🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 15 Dzulqa’dah 1441 H / 06 Juli 2020 M
👤 Ustadz Riki Kaptamto Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi' al Akhbār
🔊 Halaqah 060 | Hadits 58
⬇ Download audio: bit.ly/BahjatulQulubilAbrar-H060
〰〰〰〰〰〰〰
*KITĀB BAHJATU QULŪBIL ABRĀR, HADĪTS 58*
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على عبد الله ورسوله نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-60 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil Abrār wa Quratu 'uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi' Al Akhbār), yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa'di rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-58 yaitu hadīts dari Abdullāh bin Abbās radhiyallāhu 'anhumā. Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ دماء قوم و أَمْوَالَهُمْ ولَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي عليه (رواه مسلم)
_"Seandainya manusia diberikan sesuai dengan sebab dakwaan (tuntutan) mereka, niscaya orang-orang akan menuntut darah dan harta orang lain. Namun semestinya seorang yang tertuntut dia diminta untuk bersumpah.”_
(Hadīts riwayat Imam Muslim)
وفى لفظ عند البيهقي : البينة على المدعي و اليمين على من أنكر
_Dalam lafazh hadīts yang diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi disebutkan: "Semestinya orang yang mendakwa (pendakwa) dia mendatangkan bukti, adapun orang yang mengingkari dakwaan maka seharusnya dia bersumpah."_
Hadīts yang mulia ini merupakan hadīts yang menjadi azas utama dalam pemutusan perkara peradilan.
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya peradilan yang ada ditengah-tengah manusia biasanya dilakukan ketika ada sengketa di antara sesama manusia.
Adanya perselisihan hak, yang satu mengklaim atau mendakwa hak yang harus diberikan oleh orang lain kepada dirinya dan yang satunya lagi mengingkari bahwasanya dia harus memberikan hak tersebut kepada si pendakwa.
Bahkan ada kalanya dakwaan itu berupa dakwaan bahwasanya dia telah mengembalikan hak orang lain, namun diingkari oleh orang yang memiliki hak tersebut (mengingkari bahwasanya telah dikembalikan haknya).
Dan di dalam permasalahan sengketa tersebut tentunya seorang hakim haruslah memiliki acuan di dalam memutuskan perkara. Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan di dalam hadīts mulia ini suatu azas (kaedah) yang bisa menyelesaikan sengketa tersebut dan menjadi jelas siapa orang yang berhak untuk diberikan kepadanya hak yang dituntut.
Dalam hadīts ini Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menjelaskan bahwasanya barangsiapa mendakwa (mengklaim) hak yang ada pada orang lain, baik itu berupa barang, hutang atau hak-hak yang lain, apabila dakwaan (klaim) tersebut diingkari oleh terdakwa maka hukum asalnya yang didengar adalah ucapan orang yang mengingkari (orang yang terdakwa). Sehingga apabila orang yang mendakwa ingin mengajukan dakwaan, dia dituntut untuk bisa mendatangkan bayyinah. Bayyinah yang bisa menyatakan kebenaran apa yang dia dakwakan. Sehingga apabila bayyinah tersebut bisa dia hadirkan, maka hakim akan memutuskan bagi dirinya berdasarkan bayyinah yang dia bawa.
Namun jikalau dia tidak bisa membawa bayyinah (pembuktian), maka dia tidak bisa memaksa si terdakwa untuk memberikan apa yang dia dakwa. Dia hanya bisa meminta si terdakwa untuk bersumpah atas kebenaran yang dia ucapkan, atas kebenaran pengingkaran yang dilakukan si terdakwa.
Kalau sudah bersumpah maka tidak berhak lagi bagi si pendakwa untuk memaksa menuntut hak tersebut dihadapan peradilan.
Begitu juga apabila perkara ini berkaitan dengan masalah mengembalikan hak (misalkan) pengembalian hutang.
Apabila si pendakwa (yang mengklaim) menyatakan bahwasanya dia telah mengembalikan hak kepada shahibul hak, misalkan telah mengembalikan hutang (membayarkan hutang), sedangkan shahibul hak (orang yang pernah menghutangi) mengingkari hal tersebut, maka yang diminta untuk mendatangkan bayyinah (pembuktian) adalah orang yang mendakwa bahwasanya dia telah membayar hutangnya.
Jikalau dia tidak bisa membawakan bayyinah maka dihukumi: "Bahwasanya hak (hutang tersebut) masih melekat pada diri dipendakwa yang harus dia bayarkan." Karena al ashl (hukum asalnya) yang didengar (ucapan yang didengarkan pertama kali) diberatkan dan dipilih adalah ucapan orang yang didakwa (si terdakwa).
Namun tentunya si terdakwah harus bersumpah bahwasanya apa yang dia katakan itu benar.
Itulah makna dari sabda Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam:
ولَكِنَّ الْبَيِّنَةَ عَلَى الْمُدَّعِي عليه
_"Semestinya sumpah dilakukan oleh orang yang terdakwa.”_
Yaitu orang yang terdakwa apabila dia mengingkari dakwaan, dia diperintahkan untuk bersumpah atas pengingkaran hal tersebut.
Adapun si pendakwa maka kewajiban dia adalah mendatangkan bayyinah dan itu berlaku pada dakwaan dalam bentuk apa saja.
Dakwaan berupa barang atau berupa hutang atau hak, bahkan berupa hak aib pada barang yang diperjual belikan atau pada hal-hal lain.
Maka hadīts mulia ini merupakan hadīts yang azhim (mulia, agung) dalam permasalahan qadha atau permasalahan peradilan. Dimana Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mewajibkan kepada seorang pendakwa untuk mendatangkan al bayyinah (pembuktian).
Dan pembuktian itu tentunya beraneka ragam bentuknya dan bertingkat-tingkat berdasarkan dakwaan yang dilakukan dalam peradilan yang semua itu telah dijelaskan oleh para ulama dalam bab "Al Qadha".
Dan dalam hadīts yang mulia ini juga Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam telah menjelaskan hikmah dari hal tersebut (yaitu) hikmah diwajibkannya bayyinah bagi si pendakwa dan sumpah bagi orang yang terdakwa.
Hikmahnya adalah:
Agar manusia tidak semena-mena di dalam menuntut darah dan harta orang lain, karena Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyebutkan dalam hadīts ini:
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ دماء قوم و أَمْوَالَهُمْ
_"Seandainya manusia diberikan sesuai dengan tuntutan mereka (yaitu) tanpa diminta adanya bayyinah (sumpah), niscaya orang-orang akan menuntut darah dan harta orang lain secara semena-mena.”_
Dari sini kita bisa mengetahui bahwasanya syari'at Islām merupakan syari'at yang memberikan kebaikan kepada manusia sehingga memberikan adanya keadilan bagi setiap orang.
Dan tentunya dari hal ini juga tujuan diadakannya qadha (peradilan) dalam Islām adalah untuk bisa mengembalikan hak kepada si pemilik hak dan juga menghalangi perbuatan zhālim yang dilakukan oleh orang yang berusaha mengambil hak orang lain.
Demikian penjelasan dalam hadīts yang mulia ini.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________
Tidak ada komentar:
Posting Komentar