kita tidak mampu untuk menangkapnya, maka lakukanlah seperti yang dilakukan orang tadi yaitu seperti apa yang dilakukan orang yang disebutkan dalam hadīts diatas, dia melemparkan panah kemudian melukai unta yang berlari dari kelompoknya  sehingga unta tersebut terhenti. Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menghukuminya sebagai hewan yang halal untuk dimakan.

Demikian penjelasan singkat tentang hadīts yang mulia ini, dari hadīts tersebut kita mengetahui bahwasanya di dalam syari'at Islām ada dua cara yang digunakan dalam menyembelih hewan atau yang digunakan agar hewan yang disembelih tersebut halal untuk dimakan.

⑴ Disembelih secara normal apabila hewan tersebut mampu untuk dijinakkan untuk disembelih dibagian lehernya.

⑵ Apabila hewan tersebut tidak bisa ditangkap mungkin karena hewan tersebut mengamuk (misalnya).

Apabila tidak mampu untuk disembelih dengan cara yang normal maka cukup hewan tersebut dilukai di bagian mana saja dan apabila hewan tersebut mati karena luka tersebut maka hewan tersebut halal untuk dimakan.

Demikian penjelasan hadīts ini, semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

____________________

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 59

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 16 Dzulqa’dah 1441 H / 07 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 061 | Hadits 59
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H061
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 59*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-61 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-59 yaitu hadīts dari Āisyah radhiyallāhu 'anhā secara marfu', beliau berkata:

لاَ تَجُوزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ, وَلاَ خَائِنَةٍ  وَلاَ مَجْلُودٍ حَدًّا, ولا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ, وَلاَ ظَنِينٍ فِي وَلاَءٍ وَلاَ قَرَابَةٍ, وَلاَ الْقَانِعِ أَهْلَ الْبَيْتِ

_"Tidak dibolehkan (diterima) persaksian laki-laki khianat dan wanita khianat dan tidak pula orang yang telah dikenakan hukuman hadd, tidak pula orang yang membenci terhadap saudaranya, tidak pula seorang yang diragukan tentang kewala'an ataupun kekerabatannya, tidak pula diterima persaksian seorang pelayan pada anggota keluarga (yaitu) seorang pelayan yang melayani sebuah keluarga, maka tidak diterima persaksiannya terhadap mereka.”_

(Hadīts riwayat Imam At Tirmidzī)

Dalam hadīts mulia ini disebutkan beberapa sifat yang dapat mempengaruhi keabsahan persaksian seorang saksi. Hal itu dikarenakan Allāh Subhānahu wa Ta'āla memerintahkan kita untuk mendatangkan saksi yang ‘udul (adil), yang memiliki: عدالة , dan diridhāi oleh manusia.

Sehingga ucapan yang disampaikan dalam persaksian adalah ucapan yang menjadikan manusia percaya dengan ucapannya, manusia ridha dengan persaksiannya. Hal ini berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta‘āla:

مِمَّن تَرۡضَوۡنَ مِنَ ٱلشُّهَدَآءِ

_"Di antara mereka yang kalian ridhāi di antara para saksi (yaitu) yang kalian ridha dan kalian percaya terhadap ucapan dan persaksian mereka."_

(QS Al Baqarah: 282)

Oleh karena itu disebutkan dalam hadīts ini beberapa sifat yang dapat mempengaruhi keabsahan persaksian seorang saksi di pengadilan.

شَهَادَةُ خَائِنٍ, وَلاَ خَائِنَةٍ

⑴ Persaksian yang dilakukan oleh seorang yang biasa mengingkari amanah (menyelisihi amanah) yang diberikan kepadanya. Maka persaksiannya tidak dapat diterima  karena dia telah kehilangan kepercayaan manusia.

Sehingga apa yang dia ucapkan tidak dapat diterima sebagai sebuah persaksian.

وَلاَ مَجْلُودٍ حَدًّا

⑵ Tidak pula seorang yang dia dicambuk karena hukuman hadd (yaitu) dia dijatuhi hukuman hadd, karena melakukan perbuatan maksiat besar dan dia belum bertaubat sehingga dia dijatuhi hukuman hadd.

Maka persaksiannya tidak diterima karena kefasikan yang ada pada dirinya.

ولا ذِي غِمْرٍ عَلَى أَخِيهِ

⑶ Tidak pula persaksian seseorang yang dia memiliki kebencian atau kedengkian terhadap saudaranya.

Maka orang yang seperti ini tidak dapat diterima persaksiannya apabila persaksian tersebut berkenaan dengan kerugian yang akan menimpa orang yang dia benci, karena dikhawatirkan kebenciannya akan menjadikan dia menyelisihi kebenaran di dalam bersaksi. Dia berusaha untuk memberikan kemudharatan kepada orang yang dia dengki atau benci.

Namun apabila persaksiannya ini adalah persaksian yang memberikan keuntungan (kebaikan) kepada orang yang dia persaksikan maka persaksiannya dapat diterima.

وَلاَ ظَنِينٍ فِي وَلاَءٍ وَلاَ قَرَابَةٍ

⑷ Tidak pula diterima persaksian orang yang dicurigai dalam hal kewala'an maupun kekerabatannya.

Disebutkan oleh para ulama maksudnya adalah seorang yang dia menisbatkan dirinya kepada orang lain dalam hal wala' atau kerabat kepada orang-orang yang sebenarnya bukanlah kerabatnya. Sehingga manusia ragu tentang kebenaran nasab yang dia ucapkan.

Orang ini hilang kepercayaan manusia dari dirinya maka apa yang dia ucapkan dalam persaksian tidak dapat diterima.

وَلاَ الْقَانِعِ أَهْلَ الْبَيْتِ

⑸ Tidak pula diterima seorang yang dia bertindak sebagai pelayan di dalam sebuah keluarga.

Maka dia tidak dapat diterima persaksiannya dikarenakan adanya kecurigaan dia akan memihak kepada orang-orang yang biasa dekat dengan dirinya.

Maka dalam hadīts ini disebutkan orang-orang yang memiliki sifat-sifat seperti ini tidak diterima persaksiannya.

Adakalanya itu karena hilang sifat 'adālah (عدالة) yang ada pada diri mereka atau ada kalanya dia memang seorang yang memiliki 'adālah hanya  saja ada hal (kondisi) lain yang menjadikan manusia curiga kalau dia akan memihak kepada salah satu orang. Sehingga tidak mengatakan sesuai dengan kebenaran.

Demikian penjelasan hadīts yang mulia ini yang dalam hal ini disebutkan beberapa sifat yang dapat mempengaruhi keabsahan sebuah persaksian di dalam pengadilan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________

KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 58

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 15 Dzulqa’dah 1441 H / 06 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 060 | Hadits 58
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H060
〰〰〰〰〰〰〰

*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 58*

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد

Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah kita yang ke-60 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.

Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-58 yaitu hadīts dari Abdullāh bin Abbās radhiyallāhu 'anhumā. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ دماء قوم و أَمْوَالَهُمْ ولَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي عليه (رواه مسلم)

_"Seandainya manusia diberikan sesuai dengan sebab dakwaan  (tuntutan) mereka, niscaya orang-orang akan menuntut darah dan harta orang lain. Namun semestinya seorang yang tertuntut dia diminta untuk bersumpah.”_

(Hadīts riwayat Imam Muslim)

وفى لفظ عند البيهقي : البينة على المدعي و اليمين على من أنكر

_Dalam lafazh hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi disebutkan: "Semestinya orang yang mendakwa (pendakwa) dia mendatangkan bukti, adapun orang yang mengingkari dakwaan maka seharusnya dia bersumpah."_

Hadīts yang mulia ini merupakan hadīts yang menjadi azas utama dalam pemutusan perkara peradilan.

Sebagaimana kita ketahui bahwasanya peradilan yang ada ditengah-tengah manusia biasanya dilakukan ketika ada sengketa di antara sesama manusia.

Adanya perselisihan hak, yang satu mengklaim atau mendakwa hak yang harus diberikan oleh orang lain kepada dirinya dan yang satunya lagi mengingkari bahwasanya dia harus memberikan hak tersebut kepada si pendakwa.

Bahkan ada kalanya dakwaan itu berupa dakwaan bahwasanya dia telah mengembalikan hak orang lain, namun diingkari oleh orang yang memiliki hak tersebut (mengingkari bahwasanya telah dikembalikan haknya).

Dan di dalam permasalahan sengketa tersebut tentunya seorang hakim haruslah memiliki acuan di dalam memutuskan perkara. Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan di dalam hadīts mulia ini suatu azas (kaedah) yang bisa menyelesaikan  sengketa tersebut dan menjadi jelas siapa orang yang berhak untuk diberikan kepadanya hak yang dituntut.

Dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan bahwasanya barangsiapa mendakwa (mengklaim) hak yang ada pada orang lain, baik itu berupa barang, hutang atau hak-hak yang lain, apabila dakwaan (klaim) tersebut diingkari oleh terdakwa maka hukum asalnya yang didengar adalah ucapan orang yang mengingkari (orang yang terdakwa). Sehingga apabila orang yang mendakwa ingin mengajukan dakwaan, dia dituntut untuk bisa mendatangkan bayyinah. Bayyinah yang bisa menyatakan kebenaran apa yang dia dakwakan. Sehingga apabila bayyinah tersebut bisa dia hadirkan, maka hakim akan memutuskan bagi dirinya berdasarkan bayyinah yang dia bawa.

Namun jikalau dia tidak bisa membawa bayyinah (pembuktian), maka dia tidak bisa memaksa si terdakwa untuk memberikan apa yang dia dakwa. Dia hanya bisa meminta si terdakwa untuk bersumpah atas kebenaran yang dia ucapkan, atas kebenaran pengingkaran yang  dilakukan si terdakwa.

Kalau sudah bersumpah maka tidak berhak lagi bagi si pendakwa untuk memaksa menuntut hak tersebut dihadapan peradilan.

Begitu juga apabila perkara ini berkaitan dengan masalah mengembalikan hak (misalkan) pengembalian hutang.

Apabila si pendakwa (yang mengklaim) menyatakan bahwasanya dia telah mengembalikan hak kepada shahibul hak, misalkan telah mengembalikan hutang (membayarkan hutang), sedangkan shahibul hak (orang yang pernah menghutangi) mengingkari hal tersebut, maka yang diminta untuk mendatangkan bayyinah (pembuktian) adalah orang yang mendakwa bahwasanya dia telah membayar hutangnya.

Jikalau dia tidak bisa membawakan bayyinah maka dihukumi: "Bahwasanya hak (hutang tersebut) masih melekat pada diri dipendakwa yang harus dia bayarkan." Karena al ashl (hukum asalnya) yang didengar (ucapan yang didengarkan pertama kali) diberatkan dan dipilih adalah ucapan orang yang didakwa (si terdakwa).

Namun tentunya si terdakwah harus bersumpah bahwasanya apa yang dia katakan itu benar.

Itulah makna dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:

ولَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي عليه

_"Semestinya sumpah dilakukan oleh orang yang terdakwa.”_

Yaitu orang yang terdakwa apabila dia mengingkari dakwaan, dia diperintahkan untuk bersumpah atas pengingkaran hal tersebut.

Adapun si pendakwa maka kewajiban dia adalah mendatangkan bayyinah dan itu berlaku pada dakwaan dalam bentuk apa saja.

Dakwaan berupa barang atau berupa hutang atau hak, bahkan berupa hak aib pada barang yang diperjual belikan atau pada hal-hal lain.

Maka hadīts mulia ini merupakan hadīts yang azhim (mulia, agung) dalam permasalahan qadha atau permasalahan peradilan. Dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan kepada seorang pendakwa untuk mendatangkan al bayyinah (pembuktian).

Dan pembuktian itu tentunya beraneka ragam bentuknya dan bertingkat-tingkat berdasarkan dakwaan yang dilakukan dalam peradilan yang semua itu telah dijelaskan oleh para ulama dalam bab "Al Qadha".

Dan dalam hadīts yang mulia ini juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menjelaskan hikmah dari hal tersebut (yaitu) hikmah diwajibkannya bayyinah bagi si pendakwa dan sumpah bagi orang yang terdakwa.

Hikmahnya adalah:

Agar manusia tidak semena-mena di dalam menuntut darah dan harta orang lain, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam hadīts ini:

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ دماء قوم و أَمْوَالَهُمْ

_"Seandainya manusia diberikan sesuai dengan tuntutan mereka (yaitu) tanpa diminta adanya bayyinah (sumpah), niscaya orang-orang akan menuntut darah dan harta orang lain secara semena-mena.”_

Dari sini kita bisa mengetahui bahwasanya syari'at Islām merupakan syari'at yang memberikan kebaikan kepada manusia sehingga memberikan adanya keadilan bagi setiap orang.

Dan tentunya dari hal ini juga tujuan diadakannya qadha (peradilan) dalam Islām adalah untuk bisa mengembalikan hak kepada si pemilik hak dan juga menghalangi perbuatan zhālim yang dilakukan oleh orang yang berusaha mengambil hak orang lain.

Demikian penjelasan dalam hadīts yang mulia ini.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه  وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________

Kajian

IMAN TERHADAP WUJUD ALLĀH

🌍 BimbinganIslam.com 📆 Jum'at, 30 Syawwal 1442 H/11 Juni 2021 M 👤 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA 📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah  Fī...

hits